Konten dari Pengguna

Dari Aristokrasi ke Plutokrasi Algoritmik

Yoyo Budianto
Tenaga Ahli Menteri Transmigrasi yang juga merangkap sebagai Wadan Satgas Komunikasi Kementerian Transmigrasi
7 Mei 2025 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoyo Budianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Ketimpangan sosial - Sumber: Dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Potret Ketimpangan sosial - Sumber: Dokumentasi penulis
ADVERTISEMENT
Kekayaan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti bentuk, berpindah tangan, dan mencari tempat tertinggi untuk menetap. Sejarah ekonomi dunia selama ratusan tahun menunjukkan satu pola berulang: konvergensi kekayaan ke kelompok teratas, dalam berbagai wujud—dari tanah, pabrik, hingga data.
ADVERTISEMENT
Aristokrasi Tanah: Kekuasaan Berdasarkan Lahir
Hingga akhir abad ke-18, kekayaan terkonsentrasi pada aristokrasi yang menguasai tanah dan gelar. Di Prancis pra-Revolusi, 1 persen bangsawan menguasai hampir separuh lahan nasional. Di Inggris, kepemilikan tanah diwariskan turun-temurun, menjadikan status ekonomi sebagai takdir biologis. Kekayaan bersifat statis, dan hampir mustahil diakses rakyat jelata.
Bangunan tua di Perancis - Pexels
Kapitalisme Industri: Mobilitas Palsu?
Abad ke-19 membawa gelombang industri dan munculnya borjuasi. Orang-orang tanpa gelar mulai menguasai kekayaan melalui pabrik, perdagangan, dan perbankan. Namun realitasnya, konvergensi tetap terjadi—hanya berganti wajah. Di Inggris awal abad ke-20, 10 persen terkaya masih menguasai lebih dari 90 persen kekayaan nasional.
Kapitalisme membawa mobilitas sosial, tapi hanya bagi yang mampu mengakses modal, koneksi, dan pendidikan—tiga hal yang juga dikendalikan oleh kelas atas.
ADVERTISEMENT
Redistribusi Temporer: Negara Kesejahteraan Pascaperang
Perang Dunia II memaksa negara ikut campur dalam distribusi kekayaan. Lahir pajak progresif, jaminan sosial, dan kebijakan redistributif. Di Amerika Serikat, kepemilikan kekayaan oleh 1 persen elit turun drastis dari 25 persen (1920) menjadi hanya 10 persen (1950). Kelas menengah tumbuh, dan untuk sesaat dunia terasa lebih adil.
Namun era ini tidak bertahan lama. Sejak 1980-an, kebijakan neoliberalisme, privatisasi, dan deregulasi membuka jalan bagi kebangkitan bentuk baru aristokrasi: para pemilik algoritma.
Plutokrasi Algoritmik: Kekayaan Tanpa Wujud
Kini, kekayaan bukan lagi tentang tanah atau pabrik. Ia berwujud data, paten, platform, dan jaringan modal global. Pemilik modal tak lagi membutuhkan massa buruh, tapi cukup dengan memonopoli perilaku digital. Kekayaan berpindah ke mereka yang menguasai ekosistem digital—yang bahkan sering kali tak berbadan hukum di negara tempat mereka beroperasi.
ADVERTISEMENT
Menurut World Inequality Report 2022, 1 persen populasi global kini menguasai hampir 40 persen kekayaan dunia. Sementara 50 persen terbawah hanya memegang 2 persen. Kita tidak hanya kembali ke feodalisme, tapi ke bentuk yang lebih licin: feodalisme tanpa wajah.
Indonesia Tak Kebal
Indonesia mengikuti arus ini. Data World Inequality Lab menunjukkan, 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional. Yang 50 persen terbawah? Hanya 2 persen.
Di sektor digital, kita sering bangga sebagai negara dengan adopsi teknologi tinggi. Tapi kita lupa bertanya: siapa yang memiliki platform-nya? Siapa yang mengendalikan datanya? Siapa yang mendapat nilai tambahnya?
Jawabannya nyaris selalu sama: bukan kita.
Platform global menguasai pasar nasional. Keuntungan lari ke luar negeri. Data warga diproses oleh server asing. Sementara rakyat hanya menjadi pengguna, bukan pemilik. Bahkan dalam sektor yang disebut “ekonomi kreatif”, nilai kreatif kerap dikuasai oleh ekosistem global—bukan seniman, bukan pekerja budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Peran Negara: Bukan Sekadar Penonton
Di tengah semua ini, negara tidak bisa menjadi penonton. Apalagi dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, di mana legitimasi berasal dari janji pemerataan.
Sebagai bagian dari pemerintahan, saya percaya bahwa keadilan sosial tidak bisa dibangun tanpa keberanian mendisrupsi status quo. Di Kementerian Transmigrasi, kami mendorong redefinisi transmigrasi bukan sekadar sebagai pemindahan penduduk, tapi sebagai pemindahan pusat pertumbuhan, dari kota ke pinggiran, dari elite ke rakyat.
Kami ingin kawasan transmigrasi menjadi digital frontier, bukan hanya lumbung pangan. Kami dorong model koperasi digital, BUMDes berbasis data, dan beasiswa transmigrasi patriot—agar anak-anak desa bisa tumbuh menjadi pencipta teknologi, bukan sekadar pengguna.
Empat Agenda Melawan Konvergensi
Konvergensi kekayaan global bisa dibendung—jika kita berani. Berikut agenda yang perlu dipertimbangkan:
ADVERTISEMENT
1. Kepemilikan Kolektif atas Aset Strategis
BUMN digital dan koperasi platform bisa menjadi alat negara untuk mendistribusikan nilai tambah.
2. Pajak Kekayaan Digital dan Warisan
Kekayaan berbasis IP dan data harus masuk dalam radar fiskal. Warisan digital juga perlu diatur untuk menghindari plutokrasi turun-temurun.
3. Desentralisasi Inovasi
Jangan lagi hanya Jakarta dan Bandung. Bangun pusat riset dan inkubator startup di Tanjung Banon, Sorong, dan Poso.
4. Kedaulatan Data
Data adalah minyak baru. Sudah saatnya kita punya cloud nasional dan perlindungan metadata yang kuat.
Jangan Jadi Penonton
Kita sedang berada di persimpangan sejarah. Negara yang tidak ikut mengatur distribusi nilai akan melihat demokrasi runtuh dari dalam. Dan rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem.
ADVERTISEMENT
Indonesia harus menjadi pemilik—bukan hanya pemilik tanah, tapi juga pemilik teknologi, narasi, dan masa depan. Dan itu bisa dimulai dari kawasan-kawasan yang selama ini dianggap sunyi.
Karena dalam sejarah kekayaan, yang terpenting bukan hanya siapa yang membuat, tapi siapa yang menguasai hasilnya.
Oleh Yoyo Budianto
Tenaga Ahli Menteri Transmigrasi RI | Wakil Komandan Satgas Komunikasi Kementerian Transmigrasi