Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
HAM di Era Ketidakpastian Global: Dari Identitas Hukum ke Martabat Manusia
3 Mei 2025 9:47 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Abdulloh Bahrays Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang semakin terhubung secara digital namun terpecah secara politik, isu kewarganegaraan dan hak asasi manusia (HAM) kembali menjadi sorotan. Kewarganegaraan sering kali dianggap sebagai prasyarat formal untuk memperoleh hak-hak dasar. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan? Atau mereka yang secara administratif tidak diakui oleh negara?
ADVERTISEMENT
Ketimpangan antara status hukum dan pemenuhan HAM makin jelas ketika kita menengok fenomena pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan, anak-anak Indonesia yang lahir tanpa akta kelahiran, serta tantangan digitalisasi identitas nasional yang belum inklusif. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kewarganegaraan bukan lagi sekadar status administratif, tetapi juga menjadi simbol bagaimana negara menjamin martabat dan hak-hak fundamental setiap individu.
Kasus pengungsi Rohingya yang kembali mendarat di perairan Aceh pada akhir 2024 menjadi cermin nyata keterbatasan negara dalam menjamin hak dasar manusia. Ketika para pengungsi ini mencari perlindungan di Indonesia, banyak pihak baik warga maupun pemerintah daerah yang enggan menerima mereka dengan alasan keterbatasan sumber daya dan kepadatan populasi. Meskipun Indonesia bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, sebagai negara yang mengutamakan kemanusiaan, Indonesia seharusnya tidak menutup mata terhadap penderitaan yang dialami oleh pengungsi.
ADVERTISEMENT
Hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, makanan, serta perlindungan dari kekerasan harus diakui oleh negara, meskipun mereka tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia. Negara tidak bisa membenarkan penolakan terhadap hak pengungsi hanya dengan alasan administratif, karena kewarganegaraan seharusnya tidak menjadi pembatas dalam memenuhi hak dasar setiap manusia. Sebuah negara yang berkomitmen terhadap HAM harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan perlindungan hak asasi manusia yang lebih universal.
Di dalam negeri sendiri, permasalahan kewarganegaraan dan akses HAM terlihat dari masih banyaknya anak-anak yang lahir tanpa akta kelahiran. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 15% anak di Indonesia tidak memiliki akta lahir, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
ADVERTISEMENT
Tanpa akta lahir, anak-anak ini mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai hak dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan sosial. Ironisnya, anak-anak yang lahir tanpa akta kelahiran tidak hanya terhambat dalam hal administratif, tetapi juga kehilangan hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya dijamin oleh konstitusi. Negara tidak bisa hanya berfokus pada urusan administratif tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan manusia.
Ketika negara gagal memberikan akta lahir kepada anak-anak ini, itu bukan hanya soal ketidaksesuaian dokumen, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak mereka untuk diakui sebagai bagian dari komunitas negara dan dunia. Ini menunjukkan bahwa ada kekosongan dalam sistem hukum yang harus segera diisi dengan kebijakan yang lebih inklusif dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kebijakan digitalisasi identitas nasional melalui sistem KTP elektronik dan Digital ID membawa tantangan baru dalam hal inklusivitas kewarganegaraan dan HAM. Pemerintah berambisi untuk mempermudah akses layanan publik dengan membuat setiap warga negara terdaftar dalam sistem digital yang terintegrasi. Meskipun niat tersebut baik, implementasi yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesenjangan sosial dan aksesibilitas justru menciptakan ketidakadilan baru. Banyak kelompok masyarakat yang masih kesulitan untuk mengakses sistem digital ini, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat adat, atau individu yang tidak memiliki keterampilan digital.
Hal ini mengarah pada marginalisasi mereka dalam sistem sosial dan ekonomi yang semakin bergantung pada digitalisasi. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak terdaftar dalam sistem digital atau tidak bisa mengakses verifikasi digital ini menjadi terputus dari berbagai layanan dasar seperti jaminan sosial, kesehatan, hingga pendidikan. Negara harus segera mengatasi kesenjangan ini agar kebijakan digitalisasi identitas tidak justru memperburuk ketimpangan yang sudah ada. Proses digitalisasi harus inklusif dan memperhatikan keberagaman sosial yang ada, memastikan bahwa tidak ada warga negara yang tertinggal dari sistem layanan yang seharusnya mereka akses.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal instrumen yang secara nyata menentukan seseorang bisa hidup layak atau tidak. Dalam konteks ini, negara harus memandang kewarganegaraan sebagai jembatan menuju pemenuhan HAM, bukan sebagai alat pembatas untuk membedakan antara “yang layak” dan “yang tidak layak” menerima hak-hak dasar. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kewarganegaraan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang hanya berkaitan dengan status hukum.
Padahal, hak-hak dasar setiap manusia seharusnya tidak bergantung pada lembaran dokumen atau status administratif, tetapi pada martabat manusia yang bersifat universal. Negara harus mulai memandang kewarganegaraan dari sudut pandang yang lebih humanistik, yang berfokus pada pemenuhan hak-hak dasar setiap individu, tanpa memandang apakah mereka memiliki akta kelahiran atau status kewarganegaraan yang jelas. Hal ini mencerminkan sebuah perubahan paradigma dalam memahami hubungan antara individu dan negara, yang seharusnya lebih inklusif dan berpihak pada keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjamin hak-hak dasar warganya. UUD 1945, khususnya Pasal 28A–28J, menjamin hak hidup, hak atas pengakuan hukum, pendidikan, kesehatan, hingga hak atas rasa aman. Namun, dalam praktiknya, sering kali kebijakan administratif dan birokrasi yang berbelit-belit justru menghambat pemenuhan hak-hak tersebut. Meskipun konstitusi negara sudah memberikan jaminan HAM yang cukup jelas, kenyataannya banyak warga negara yang terhambat oleh berbagai hambatan administratif yang menghalangi mereka untuk menikmati hak-hak dasar.
Terkadang, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak sepenuhnya memperhatikan kebutuhan dan kondisi lapisan masyarakat yang paling rentan, seperti mereka yang tinggal di daerah terpencil atau kurang berpendidikan. Dalam konteks ini, hukum dan kebijakan negara harus lebih berpihak pada mereka yang paling membutuhkan, dengan memberikan solusi yang lebih adaptif dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang terlibat dalam berbagai forum internasional, Indonesia juga dituntut untuk menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip HAM yang universal. Dalam forum-forum HAM PBB, Indonesia sering kali menunjukkan kepedulian terhadap hak-hak dasar manusia di luar negeri, namun di dalam negeri sendiri masih terdapat banyak masalah terkait pemenuhan hak dasar warganya. Ketika Indonesia berbicara mengenai HAM di tingkat internasional, negara harus dapat memberikan contoh yang baik dengan menjalankan prinsip-prinsip tersebut di dalam negeri.
Isu pengungsi internasional, status kewarganegaraan, dan hak anak yang tidak memiliki akta kelahiran harus menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Negara harus memastikan bahwa setiap orang yang berada di wilayahnya, baik warga negara maupun non-warga negara, dapat mengakses hak-hak dasar mereka tanpa terkendala oleh status administratif yang sempit. Dengan melakukan hal ini, Indonesia tidak hanya akan menunjukkan komitmennya pada HAM secara internasional, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kapasitas negara untuk melindungi setiap individu di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Solusi terhadap masalah kewarganegaraan dan pemenuhan HAM ini memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai sektor, bukan hanya sektor pemerintahan. Pihak-pihak terkait seperti kementerian, lembaga pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta tokoh agama dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif.
Pendidikan tentang pentingnya kewarganegaraan dan hak asasi manusia harus dimulai sejak dini agar masyarakat dapat lebih memahami bahwa hak-hak mereka tidak bergantung pada status administrasi mereka. Pendekatan yang melibatkan masyarakat secara langsung akan memastikan bahwa kebijakan negara tidak hanya didasarkan pada perspektif birokrasi, tetapi juga kebutuhan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan membangun kesadaran sosial tentang pentingnya hak asasi manusia dan kewarganegaraan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
ADVERTISEMENT
Pendidikan juga memegang peranan penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih paham tentang hak asasi manusia dan kewarganegaraan. Pendidikan harus memuat materi tentang kewarganegaraan yang tidak hanya mengajarkan tentang hak dan kewajiban, tetapi juga tentang martabat manusia dan bagaimana negara seharusnya memperlakukan setiap individu.
Kurikulum yang memasukkan pemahaman lintas budaya, sejarah pergerakan HAM, serta pendidikan keadilan sosial akan membantu menciptakan generasi yang lebih peka terhadap ketimpangan sosial. Di masa depan, mereka yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan ini diharapkan dapat mengubah paradigma negara yang terlalu administratif dan mulai melihat kewarganegaraan sebagai hak yang bersifat universal dan tidak terbatas pada status hukum semata.
Terakhir, penyelesaian masalah kewarganegaraan dan hak asasi manusia harus dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan perubahan dalam struktur hukum dan kebijakan negara. Negara harus melihat setiap individu sebagai subjek hak, bukan objek yang harus memenuhi syarat administratif untuk mendapatkan hak-haknya. Ketika negara gagal memenuhi hak-hak dasar setiap individu, maka negara tersebut gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pelindung hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Reformasi kebijakan dan perubahan dalam sistem administratif harus dilakukan agar setiap warga negara tanpa memandang status administratif mereka dapat menikmati hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Negara harus hadir tidak hanya sebagai penjaga batas, tetapi juga sebagai pelindung martabat manusia, karena pada akhirnya, tidak ada hak asasi manusia yang bisa dipisahkan dari pengakuan atas eksistensi dan martabat setiap manusia.