Konten dari Pengguna

Dinamika Lembaga Negara Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi

Abdul Aziz
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, konsentrasi Hukum Tata Negara.
3 April 2023 17:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mural peringati 19 tahun reformasi Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mural peringati 19 tahun reformasi Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 setelah lebih dari 350 tahun hidup pada bayang-bayang penjajahan. Sebagai suatu negara merdeka tentu Indonesia memerlukan alat kelengkapan negara guna menunjang keberlanjutan bernegara. Termasuk alat kelengkapan negara adalah lembaga negara yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan bernegara.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut tentunya antar lembaga memiliki hubungan yang satu sama lain tak terpisahkan guna menunjang keteraturan hidup bernegara. Namun, dapat ditemukan beberapa problematika yang muncul mengenai lembaga negara seiring perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Problem tersebut dapat ditemukan baik sebelum dan sesudah reformasi.
Pada kurun waktu lebih kurang 54 tahun, yakni antara tahun 1945-1999 terdapat permasalahan tersendiri dalam tubuh lembaga negara. Kita sebut masa ini sebagai masa sebelum reformasi atau masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar. Masa ini berlaku Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam Pasal 1 ayat (2) menempatkan lembaga MPR menjadi pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dan dengan demikian MPR memposisikan diri sebagai lembaga tertinggi di antara lembaga lain.
Dari rumusan pasal tersebut, kiranya dapat diambil pemahaman bahwa pendiri bangsa menginginkan agar kedaulatan dijalankan oleh rakyat melalui representasi MPR. Hal ini logis karena melihat kemajemukan bangsa Indonesia dan ketidakmungkinan untuk menyerahkan sepenuhnya kedaulatan secara langsung kepada rakyat. Artinya MPR adalah sebagai representasi dari kedaulatan rakyat dengan harapan bahwa realisasi kedaulatan rakyat akan lebih efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
Pada perkembangannya, cita-cita pendiri bangsa agar kedaulatan rakyat direprensentasikan oleh MPR banyak terjadi penyimpangan. Hal ini karena MPR adalah lembaga politik yang di dalamnya dikuasai oleh suatu golongan tertentu. Golongan tersebut menjadikan MPR yang seharusnya menjadi wadah untuk menampung aspirasi rakyat malah justru menjadi wadah untuk memuluskan kepentingan golongan.
Hal tersebut dibuktikan dengan langgengnya kekuasaan oleh orang tertentu di mana golongannya berkuasa penuh atas lembaga tertinggi negara. Tentu hal tersebut tidak baik bagi iklim kedaulatan rakyat, yang bergeser menjadi kedaulatan golongan. Selain MPR, masih ada problematika lain yang mendorong untuk dilakukannya perubahan besar terhadap Konstitusi seperti kurangnya lembaga yang menunjang untuk memaksimalkan kehidupan bernegara. Maka suatu keniscayaan bahwa pasca amandemen UUD muncul lembaga-lembaga baru untuk mengisi kekosongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada saat amandemen UUD dilakukan yakni pada tahun 1999-2002, muncul dan berkurang lembaga negara yang di Indonesia. Termasuk lembaga negara yang dihapus adalah Dewan Pertimbangan Presiden (DPA) yang dirasa tidak cukup berperan dalam ketatanegaraan. Sebaliknya muncul juga lembaga negara baru pasca amandemen, yakni MK dan KY. Selain itu, perubahan Konstitusi juga mengubah komposisi parlemen. Sebelum amandemen MPR diisi oleh DPR, ditambah utusan-utusan daerah dan utusan golongan (Pasal 2 ayat (1) UUD 1945).
Pasca perubahan komposisi tersebut berubah di mana MPR terdiri dari DPR dan DPD hasil Pemilu (Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam hal ini, lembaga yang dikatakan cukup menjadi problematika tersendiri adalah DPD. Sebagai perwakilan dari daerah-daerah yang ada di Indonesia DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya (Pasal 22 D ayat (1) UUD NRI 1945).
ADVERTISEMENT
Melihat penjelasan tersebut, kiranya kita dapat ketahui bahwa pemerintahan Indonesia menganut sistem parlemen bikameral di mana ada DPR di satu kamar dan DPD di kamar yang lain. Berikutnya, apakah dua kamar tersebut memiliki kewenangan yang sama untuk menghasilkan suatu Undang-Undang? Tentu tidak kalau mengacu pada Pasal 22 tersebut, dalam konstruksinya DPD hanya diberikan wewenang untuk mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan urusan kedaerahan.
Lalu, apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai sistem bikameral murni? Bikameral murni adalah di mana ketika dua kamar yang ada di parlemen memiliki hak yang sama dalam pembuatan Undang-Undang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem parlemen bikameral Indonesia tidaklah murni dan bisa dikatakan bahwa sistem bikameralnya lemah (weak bicameralism).
ADVERTISEMENT
Pemaparan di atas memberikan beberapa informasi yang dapat disimpulkan berkenaan dengan problematika lembaga negara dilihat dari aspek perkembangannya. Pada masa sebelum reformasi MPR menjadi lembaga tertinggi sebagai wujud representasi dari kedaulatan rakyat. Namun, seiring berjalan waktu hal tersebut diselewengkan oleh kepentingan golongan. Begitupun pasca reformasi, dengan diberlakukannya sistem bikameral tak lantas menguatkan parlemen karena ketidakseimbangan kedudukan antara DPR dan DPD.