Tuah Steve Cooper untuk The Forest

Abdi Rafi Akmal
Masih kuliah di Universitas Brawijaya, sembari jadi freelancer content creator di Ruang Taktik. Pernah juga aktif sebagai wartawan kampus dan wartawan media cetak.
Konten dari Pengguna
31 Mei 2022 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdi Rafi Akmal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Manajer Nottingham Forest, Steve Cooper (tiga dari kiri). Sumber: Situs resmi EFL Championship.
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Nottingham Forest, Steve Cooper (tiga dari kiri). Sumber: Situs resmi EFL Championship.
ADVERTISEMENT
Nottingham Forest nyaris kehabisan akal. Para penggemarnya pun tampak sudah sulit berharap. Gonta-ganti manajer sebanyak 13 kali dalam rentang sepuluh tahun sejak 2011 belum membuahkan hasil. Satupun tidak ada yang bisa membagikan tuahnya untuk membangkitkan kembali eks Raja Eropa tersebut.
ADVERTISEMENT
Para manajer yang ditunjuk itu tidak membawa Forest ke mana-mana. Dalam rentang periode tersebut, rata-rata peringkat akhir Forest hanya berada di angka 13,9. Ya, mereka bahkan tidak mumpuni menembus sepuluh besar klasemen divisi kedua.
Forest bukannya “tidak menghargai proses”, tapi mereka memang kelewat sabar menanti untuk bisa segera promosi ke divisi teratas sepak bola Inggris. Sejak degradasi dari Premier League musim 1999/00 silam, mereka tak pernah lagi kembali.
Apabila menoleh pada rekam jejak Forest di masa lampau, divisi kedua jelas bukan habitat yang pantas. Apalagi kalau sampai 23 tahun berkubang di sana.
Dua trofi European Cup (sekarang Champions League) yang pernah diraih menegaskan betapa besarnya Forest di masa lampau. Jumlah itu sama dengan pencapaian Chelsea, salah satu klub sukses di London dan hanya kalah satu trofi dari Manchester United, salah satu klub dengan koleksi gelar terbanyak di daratan Inggris.
ADVERTISEMENT
Selama masa rotasi manajer tanpa henti itu, pencapaian terbaik yang dicapai Forest adalah peringkat ke-7. Itu terjadi pada Championship musim 2019/20. Namun, posisi itu bahkan masih belum cukup untuk bisa melaju ke babak play-off dan menyalakan asa merebut tiket promosi dari sana.
Semusim berikutnya, Forest malah jatuh. Mengakhiri musim di peringkat ke-17 jelas bukan sesuatu yang didambakan. Apalagi, keterpurukan Forest itu ternyata berlanjut sampai awal musim 2021/22.
Forest sempat merana di tujuh laga awal bersama Chris Hughton. Enam kekalahan mendera dan hanya satu hasil imbang yang bisa dibanggakan. Alhasil, mereka berada sangat dekat dengan dasar klasemen. Para penggemar dibuat ketar-ketir.
Tak mau nasib buruk berlanjut, Forest segera memecat Hughton. Steve Cooper ditunjuk menjadi sosok yang menggantikannya. Ya, ia adalah sang manajer ke-14.
ADVERTISEMENT
15 laga perdana Cooper bersama Forest berjalan teramat baik. Para penggawa Forest hanya merasakan sekali kekalahan. Rentetan hasil positif itu mampu memperbaiki posisi Forest di klasemen.
“Ketika kamu memenangkan pertandingan, kepercayaan diri tumbuh, dan kami terus melaju dengan brilian,” kata Cooper.
“Kami kemudian melewati Natal dan Tahun Baru dan sudah masuk 10 besar. Lalu saya berpikir, ‘ayo masuk enam besar’. Kami tidak pernah menyerah,” lanjutnya.
Berkat penampilan yang konsisten, Forest yang tadinya sempat terjerembab di zona degradasi, akhirnya bisa menyudahi musim reguler di peringkat ke-4 klasemen dan berhak melaju ke play-off.
Sheffield United jadi yang pertama ditumbangkan pada partai semifinal. Berikutnya giliran Huddersfield yang berhasil disingkirkan di partai final play-off. Kemenangan itu membuat tiket promosi terakhir ke Premier League musim 2022/23 berhak jadi milik Forest. Pencapaian yang selama lebih dari dua dekade terakhir hanya terbayang di angan-angan.
ADVERTISEMENT
***
Steve Cooper adalah nama baru di dunia kepelatihan senior. Sebelum menjejak ke Forest, Cooper baru dua musim menangani tim senior Swansea City. Jadi, Forest merupakan tim senior kedua yang ditanganinya, sekaligus jadi tahun ketiganya berada di level senior.
Meski begitu, namanya sudah cukup dikenal di dunia kepelatihan tim junior. Sejak mendapat lisensi kepelatihan UEFA Pro di usia 27 tahun, Cooper sudah banyak mengasah kemampuan melatihnya bersama sejumlah tim junior, mulai dari Wrexham, Liverpool, sampai timnas Inggris U-17.
Kesuksesan pun sempat menghampiri karier Cooper di level junior. Ia mampu meloloskan Inggris U-17 ke final European Championship 2017, meski kemudian takluk dari talenta-talenta muda Spanyol di babak adu penalti. Tak lama berselang, Inggris U-17 juga melaju ke final Piala Dunia 2017, yang kali ini berhasil mereka menangkan.
ADVERTISEMENT
Selama membesut Three Lions muda, Cooper sudah akrab dan menemukan bakat-bakat potensial di diri Phil Foden, Jadon Sancho, Callum Hudson-Odoi, sampai Emile Smith Rowe. Mereka berempat ini menjelma jadi salah satu pemain penting di klubnya masing-masing saat ini.
Cooper juga sebelumnya telah sedikit banyak melihat bibit pemain bintang masa kini. Hal itu ditemukannya saat jadi pelatih tim junior di Akademi Liverpool. Raheem Sterling, Trent Alexander-Arnold, sampai Ben Woodburn sempat berada dalam pantauannya kala itu.
Pengalaman unik ini yang membuatnya punya daya pikat tersendiri bagi tim-tim yang tengah meregenerasi skuad. Swansea City jadi yang pertama memakai jasanya. Di tengah upaya mereka kembali ke Premier League, penunjukkan Cooper diharapkan dapat meninggalkan banyak pengaruh pada akademi Swansea yang kualitasnya sudah di atas rata-rata.
ADVERTISEMENT
Di luar dugaan, Cooper berbuat lebih banyak dari itu. Dua musim awalnya bersama Swansea menunjukkan hasil positif. Ia berhasil mencatatkan back-to-back play-off bersama Swansea. Walaupun pada akhirnya tetap harus kecewa. Masing-masing di dua play-off itu, Swansea kalah di semifinal, lalu semusim berikutnya tersingkir di final.
Forest mengendus bakat potensial Cooper. Mereka bergerak cepat dan rela membayar kompensasi kepada Swansea. Forest ingin segera meresmikan Cooper sebagai manajer anyar.
Penunjukan Cooper awalnya seperti upaya menyelamatkan tim yang tengah terpuruk di zona degradasi lantaran awal musim yang buruk. Namun, Forest rupanya punya rencana lain.
Cooper dipilih karena dianggap selaras dengan visi klub yang sedang meregenerasi skuad. Memang dalam empat tahun terakhir, rata-rata usia skuad Forest berhasil dipangkas sedikit demi sedikit. Sampai di musim lalu, rata-rata usia skuad Forest adalah 25,2 tahun.
ADVERTISEMENT
“Steve adalah pilihan pertama kami sebagai pelatih kepala. Catatannya dalam mengembangkan talenta muda sangat luar biasa. Steve tahu apa yang dibutuhkan untuk sukses di liga dan sudah terbukti bersama Swansea,” kata Chief Executive Nottingham Forest, Dane Murphy.
“Kami telah mengurangi usia skuad kami selama musim panas dan Steve adalah pelatih yang ideal untuk memadukan tim dan menggerakkan kami ke atas klasemen,” lanjut dia.
***
Manajer Nottingham Forest, Steve Cooper. Sumber: Situs resmi EFL Championship.
Cooper adalah pelatih yang punya pemahaman teori taktikal dan daya imajinasi yang kuat, serta ditunjang kemampuan mengaplikasikan teori dan imajinasi tersebut ke dalam sesi-sesi latihan. Ia belajar untuk menutup mata sambil membayangkan bagaimana ia ingin timnya bermain.
“Mengetahui seperti apa tim ingin bermain baru satu hal, hal lainnya adalah bagaimana mewujudkan itu. Itu yang saya banggakan dari diri saya saat ini, saya memiliki pandangan jelas soal tim, ke mana para pemain harusnya bergerak, sampai detail kecil apa yang perlu mereka lakukan,” terang Cooper.
ADVERTISEMENT
Salah satu kecenderungan Cooper semenjak melatih Inggris U-17, Swansea City, sampai Nottingham Forest adalah progresi dan menyerang lewat sayap. Formasi dasar untuk menunjangnya cukup variatif, bisa 4-2-3-1, 3-4-1-2, atau 3-4-3.
Cooper terkenal bermain cepat lewat sayap dan mengandalkan kreatifitas para pemainnya. Di saat sejumlah pemain sedang mengkreasi serangan di salah satu sisi, maka pemain-pemain lain di sisi terjauh bakal merapat untuk menuntaskan peluang-peluang tersebut.
Whoscored mencatat Forest hanya 22% mengkreasikan serangannya dari koridor sentral. Jumlah itu paling rendah di liga. Namun, jika menoleh pada area tembakan Forest, 64% berasal dari tengah.
Gambaran umumnya, Forest di musim lalu adalah tim yang berusaha mengobrak-abrik pertahanan lawan lewat sayap, lalu memanfaatkan celah-celah yang terbuka di tengah untuk mengeksekusinya.
ADVERTISEMENT
Tak heran, Forest mampu menciptakan xG 73,71 sepanjang musim reguler. Mereka pun terbilang klinis untuk menuntaskan peluang yang ada dengan mencetak total 74 gol sebelum masuk babak play-off.
Kemampuan Forest bermain lewat sayap itu ditunjang prinsip Cooper untuk senantiasa menciptakan situasi berlian di lapangan, khususnya di sisi tepi. Dengan cara begitu, Forest bisa melakukan overload dan leluasa menerobos masuk ke celah yang ada.
Selain itu, Cooper juga mengandalkan kemampuan individu para pemain untuk menusuk ke jantung pertahanan lawan. Total 1417 upaya dribel dari para penggawa Forest adalah yang tertinggi di antara tim lainnya.
Melihat sekilas apa yang dilakukan Cooper bersama Forest musim lalu, menunjukkan bahwa ia adalah pelatih brilian nan potensial. Forest beruntung, setelah menunggu sekian lama, ada manajer yang akhirnya membagikan tuahnya.
ADVERTISEMENT
Namun, keadaan kembali akan berubah 180 derajat ketika memasuki Premier League. Ada tim-tim berisikan pemain-pemain kelas dunia yang mesti dilawan. Ada pula pelatih-pelatih jenius yang mesti dihadapi. Forest-nya Cooper bakal memiliki tantangan baru yang lebih berat.