Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Interaksi Fiqih Islam dan Kepercayaan di Indonesia
10 November 2024 12:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abdul Haris Citra Atmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dominasi Kesultanan Demak sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 tidak hanya menandai kokohnya kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga menciptakan fondasi bagi penyebaran dan penguatan tradisi fiqih dalam kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Jawa. Fiqih Islam, yang merupakan sistem hukum dan etika agama yang mendetail, memainkan peran penting dalam membentuk corak kehidupan beragama masyarakat Jawa yang bertahan hingga kini. Menurut Karl Gustav Jung, konsep collective consciousness atau kesadaran kolektif, berfungsi untuk menggambarkan bagaimana tradisi dan norma tertentu tertanam dalam masyarakat dan memengaruhi tindakan sosial serta pola pikir individu dalam komunitas tersebut. Dalam konteks ini, fiqih Islam, yang diterima dan diinternalisasi dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, membentuk kesadaran kolektif masyarakat Muslim Jawa, yang tercermin dalam banyak aspek budaya, ritual, dan mitos lokal.
Aspek fiqih yang paling signifikan dalam kehidupan sosial masyarakat Islam adalah prosesi penguburan jenazah. Tradisi ini, yang melibatkan rangkaian aktivitas mulai dari memandikan jenazah (ghusl), mengkafani (takfiyah), menshalatkan (salat al-janazah), hingga menguburkan (dafn), merupakan bagian integral dari kaifiyah fiqih (Prosedur Fiqih) yang diatur dalam kitab-kitab fiqih klasik, seperti Fathul Qorib. Proses ini bukan hanya sebuah ritual ibadah, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai agama yang diturunkan melalui tata cara yang sistematis dan sakral. Dalam fiqih Islam, terdapat sejumlah ketentuan yang mendetail mengenai tata cara pengurusan jenazah, yang mencakup tidak hanya aspek fisik, tetapi juga etika dan panduan spiritual bagi mereka yang terlibat dalam prosesi tersebut.
Salah satu instruksi yang tertera dalam kitab fiqih adalah mengenai melepaskan tali pengikat kafan jenazah pada prosesi pemakaman selesai. Dalam Fathul Mu’in, disebutkan bahwa salah satu tindakan yang dianjurkan (sunnah) adalah melepaskan tali kafan dari jenazah setelah pemakaman. Tindakan ini, yang pada awalnya dianggap sebagai bagian dari prosedur yang tidak harus dijalankan, kemudian mengalami proses sakralisasi dalam budaya lokal. Sakralisasi ini terjadi ketika masyarakat mulai meyakini jika tali kafan tidak dilepas, maka akan ada dampak buruk yang terjadi pada mayit.
Adapun mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa adalah bahwa mayit yang kafannya tidak dilepas akan bangun dari kuburnya dan mengelilingi kampung untuk mencari orang yang akan melepaskan tali kafannya. Mitos ini kemudian melahirkan sosok yang dikenal dalam tradisi Jawa sebagai “Pocong”. Dalam cerita rakyat, Pocong digambarkan sebagai arwah gentayangan yang tidak dapat beristirahat dengan tenang karena tali kafannya belum dilepaskan, sehingga ia mengucapkan kata “culi” yang berarti “lepaskan”.
Menurut Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java, Pocong tidak hanya sekadar figur yang terhubung dengan mitos atau kepercayaan rakyat, tetapi juga merupakan simbol dari ketegangan antara norma-norma fiqih Islam yang sudah baku dengan adaptasi budaya lokal yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Geertz berpendapat bahwa Pocong adalah manifestasi dari arwah yang terganggu dan menggambarkan proses transisi antara kehidupan dan kematian yang tidak sepenuhnya diselesaikan. Dalam konteks ini, Pocong menjadi simbol penting dalam budaya Jawa, di mana mitos ini dipengaruhi oleh ajaran fiqih Islam tentang pentingnya tata cara penguburan yang benar.
Selain Pocong, terdapat pula fenomena lain yang memperlihatkan interaksi antara tradisi Islam dan kepercayaan lokal, yakni “Lampor” atau “Keranda Terbang”. Lampor merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi di beberapa daerah di Jawa, di mana sejumlah orang mengklaim bahwa mereka melihat keranda yang terbang tanpa dikendalikan, biasanya diiringi dengan suara-suara aneh. Fenomena ini, meskipun tidak secara langsung disebutkan dalam ajaran fiqih, sering kali dikaitkan dengan konsep-konsep tertentu dalam Islam, seperti ketidakpatuhan terhadap aturan fiqih atau ketidakberesan dalam tata cara pemakaman.
Dalam pengertian yang lebih luas, baik Pocong maupun Lampor menunjukkan bagaimana ajaran fiqih Islam dapat berinteraksi dengan kepercayaan dan praktik budaya lokal, membentuk suatu sintesis yang unik. Meskipun fiqih Islam dengan jelas mengatur kaifiyah pengurusan jenazah, interpretasi terhadap pelaksanaan hukum-hukum tersebut dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya yang lebih luas. Masyarakat Jawa, dengan kekayaan budaya dan tradisi yang telah berlangsung lama, mengintegrasikan ajaran Islam dengan elemen-elemen lokal, menciptakan suatu bentuk agama yang bercirikan akomodatif.
Pengaruh fiqih Islam dalam tradisi penguburan di Indonesia, terutama di Jawa, mengilustrasikan bagaimana hukum agama tidak hanya menjadi panduan keagamaan, tetapi juga membentuk budaya dan perilaku sosial. Meskipun ajaran fiqih yang lebih ketat menekankan kaifiyah tertentu dalam setiap prosesi, penerimaan dan penyesuaian terhadap kebiasaan-kebiasaan lokal telah menghasilkan perubahan dalam praktik dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan, kematian, dan eskatologi. Dalam hal ini, fenomena Pocong dan Lampor bukan hanya sekadar mitos atau legenda, tetapi juga sebuah contoh konkret dari bagaimana fiqih Islam berinteraksi dengan dunia sosial dan budaya masyarakat Jawa
.
ADVERTISEMENT