Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Transmigrasi Baru: Dari Program ke Mesin Produksi SDM dan Ekosistem Kawasan
8 Mei 2025 11:31 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yoyo Budianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di Pulau Bawah, Kepulauan Anambas, tarif menginap satu malam mencapai 45 juta rupiah. Paket akhir pekan bisa menyentuh 200 juta. Tapi ironisnya, mayoritas orang Indonesia bahkan tidak tahu di mana letak pulau itu. Kawasan eksotik ini justru dikelola investor asing dan ramai dikunjungi turis Singapura.
ADVERTISEMENT
Inilah wajah paradoks pembangunan kita: kaya sumber daya, tapi miskin kendali atasnya. Negara hadir terlambat—bahkan sering tidak hadir sama sekali.
Di sinilah transmigrasi mendapat makna strategis baru. Bukan lagi sekadar memindahkan warga dari Jawa ke luar Jawa, tetapi menjadi mesin produksi SDM kontekstual dan pembentuk ekosistem ekonomi baru di wilayah-wilayah yang selama ini hanya disebut sebagai “pinggiran”.
Program transmigrasi lama terjebak dalam pola pikir administratif: pemindahan penduduk, pembagian lahan, dan pemberian insentif. Tak sedikit yang berujung pada lahan tidur, konflik sosial, atau kembalinya warga ke daerah asal. Negara memberi, masyarakat menerima. Namun pembangunan tidak bisa hanya bergantung pada pola konsumtif.
Kini, di bawah kepemimpinan baru, transmigrasi mengalami transformasi. Pendekatannya bergeser menjadi produktif dan berbasis kawasan. Lahan tidak lagi dibagi perorangan, tapi dikelola secara kolektif melalui korporasi masyarakat. Bantuan kapal dan fasilitas tidak diserahkan ke individu, tapi dikelola bersama oleh warga transmigran yang tergabung dalam unit usaha kolektif.
ADVERTISEMENT
Filosofinya jelas: transmigran adalah pelaku pembangunan, bukan objek bantuan. Negara bukan sekadar memberi modal, tapi menciptakan ekosistem yang memungkinkan masyarakat tumbuh mandiri dan berdaulat atas tanahnya sendiri.
Transformasi ini mulai diuji di sejumlah kawasan. Di Maloy, transmigrasi mendukung pengembangan pelabuhan dan industri sawit. Di Salor, Papua Selatan, transmigrasi difokuskan pada sektor pangan—khususnya padi dan perikanan, termasuk budidaya ikan barramundi yang bernilai ekspor tinggi. Sementara di kawasan Barelang—akronim dari Batam, Rempang, dan Galang—transmigrasi memperkuat pendekatan maritim dengan dukungan perguruan tinggi seperti IPB, ITB, UGM, dan Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kawasan ini disiapkan menjadi poros logistik dan industri strategis, sekaligus menyangga kawasan Batam yang padat. Tak jauh dari sana, potensi besar juga disiapkan di Natuna dan Anambas, dua kawasan perbatasan yang kaya sumber daya tetapi selama ini kurang tersentuh pembangunan terstruktur. Di sinilah transmigrasi diharapkan menjadi pionir kehadiran negara secara konkret dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Transformasi ini juga selaras dengan arah pembangunan jangka panjang nasional. Dalam RPJPN 2025–2045, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi yang merata dan inklusif dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Pulau Jawa. Presiden Prabowo Subianto secara eksplisit menekankan pentingnya ketahanan pangan, hilirisasi industri, dan pemerataan pembangunan sebagai tiga fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045. Transmigrasi modern dapat menjadi simpul dari ketiganya—jembatan antara potensi dan produktivitas.
Kawasan transmigrasi kini dirancang sebagai living laboratory. Mahasiswa-mahasiswa S1, S2, hingga S3 dikirim melalui program Transmigran Patriot untuk hidup, belajar, dan menumbuhkan kawasan. Mereka bukan sekadar peserta KKN, tapi agen perubahan. Mereka tidak ditugaskan menjadi petani atau nelayan, tetapi dipersiapkan menjadi CEO korporasi masyarakat—pelaku ekonomi lokal yang paham medan, paham budaya, dan mampu menjembatani potensi dengan pasar.
ADVERTISEMENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 Pulau Jawa menyumbang sekitar 57,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, meskipun luasnya hanya sekitar 7% dari total daratan Indonesia. Ketimpangan spasial ini mencerminkan konsentrasi ekonomi yang sangat tinggi di satu pulau, dan menunjukkan urgensi percepatan pembangunan di kawasan lainnya. Strategi pembangunan berbasis kawasan seperti transmigrasi menjadi salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi ketimpangan ini.
Dalam perspektif pembangunan spasial, strategi ini juga sejalan dengan Teori Pusat-Pinggiran yang dikemukakan oleh John Friedmann. Ia menekankan bahwa pembangunan yang terlalu terkonsentrasi pada pusat akan menciptakan ketimpangan struktural. Untuk itu, perlu dorongan sistematis agar daerah pinggiran tumbuh menjadi pusat-pusat baru yang mandiri dan produktif. Di sinilah transmigrasi kawasan menemukan peran strategisnya: menggeser episentrum pembangunan dari kota besar ke wilayah potensial yang selama ini terabaikan.
ADVERTISEMENT
Tujuan akhirnya bukan hanya kemandirian ekonomi desa, tapi juga kontribusi terhadap pertumbuhan nasional. Transmigrasi diarahkan menjadi bagian dari strategi hilirisasi, peningkatan daya saing ekspor, dan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.
Dengan pendekatan kawasan, transmigrasi memungkinkan hadirnya rantai pasok lengkap: dari hulu ke hilir. Mulai dari pengolahan hasil pertanian dan perikanan, hingga potensi energi dan wisata. Bahkan pada titik tertentu, kawasan transmigrasi bisa menjadi episentrum baru ekonomi daerah, mengurangi ketimpangan antarwilayah, sekaligus menekan laju urbanisasi yang tak terkendali.
Namun tantangannya tidak kecil. Masalah legalitas tanah masih menjadi hambatan utama: lebih dari 129.000 bidang belum tersertifikasi. Tanpa status lahan yang clean and clear, ekosistem pembangunan akan lumpuh. Sementara itu, warisan pola pikir lama masih melekat: bantuan solar panel yang dijual, kapal motor yang rusak tak dirawat, fasilitas publik yang terbengkalai. Semua ini menunjukkan lemahnya budaya kepemilikan bersama.
ADVERTISEMENT
Karena itu, transformasi transmigrasi bukan semata urusan kebijakan, melainkan juga revolusi mental dan budaya. Diperlukan pendampingan sosial, pendidikan karakter, dan konsistensi lintas sektor. Dari ketergantungan menuju kemandirian. Dari pasif ke aktif. Dari konsumen ke produsen.
Transformasi ini ditopang oleh delapan pilar utama. Pertama, edukasi masyarakat melalui pendekatan yang memanusiakan dan memberdayakan. Kedua, penguatan budaya gotong royong sebagai fondasi sosial ekonomi. Ketiga, pengelolaan lahan secara komunal agar lebih efisien dan adil. Keempat, dorongan industrialisasi untuk menciptakan nilai tambah lokal. Kelima, penerapan mekanisasi agar produktivitas meningkat. Keenam, diversifikasi ekonomi agar tidak bergantung pada satu sektor. Ketujuh, hilirisasi agar sumber daya tidak berhenti di bahan mentah. Dan kedelapan, digitalisasi sebagai alat percepatan konektivitas dan transparansi antarwilayah.
ADVERTISEMENT
Inilah kerangka besar yang sedang dijalankan. Bukan utopia, tapi kerja sunyi yang dimulai dari kawasan yang dulu dianggap tak punya masa depan.
Sebab membangun bangsa bukan hanya soal membangun kota. Ini tentang menumbuhkan harapan dari tanah yang dulu dianggap tak bernilai. Dan seperti biji yang jatuh di tanah sunyi, jika dirawat dengan sungguh, ia bisa tumbuh jadi pohon kehidupan. Maka transmigrasi bukan tinggal cerita masa lalu—ia bisa jadi tanda mula masa depan Indonesia yang lebih adil.