Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perppu Cipta Kerja, Memperbaiki Masalah atau Lari dari Masalah?
22 Maret 2023 17:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada tanggal 30 Desember 2022 Pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu tersebut diterbitkan dengan alasan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari situasi ekonomi global sebagaimana disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang tujuannya agar investasi dari luar negeri bisa masuk.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa pada tahun 2023 dunia Internasional sudah pasti mengalami perfect storm, yaitu badai ekonomi, resesi, inflasi, stagflasi, krisis energi dan sebagianya. Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa dengan adanya Perppu a quo kepastian hukum bisa terisi dan menjadi implementasi dari putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat.
Perppu sendiri merupakan produk hukum yang diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 di mana dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan Perppu. Penilaian terhadap kegentingan yang memaksa merupakan hak subjektif Presiden, namun penilaian tersebut haruslah secara objektif. Sebagaimana putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa yang dimaksud hal ihwal kegentingan memaksa antara lain;
ADVERTISEMENT
a. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat;
b. Tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
c. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa.
Jika melihat tiga hal tersebut, dan dihubungkan dengan alasan yang disebutkan oleh pemerintah sebelumnya, maka bisa dikatakan bahwa alasan tersebut bisa memenuhi salah satu unsur di mana adanya kebutuhan mendesak. Namun, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa penilaian akan kebutuhan mendesak adalah hak subjektif dari Presiden yang harus objektif pada tiga hal di atas.
Pemerintah mengeklaim bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja tersebut adalah merupakan implementasi dari putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tertanggal 25 November 2021. Amar putusan tersebut memuat beberapa hal pokok. Pertama, UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
ADVERTISEMENT
Kedua, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melaksanakan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka Undang-Undang atau Pasal-Pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut secara umum mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Perbaikan yang dimaksud adalah perbaikan secara formil, di mana pemerintah harus menghadirkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk membahas UU a quo. Namun, Pemerintah justru mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sebagai implementasi dari putusan MK. Tentu ini menjadi suatu paradoks sebab amar putusan MK adalah memperbaiki UU Cipta Kerja bukan mengganti UU a quo dengan sebuah Perppu.
Hal ini dapat dilihat dalam konsideran huruf f Perppu Cipta Kerja di mana disebutkan bahwa Perppu ini untuk melaksanakan putusan MK dengan melakukan perbaikan melalui penggantian terhadap UU Cipta Kerja. Perlu digarisbawahi di sini bahwa perbaikan yang dimaksud MK adalah perbaikan UU Cipta Kerja bukan penggantian UU Cipta Kerja. Dengan demikian dapat dianalogikan dengan ban motor bocor yang dibawa ke bengkel, pihak bengkel menyuruh untuk menambal ban tersebut, tapi pemilik motor yang harusnya mengikuti montir untuk menambal justru mengganti dengan ban baru yang kualitas ban-nya masih perlu dipertanyakan.
ADVERTISEMENT