Konten dari Pengguna

Sampai Kapan Ginting Bergeming?

Abdi Rafi Akmal
Masih kuliah di Universitas Brawijaya, sembari jadi freelancer content creator di Ruang Taktik. Pernah juga aktif sebagai wartawan kampus dan wartawan media cetak.
17 Mei 2022 15:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdi Rafi Akmal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pebulutangkis Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting. Foto: Situs Resmi PBSI.
zoom-in-whitePerbesar
Pebulutangkis Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting. Foto: Situs Resmi PBSI.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Anthony Sinisuka Ginting selepas pandemi dipenuhi ketidakpastian. Ginting belum pasti kalah dari lawan yang lebih diunggulkan. Begitupula sebaliknya, ia belum pasti menang dari lawan non-unggulan atau yang berperingkat lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Paling anyar tentu saja melihat sepak terjang Ginting pada perhelatan Thomas Cup 2022 di Thailand, 8-15 Mei 2022. Dari enam pertandingan yang dijalaninya, pebulutangkis peringkat ke-5 dunia itu hanya mampu menyumbang dua poin untuk Indonesia. Empat kesempatan lainnya berakhir nihil.
Tercatat hanya Kento Momota (Jepang) yang punya peringkat lebih baik dari Ginting, yaitu peringkat ke-2 dunia. Momota juga punya head-to-head jauh lebih baik dengan rekor 4-11 sebelum berhadapan dengan Ginting di semifinal Thomas Cup 2022. Tetapi, Ginting berhasil menumpasnya.
Lima lawan Ginting lainnya berperingkat lebih rendah: Loh Kean Yew (Singapura) ada di peringkat ke-10 dunia; Kunlavut Vitidsarn (Thailand) bertengger di posisi ke-18; Heo Kwang Hee (Korea Selatan) adalah pebulutangkis berperingkat 31; Zhao Junpeng (Cina) ‘hanya’ menempati peringkat ke-38; terakhir, Lakhsya Sen (India) masih berada di peringkat ke-9.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Ginting juga punya rekor head-to-head lebih baik saat bersua Kwang Hee (3-0) dan Junpeng (2-1). Rekor pertemuan sama kuat pun terjadi dengan Vitidsarn (1-1). Sedangkan Ginting belum pernah menang pada pertemuan pertamanya masing-masing melawan Kean Yew dan Sen.
Angka-angka di atas kertas itu ternyata tak berpengaruh banyak. Selain Momota, satu-satunya lawan yang berhasil ditundukkan oleh Ginting adalah Junpeng ketika mereka bersua di perempat final. Sisanya, Ginting tak bisa berbicara banyak kala berhadapan dengan Kean Yew, Vitidsarn, dan Sen.
Kekalahan atas Sen mungkin jadi yang paling membekas. Keduanya saling bertemu pada pertandingan pertama partai final Thomas Cup 2022. Ginting sejak awal diharapkan bisa mendulang poin pertama nan penting bagi Indonesia di partai puncak. Saat itu, ia juga sedang berada dalam tren positif dengan memenangi pertandingan di perempat final dan semi final.
ADVERTISEMENT
Ginting juga unggul dari segi pengalaman. Pemain kelahiran Cimahi, Jawa Barat itu sudah pernah merasakan atmosfer bertanding di partai final Thomas Cup 2018 dan 2021. Di edisi terakhir, ia sukses mengantarkan Indonesia keluar sebagai kampiun. Sementara lawannya, baru kali pertama bertanding di partai super penting.
Namun, hasil akhir tidak sesuai harapan. Penampilan meyakinkan Ginting di set pertama dengan menang 21-8 hanya bertahan singkat. Sen kemudian membalik keadaan dengan menang di dua set berikutnya 21-17 dan 21-16.
Ginting tertunduk lesu. Pendukung Indonesia tertunduk lesu. Harapan bisa menyusul di tiga pertandingan lain ternyata tidak terwujud. Mohammad Ahsan/Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Jonathan Christie juga gagal menyumbang poin.
Indonesia akhirnya tersungkur di hadapan ‘finalis debutan’ India dengan skor telak 0-3. Kesempatan mempertahankan gelar juara Thomas Cup melayang. Tentu saja, pasukan ‘Merah Putih’ pulang dengan banyak catatan dan evaluasi. Terlebih bagi Ginting.
ADVERTISEMENT
***
Bagi Ginting, orang tua jadi alasan pertamanya menyukai bulutangkis. Orang tuanya juga yang jadi alasan untuk bertahan sedikit lebih lama menekuni olahraga dengan raket itu.
Pasalnya, perjalanannya tak mulus. Ginting lebih akrab dengan hasil akhir kurang memuaskan, daripada hasil yang membanggakan. Namun dukungan orang tuanya terus membara. Sedikit demi sedikit ia menjadi lebih baik. Sampai akhirnya, Ginting muda menembus pelatnas pada tahun 2013 atau ketika usianya masih 17 tahun.
“Awal mulai main bulutangkis sampai sebelum masuk pelatnas itu, malah sempat mikir, pilih sekolah atau lanjut (bulutangkis),” kenang Ginting.
Pengorbanannya pun tidak main-main, terutama waktu masa mudanya. Pagi sampai siang bersekolah. Sepulang dari sekolah, lanjut latihan sampai hari gelap. Sepulangnya ia dari tempat latihan, giliran tugas-tugas sekolah yang dituntaskannya. Siklus itu terulang nyaris setiap hari.
ADVERTISEMENT
Ginting menuai hasilnya pada periode 2013-2015. Pria kelahiran tahun 1996 itu mulai bertanding pada skala nasional dan sesekali merambah level internasional. Dalam kurun waktu tersebut, peringkatnya melesat dari 1000+ sampai menempati peringkat ke-35 dunia. Perlu diingat, usianya belum genap 20 tahun saat itu.
Ginting mulai menyeruak ke jajaran pebulutangkis top dunia pada tahun 2018. China Open 2018 jadi ajang pembuktian betapa layaknya pemain berpostur 171 cm itu menyandang predikat tersebut. Padahal, ia baru nangkring di peringkat ke-13 dunia.
Sejak awal babak penyisihan sampai final, seluruh lawan yang dihadapinya punya peringkat lebih baik. Lin Dan (Cina, peringkat ke-12) jadi korban pertama. Victor Axelsen (Denmark, peringkat ke-1) menyusul kemudian. Chen Long (Cina, peringkat ke-6) dan Chou Tien Chen (Cina Taipei, peringkat ke-5) juga bertekuk lutut. Di partai puncak, giliran Momota yang berperingkat ke-2 dunia sukses disingkirkannya. Ginting pun bisa menembus peringkat sepuluh besar dunia.
ADVERTISEMENT
Kedigdayaan Ginting berlanjut di tahun berikutnya. Lima final berhasil dijejaki. Namun, tidak sekalipun Dewi Fortuna berpihak padanya. Lima kali itu pula ia harus puas sebagai runner-up.
Barulah pada tahun 2020 ada gelar juara yang mampir. Indonesia Master 2020 jadi gelar juara individu, lalu Badminton Asia Team Championship 2020 jadi gelar juara beregu. Kemudian, pandemi menerjang dan rangkaian turnamen yang disiapkan BWF banyak yang dibatalkan di tahun tersebut.
Turnamen bergengsi karena penundaan di tahun sebelumnya, akhirnya diadakan kembali pada tahun 2021, termasuk Thomas Cup dan Olimpiade. Dua edisi Thailand Open bahkan digelar dalam satu bulan yang sama.
Ketika dunia mulai pulih dan menemukan ritme kehidupan kembali dalam konsep new normal, Ginting tidak demikian. Gelar Indonesia Masters 2020 itu jadi gelar juara individu terakhir yang diraihnya. Ya, Ginting seolah sedang dalam fase jet lag. Kemampuan terbaiknya belum lekas pulih.
ADVERTISEMENT
Medali perunggu di Olimpiade Tokyo 2020 dan juara Thomas Cup 2021 seolah hanya selingan. Ginting gagal membangun momentum untuk bisa menunjukkan kedigdayaannya di lapangan seperti sedia kala.
Jangankan menjadi juara, menjejakkan kakinya lagi di final individu pun belum kesampaian. Paling banter hanya mencapai semi final di Thailand Open 2021 dan Swiss Open 2022, termasuk Olimpiade Tokyo 2020.
Di samping itu, Ginting juga berkali-kali terhenti langkahnya pada babak pertama penyisihan, masing-masing di All England 2021 (WO), Denmark Open 2021 (Retired), Indonesia Masters 2021, Indonesia Open 2021, Kejuaraan Dunia 2021 (WO), serta Korea Open 2022. Ia terhenti di tangan para pebulutangkis dengan peringkat 20 ke bawah.
Persentase pertandingan yang dimenangkannya di tahun 2021 jadi yang paling rendah dari delapan tahun kariernya di bulutangkis. Hanya 50%. Sedangkan di tahun 2022 ini, termasuk hasil yang diperoleh dari Thomas Cup, baru di kisaran 52,6%.
ADVERTISEMENT
***
Rangkaian agenda turnamen di bawah naungan BWF masih panjang dan banyak sampai akhir tahun. Tepat setelah Thomas dan Uber Cup 2022, ada Thailand Open 2022. Lalu ada Indonesia Masters 2022, Indonesia Open 2022, dan Malaysia Open 2022 yang menanti di bulan Juni.
Ginting pun dipastikan ambil bagian dalam Thailand Open 2022, namun belum di ketiga turnamen lainnya. Baginya yang penting kini adalah mencari momentum untuk mengembalikan performa terbaik. Ini bukan untuk dirinya saja, tetapi juga buat Indonesia.
Mau bagaimanapun, Ginting adalah pebulutangkis nomor satu di Indonesia saat ini. Di bawahnya, ada Jonathan Christie yang berperingkat ke-8 dunia. Shesar Hiren Rustavito menguntit jauh di belakang dengan peringkat ke-24.
Disadari atau tidak, Ginting sedang mengemban role model bagi regenerasi pebulutangkis muda di Tanah Air. Dunia bulutangkis Indonesia telah lama kehilangan sosok itu sejak Taufik Hidayat pensiun. Dengan peringkat paling baik di antara pebulutangkis putra Indonesia, maka sudah selayaknya Ginting harus terus (mengembalikan) menunjukkan performa terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir dan sepanjang Thomas Cup 2022 seolah menunjukkan performa Ginting yang masih angin-anginan. Maka dari itu, ia pun kini bergeming di peringkat ke-5 dunia sejak 1 Februari 2021 silam.
Pertanyaannya kemudian, mau sampai kapan Ginting bergeming? Jika pun akhirnya bergerak, mampukah Ginting bergerak naik?