Konten dari Pengguna

Apresiasi K3 Harus Terukur, Bukan Sekadar Seremoni

Abdul Mukhlis
Pemerhati sosial politik dan kebijakan publik yang konsern di isu K3
12 Mei 2025 12:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Mukhlis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Keyword: WISCA 2025, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Apresiasi Terukur, Budaya K3, Insentif K3, Efisiensi Ekonomi, Kebijakan K3 Adaptif)
(Keterangam Gambar: Koleksi pribadi penulis menggambarkan perubahan dari penghargaan simbolik menuju apresiasi yang terukur)
zoom-in-whitePerbesar
(Keterangam Gambar: Koleksi pribadi penulis menggambarkan perubahan dari penghargaan simbolik menuju apresiasi yang terukur)
Pada 2 Mei 2025, ajang World Safety Organization Indonesia Safety Culture Award (WISCA) kembali digelar di Jakarta. Ajang ini menjadi sorotan karena banyak perusahaan yang menunjukkan komitmennya dalam menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
ADVERTISEMENT
Tercatat lebih dari 100 perusahaan ikut berpartisipasi, dan 29 di antaranya meraih penghargaan atas dedikasi mereka dalam membangun budaya K3 yang kuat.
Namun, yang perlu dicermati adalah bahwa penghargaan seperti WISCA pada dasarnya masih bersifat simbolik. Perusahaan yang mendapatkan predikat silver, gold, atau platinum sejatinya hanya menerima pengakuan moral.
Apresiasi semacam ini tentu penting untuk meningkatkan kesadaran, tetapi belum cukup untuk mendorong perubahan yang lebih struktural dan berkelanjutan, apalagi di sektor-sektor yang masih memandang K3 sebagai beban biaya, bukan investasi strategis.

Dari Seremoni Menuju Manfaat Nyata

Sudah saatnya Indonesia mulai meninggalkan pendekatan seremonial dalam penghargaan K3 dan beralih pada konsep "apresiasi yang terukur". Maksudnya, penghargaan tidak hanya diberikan dalam bentuk piala atau sertifikat semata, tetapi juga hadir dalam bentuk insentif yang benar-benar memberi manfaat bagi dunia usaha.
ADVERTISEMENT
Insentif bisa berupa potongan pajak, pengembalian sebagian premi BPJS Ketenagakerjaan bagi perusahaan dengan tingkat kecelakaan rendah, akses pelatihan keselamatan kerja bersubsidi, hingga kemudahan dalam perizinan.
Bentuk-bentuk penghargaan seperti ini tidak hanya memberikan motivasi tambahan bagi perusahaan, tetapi juga menjadikan K3 sebagai bagian integral dari strategi bisnis.
Yang lebih penting, skema penghargaan ini harus dirancang secara adaptif. Tidak semua perusahaan memiliki kemampuan yang sama dalam mengimplementasikan K3. Karena itu, negara perlu membedakan insentif berdasarkan skala usaha, sektor industri, dan tingkat risiko.
Misalnya, UMKM yang memiliki keterbatasan sumber daya bisa diberikan bantuan alat pelindung diri (APD) secara gratis atau akses ke pelatihan daring tanpa biaya. Di sisi lain, perusahaan besar di sektor konstruksi atau pertambangan bisa diberikan insentif dalam bentuk salah satu pertimbangan khusus dalam tender proyek pemerintah jika mampu menunjukkan rekam jejak K3 yang baik.
ADVERTISEMENT

Mengedepankan Asas Keadilan dan Fasilitasi

Namun apresiasi saja tidak cukup—pemerintah juga perlu mengedepankan keadilan dalam penerapan K3. Tidak semua tempat kerja memiliki kondisi atau titik awal yang sama. Banyak sektor informal, UMKM, hingga pekerja lepas yang belum memiliki akses pada sistem K3 yang layak. Di sinilah negara harus hadir, bukan hanya sebagai pemberi penghargaan tetapi juga sebagai fasilitator.
Langkah konkret bisa berupa penyediaan pelatihan gratis, pendampingan teknis, bantuan APD, hingga penyusunan panduan K3 berbasis sektor.
Pemerintah juga bisa bekerja sama dengan asosiasi usaha dan serikat pekerja untuk mendorong adopsi K3 yang lebih luas dan merata. Dengan cara ini, K3 menjadi hak setiap pekerja dan kewajiban yang realistis untuk setiap pelaku usaha, bukan beban eksklusif perusahaan besar.
ADVERTISEMENT
Apresiasi yang adil adalah apresiasi yang tidak hanya menilai hasil, tetapi juga mendukung proses. Dengan prinsip ini, perusahaan kecil sekalipun berkesempatan memperbaiki kualitas K3 secara bertahap dan progresif.

Insentif yang Membangun Budaya, Bukan Sekadar Kepatuhan

Penerapan sistem penghargaan berbasis performa bukan hal baru. Di Kanada, perusahaan yang berhasil menekan angka kecelakaan kerja secara konsisten berhak mendapatkan pemotongan premi asuransi tenaga kerja.
Di Jerman, pelatihan keselamatan bersubsidi diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kepatuhan perusahaan terhadap regulasi K3 dan penerapan sistem manajemen yang transparan.
Model seperti ini jika diterapkan di Indonesia, tidak hanya akan menurunkan angka kecelakaan kerja tetapi juga menghasilkan efisiensi ekonomi.
Biaya sosial akibat kecelakaan seperti kompensasi, pengobatan, dan hilangnya produktivitas dapat ditekan secara signifikan. Perusahaan pun tidak lagi harus menanggung gangguan operasional akibat insiden yang sebenarnya bisa dicegah.
ADVERTISEMENT
Selain insentif ekonomi, dampak reputasi juga tak kalah penting. Jika pemerintah menggunakan indikator budaya K3 yang berbasis kinerja nyata, bukan sekadar pelabelan simbolik seperti 'Perusahaan Aman' atau nama lainnya.
Pendekatan ini lebih substantif dalam mendorong perubahan perilaku dan peningkatan kualitas kerja secara menyeluruh, keunggulan dalam menjalin kerja sama dengan mitra bisnis, meningkatkan kepercayaan pelanggan, bahkan menarik minat investor. Di era ESG (Environmental, Social, and Governance), aspek sosial seperti K3 menjadi indikator dalam menilai kelayakan dan keberlanjutan suatu entitas bisnis.
Penghargaan berbasis performa juga memiliki pengaruh terhadap budaya organisasi. Ketika karyawan menyadari bahwa tempat kerja mereka dihargai bukan semata-mata karena keuntungan atau target produksi, tetapi karena komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan, maka loyalitas dan motivasi kerja akan tumbuh. Budaya kerja yang sehat dan aman akan menciptakan ketahanan organisasi dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan seorang pengamat kebijakan publik yang konsern di isu K3, “Penghargaan K3 tidak cukup hanya dalam bentuk piala atau sertifikat. Harus ada manfaat nyata seperti pengembalian premi bagi tempat kerja yang berhasil menjadikan K3 sebagai budaya kerja.”
Ini bukan sekadar retorika. Dengan insentif yang tepat, negara bisa menghemat pembiayaan sosial dan menciptakan ekosistem kerja yang lebih aman, sehat dan produktif.

Penutup: K3 sebagai Pilar Daya Saing Bangsa

Untuk mewujudkan skema apresiasi terukur, diperlukan dukungan yang kuat dari sisi regulasi dan kelembagaan. Saat ini, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sebenarnya telah menjadi dasar awal bagi upaya perlindungan K3. Namun, fokusnya masih terbatas pada aspek teknis keselamatan dan kewajiban pengusaha.
ADVERTISEMENT
Kemudian muncul UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS khususnya yang berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan dan aturan turunannya yang memperluas cakupan perlindungan tenaga kerja. Kedua regulasi ini belum secara eksplisit membuka ruang untuk pemberian insentif kepada perusahaan yang unggul dalam K3. Celah ini perlu dievaluasi ulang agar mampu menjawab kebutuhan zaman yang semakin kompleks.
Kelembagaan juga harus diperkuat. Dibutuhkan sistem penilaian nasional yang objektif, transparan, dan terintegrasi antar-lembaga. Penilaian ini bisa dikembangkan melalui kerja sama antara kementerian dan lembaga, asosiasi profesi, lembaga sertifikasi independen, hingga universitas.
Hasil penilaian inilah yang menjadi dasar pemberian penghargaan dan insentif, sekaligus menjadi database nasional untuk evaluasi dan perumusan kebijakan K3 berbasis bukti.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya kita memandang K3 sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, bukan beban regulatif. Negara, perusahaan, dan pekerja harus saling memperkuat dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Apresiasi tidak boleh berhenti di panggung seremoni. Ia harus hadir dalam insentif yang nyata, regulasi yang mendukung, dan kelembagaan yang tangguh. Karena pada akhirnya, keselamatan dan kesehatan kerja bukan hanya tentang menghindari kecelakaan. Ia adalah pondasi dari produktivitas, reputasi, dan keberlanjutan.