Konten dari Pengguna

Dilema Tukang Cukur Asgar Kala Pandemi

Abdul Latif
Jurnalis Liputan Khusus Kumparan
14 September 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Latif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dilema Tukang Cukur Asgar Kala Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sepetak ruangan tua berukuran tiga kali empat terlihat sepi pagi itu. Indra terlihat sibuk bermain ponsel androidnya. Dua kursi yang biasa terisi pelanggan sekarang kosong.
ADVERTISEMENT
Tanpa sisa-sisa potongan rambut yang berserakan di lantai. Tanpa deru mesin potong. Tempat itu terlalu rapih dan sunyi untuk sebuah pangkas rambut. Saya segera duduk tanpa menunggu antrian.
Sejak April lalu, pendapatan Indra merosot tajam. Saat itu, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan PSBB. Ia sadar, kehidupannya kini tak akan sama lagi. Biasanya, Indra ditemani oleh dua temannya, Bayu sebagai tukang cukur dan Pina sebagai kasir.
Namun, keduanya memutuskan untuk pulkam ke Garut, karena tak ada pemasukan yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari di Jakarta. Sebenarnya sudah ada ribuan tukang cukur pulkam karena frustasi. Indra merupakan salah satu orang Asli Garut (Asgar) yang bersedia untuk menceritakan suka duka menjadi tukang cukur rambut di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Indra mengaku sempat terbesit keinginannya untuk pulang kampung, tapi ia seakan terbentur dua perasaan dilema.
"Mau pulang gak enak sama mertua, nanti dikira enggak kerja, sementara di sini pemasukan pas-pasan," katanya sembari mencukur rambut saya.
Pria berusia 30 tahun ini memiliki tanggung jawab menafkahi seorang istri dan seorang anak. Untuk itu ia keukeuh memperjuangkan nasibnya di ibu kota. Hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membuka lapaknya meski situasi kian tak karuan.
Dalam sehari Indra hanya memotong empat sampai lima kali. Hal ini berbanding terbalik pada saat normal yang sampai 25 kali dalam sehari.
"Lima orang itu cukup buat makan sehari sama sarapan hari berikutnya," urainya seraya tangannya lincah memegang pisau cukur listrik.
ADVERTISEMENT
Selama pandemi, Indra hanya mampu mengirimkan ongkos sehari-hari kepada istrinya sekitar Rp 1 juta selama dua minggu lebih. Sementara pada saat kondisi normal, Indra mampu memberikan hanya dalam kurun waktu satu minggu dengan jumlah yang sama. Belum lagi ia harus memikirkan biaya sewa bilik kerjanya.
Untungnya, sepak terjang 11 tahun menjadi seorang tukang cukur telah mengubahnya menjadi ahli pengandam segala jenis model rambut. Ia bahkan berani diadu dengan barber shop. Keahlian inilah yang membuatnya memiliki pelanggan panggilan di kawasan Kemang Selatan.
Pelanggannya tak main-main, orang-orang tajir sampai bule. Suatu hari, ia mendapat panggilan salah satu pelanggannya di kawasan Kemang Selatan. Menariknya, sebelum mencukur ia melakukan rapid test di tempat pelanggannya. Pelangganya telah menyiapkannya sekaligus Alat Pelindung Diri (APD) untuk Indra.
ADVERTISEMENT
"Mereka juga menggunakan APD lengkap gitu," ujarnya dengan logat sunda.
Pelanggannya juga telah menyiapkan peralatan cukur lengkap. Cukur rambut dilakukan di teras rumah atau taman rumah karena cahayanya yang lebih terang dibanding di dalam rumah.
"Dan itu cuma sedikit aja yang dicukur. Sebentar aja itu mah. Lumayan dapet Rp 250 ribu sekali potong," katanya.
Pendapatan ini lumayan membantu mencukupi kebutuhan sehari-harinya di tengah lesunya pemasukan. Meski ia mengaku pendapatan dari panggilan tak sebanding dengan pemasukan melalui lapaknya.
Indra mengatakan, akan terus bertahan menjadi tukang cukur rambut bagaimanapun sulitnya kondisi. Ia percaya menjadi tukang cukur rambut merupakan profesi yang lebih banyak membuatnya bahagia. Sebab, dari profesi inilah kondisi ekonominya selalu tercukupi.
ADVERTISEMENT
"Selama saya masih bisa bayar kontrakan saya akan tetap bertahan. Karena inilah pekerjaan yang lebih banyak sukanya dibanding dukanya yah," serunya pilu.
Indra berharap pandemi bisa segera pulih. Hingga akhirnya ia bisa mengajak kedua temannya kembali bekerja.