Pegiat Lingkungan Hidup GENBI Tanam Mangrove dan Keliling Pesisir Wonorejo

Risky Pratama
Journalist in Suara Surabaya as News Reporter
Konten dari Pengguna
24 Juni 2022 17:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pegiat Lingkungan Hidup GENBI saat melakukan acara tanam bakau di hutan mangrove pesisir Wonorejo. Foro: Dok. Istimewa tim media acara
zoom-in-whitePerbesar
Pegiat Lingkungan Hidup GENBI saat melakukan acara tanam bakau di hutan mangrove pesisir Wonorejo. Foro: Dok. Istimewa tim media acara
ADVERTISEMENT
Kendaraan bermotor mulai memenuhi halaman greenhouse Mugi Lestari pada Jum’at pagi, 7 Januari 2022. Saya bersama kawan-kawan Lingkungan Hidup Generasi Baru Indonesia (GENBI) berkumpul di gubuk mungil yang menyempil di sudut Jemurwonosari. Gubuk ini baru berdiri pada tahun 2019, bersamaan dengan berdirinya greenhouse. Tempat ini menjadi titik kumpul kami hari itu.
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan tepat pukul delapan, kami bergegas menuju Wonorejo. Dari jalan gang 8, kami keluar menuju jalan raya kota. Aspal tampak mulus. Halus. Kami menikmati jalanan itu dengan memacu kendaraan.
Kurang lebih sekitar tiga puluh menit, kami tiba di Wonorejo. Wonorejo merupakan kelurahan yang terletak di Kecamatan Rungkut, Surabaya. Wilayahnya berbatasan dengan laut Jawa. Meskipun kawasan ini juga dekat dengan area perkotaan, masih banyak masyarakatnya yang bekerja sebagai petani tambak. Ya, karena juga didukung oleh letak geografisnya.
Tujuan utama kami adalah hutan mangrove. Kami akan menanam bibit mangrove. Tidak banyak, hanya seratus. Namun, setidaknya ada setangkai usaha untuk merevitalisasi kesadaran di antara kami. Tentu, untuk alam yang lebih baik.
Untuk merapat ke hutan mangrove. Tidak dapat dilalui dengan sepeda motor, apalagi mobil. Harus naik perahu. Tentu sudah disediakan oleh pihak pemandu. Pernah sekali memaksa jalur darat. Jalan setapak, di antara tambak. Baru kisaran 3 km, kami putar balik. Jalannya berlumpur. Motor hampir tercebur ke tambak warga. Potensi berkarat dua kali lipat.
Pegiat Lingkungan Hidup GENBI saat menaiki perahu yang akan menuju hutan mangrove Wonorejo. Foto: Dok. Istimewa tim media acara
Suara gaduh mulai terdengar dari mesin perahu. Pengemudi telah menyiapkan pelampung di setiap tempat duduk. Kami pun bergegas merapat. Manaiki perahu dengan kapasitas 25 orang tentu berbeda dengan perahu kecil pada umumnya. Suasana lebih meriah.
ADVERTISEMENT
Perahu melaju pelan, memecah keheningan air sungai. Kami mulai menjauhi titik pelabuhan kecil itu. Tempat ini menyuguhkan keindahan. Dalam perjalanan, tak sedikit dari kami yang menyempatkan waktu untuk memotret. Sebagai pengingat dan oleh-oleh visual tentunya.
Sesampainya di lokasi, kami disambut dengan mangrove yang menghijau. Kami turun dari perahu dan berkumpul di atas jembatan kayu. Dalam kesempatan itu, Kepala Devisi Lingkungan Hidup Generasi Baru Indonesia (GENBI), Zahra Arsyita, 22 tahun, menjelaskan terkait dengan tujuan agenda ini.
“Tujuan dari acara menanam bakau ini adalah untuk menjaga ekosistem alam dan melindungi pantai dari erosi. Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan untuk memperkaya wawasan terkait dengan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan,” ucapnya.
Tak lama kemudian, seorang pemandu mengambil bibit mangrove yang telah disiapkan. Sedangkan kami, turun ke lumpur untuk bersiap menanam. Ada dua jenis mangrove yang ditanam disini, yakni Rhizophora dan Avicennia. Kali ini, kami menggunakan jenis Rhizophora untuk ditanam. Jenis ini memiliki perbedaan yang terletak pada akarnya. Rhizophora memiliki akar yang menghunjam ke tanah, atau dikenal dengan akar tunjang. Akar ini mencuat dari batang pohon dan dahan paling bawah, sekaligus memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah. Sedangkan, jenis Avicennia akarnya menonjol ke atas dan memiliki bentuk menyerupai pensil tulis, mengerucut.
Pegiat Lingkungan Hidup GENBI saat melakukan tanam mangrove. Foro: Dok. Istimewa tim media acara
Kami mulai menanam. Satu persatu bibit kami masukan kedalam lumpur yang sudah berlubang. Lumpur di sini berwarna hitam. Teksturnya lunak. Ketika diinjak, ambles. Keamblesannya bisa mencapai betis orang dewasa. Sial, banyak dari kami yang tidak memakai sepatu, termasuk saya. Kaki dipenuhi lumpur. Akar bakau yang menjulang keluar tak sedikit yang menggores kaki. Namun beruntung, kami tetap bisa melakukan penanaman ini hingga tuntas.
ADVERTISEMENT
100 bibit mangrove telah menancap kuat. Do’a kami dalam, sedalam menancapkan akar mangrove. Semoga, bibit yang tidak banyak ini mampu tumbuh subur hingga besar dan bermanfaat banyak bagi alam. Ah, kami masih pemula soal lingkungan, hanya ini yang kami bisa. Harapan tentu saja untuk kebaikan hubungan antara kami sebagai manusia dan alam.
Tuntas menanam mangrove, kami mengelilingi kawasan ini. Saya terlebih dahulu jalan menyusuri jembatan kayu berwarna coklat ini. Belum berjalan sepuluh langkah, saya melihat pemandangan yang sangat menyentuh hati. Wah! Tempat ini ternyata penuh sampah. Sampah tidak hanya menumpuk di lumpur dan pasir, tetapi menggantung juga di ranting pohon, tidak hanya satu dua pohon, tetapi banyak! Rasa penasaran saya semakin membuncah, saya melanjutkan perjalanan mengikuti jembatan ini. Gila! Bukan hanya satu sudut saja, ini ada sampah lagi, lagi dan lagi. Mirisnya, sampah itu mayoritas berbahan plastik. Tau sendiri kan bagaimana dampak buruknya jika berbahan plastik? Lebih parah.
ADVERTISEMENT
Perjalanan mengelilingi hutan mangrove ini tidak saya biarkan begitu saja. Saya memberikan catatan kecil pada gawai yang saya bawa. Bagi saya, ini adalah kali pertama melihat kawasan wisata namun memiliki volume sampah sebanyak ini. Sekilas, saya langsung bertanya dalam diri sendiri, “Dari mana asalnya sampah sebanyak ini? Mungkinkah masyarakat di sekitar sini menjadikan tempat ini sebagai tempat pembuangan akhir?” gumam saya dalam benak. Kemudian saya mencoba menerka jawaban sendiri, meskipun belum tentu betul jawaban saya. “Sepertinya tidak mungkin masyarakat menjadikan tempat ini menjadi lokasi pembuangan akhir. Toh, tempat ini sulit dijangkau, harus menaiki perahu terlebih dahulu, dan itu jelas merogoh kocek tambahan, apalagi perahu di sini tidak bisa dinaiki dengan kapasitas 1-2 orang, harus 25 orang. Kecuali, memang memiliki perahu pribadi. Berarti, besar kemungkinan ini adalah sampah yang datang dari laut dan terseret ombak hingga menepi ke pesisir ini,” kata saya.
Sampah yang berada di hutan mangrove pesisisr Wonorejo. Foto: Dok. Istimewa tim media acara
Teman-teman yang ada di sini juga tidak memiliki jawaban pasti. Mereka juga kaget. Sama seperti saya. Dari sini, hati saya mulai tersentuh. Sampah menjadi masalah lama yang terus bertambah. Tentu, dengan jumlah sebanyak ini, pemerintah setempat juga wajib memikirkan serta mengatasinya. Karena, jika ini dibiarkan, maka tak lama akan menjadi gunung sampah. Yang terdampak bukan hanya pohon mangrove saja, tapi juga pasir, laut, hewan, dan juga nelayan yang mencari ikan di sekitar tempat ini.
ADVERTISEMENT
Aniliya Afifatul Khusna, 22 tahun, seorang Generasi Baru Indonesia (GENBI) yang juga tergabung dalam Devisi Lingkungan Hidup, menyayangkan terkait dengan banyaknya sampah yang mencemari kawasan ini.
“Bisa dikatakan sampah yang ada di Wonorejo ini sangat merugikan habitat alam yang ada di sekitarnya. Apalagi tumpukan sampah di sekitar mangrove bisa mencemari kualitas drainase, proses esensial dalam ekosistem. Apalagi kadar oksigen juga semakin berkurang. Harusnya ya ada tindakan dari pengelola dan pemerintah dalam menangani sampah di kawasan ini,” ucapnya.
Matahari semakin tinggi. Udara terasa gerah membelai wajah. Tak terasa, waktu sudah hampir memasuki salat Jum’at. Perahu sudah meunggu dan kami kembali.
Dalam perjalanan pulang, kawanan burung pelikan terbang melayang dengan santai. Beberapa monyet, terlihat bergelantungan di pohon. Cukup untuk menjadi hiburan kami sembari kembali. Sesampainya berlabuh, kami pamitan dengan pemandu dan melakukan seremoni kecil penutupan. Hari yang indah sekaligus sedih. Indah karena kami bisa menanam mangrove, sedih karena banyak sampah yang baru kami tahu. Semoga perjalanan kecil ini tumbuh menjadi kebaikan, sekaligus menjadi pengingat bagi siapa saja terkait hubungan antara manusia dan alam.
ADVERTISEMENT