Konten dari Pengguna
Kematian Herlan dan Urgensi Regulasi K3 yang Terpadu
19 Mei 2025 10:41 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Kematian Herlan dan Urgensi Regulasi K3 yang Terpadu
Kematian Herlan ungkap carut-marut regulasi K3 di proyek konstruksi. Indonesia butuh sistem keselamatan kerja terpadu lintas sektor demi cegah tragedi serupa terulang.Abdul Mukhlis

Tulisan dari Abdul Mukhlis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
(Kata Kunci: Kecelakaan kerja, K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), Regulasi terpadu, Proyek konstruksi, Audit lintas sektor, Kelelahan kerja, Perlindungan pekerja)
ADVERTISEMENT
Tragedi di proyek Jembatan Cidadap, Sukabumi, kembali membuka luka lama dalam sistem perlindungan keselamatan kerja di Indonesia. Herlan (56), seorang petugas K3 dari PT Modern Widya Technical, meninggal dunia setelah tersenggol truk molen yang oleng karena pecah ban pada tengah malam, saat proses pengecoran berlangsung (14/05/2025). Kejadian ini mengungkap lebih dari sekadar kecelakaan teknis: ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) lintas sektor.
Jika dirunut dari kerangka regulasi nasional, kecelakaan ini jelas dapat dibaca sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3). Pada Pasal 5 ayat (1), "Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya." Penerapan SMK3 dapat berupa identifikasi bahaya, pengendalian risiko, pelaksanaan, serta evaluasi berkelanjutan. Bahkan dalam Lampiran I, disebutkan secara tegas bahwa penilaian risiko harus mencakup faktor manusia, termasuk kelelahan fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Lebih rinci, Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja memberikan standar teknis yang wajib dipenuhi di tempat kerja. Dalam Lampiran II, untuk pekerjaan kasar seperti pengecoran, tingkat pencahayaan minimum yang disarankan adalah 150–300 lux.
Dalam konteks Herlan yang bekerja pada pukul 23.10 WIB, standar ini sangat krusial. Bila pencahayaan di lokasi kerja tidak memenuhi standar ini, maka pekerja berada dalam risiko tinggi kecelakaan.
Tak hanya itu, Permenaker tersebut khususnya pada Lampiran VI memuat Standar Faktor Ergonomi dan Lampiran VII Permenaker juga memuat perlunya pengawasan terhadap stres kerja, tekanan waktu dan tingkat kelelahan sebagai bagian dari faktor bahaya kerja yang harus dikendalikan.
Namun dalam praktik proyek konstruksi publik, regulasi yang diacu biasanya adalah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), seperti Permen PUPR No. 21/PRT/M/2019 dan dirubah oleh Permen PUPR No. 10 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.
ADVERTISEMENT
Meskipun perubahan regulasi ini memperluas cakupan SMK3 dalam mewajibkan penyusunan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (RK3K), penugasan personel K3 dan audit internal, tidak secara eksplisit mengatur standar teknis lingkungan kerja seperti pencahayaan, jadwal kerja malam, atau pemeriksaan kelelahan pekerja.
Inilah celah kritis dalam sistem regulasi K3 kita. Di satu sisi, Kemnaker mengatur standar lingkungan kerja dengan cukup komprehensif. Di sisi lain, kementerian teknis seperti PUPR membuat regulasi sektoral yang tidak sepenuhnya sinkron.
Tidak ada kewajiban harmonisasi antara satu regulasi dengan yang lain, dan tidak ada sistem pengawasan lintas sektor. Akibatnya, aspek penting seperti beban kerja malam, pencahayaan lapangan, atau rotasi shift, kerap diabaikan karena tidak masuk dalam “ceklist” teknis proyek.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, kita sebenarnya tidak kekurangan regulasi—kita justru kelebihan aturan yang saling tumpang tindih, tanpa integrasi. Dampaknya, tanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja hanya dipikul oleh kontraktor, tanpa pengawasan kolaboratif dari lembaga pemerintah. Kematian Herlan pun tidak mengaktifkan audit lintas sektor, padahal jelas-jelas merupakan kecelakaan kerja dengan faktor lingkungan dan jam kerja tinggi.
Belajar dari Negara lain
Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia bisa belajar dari negara lain. Australia, misalnya, menerapkan Model Work Health and Safety Act (WHS Act) sebagai kerangka hukum nasional yang berlaku di semua sektor industri. Regulasi ini mengatur tidak hanya aspek teknis keselamatan, tetapi juga beban psikososial, tekanan kerja, dan waktu kerja yang sehat, serta mewajibkan kerja sama antarlembaga dalam pengawasan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain datang dari Singapura, dengan sistem Workplace Safety and Health (WSH) Act yang berlaku menyeluruh dan terintegrasi. Setiap proyek konstruksi skala besar harus memiliki WSH Coordinator yang bertanggung jawab tidak hanya pada struktur bangunan tetapi juga pada kondisi fisik dan mental pekerja.
Pengawasan tidak dilakukan sektoral, tetapi terpusat melalui Ministry of Manpower, yang mengkoordinasikan seluruh pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja lintas sektor.
Belajar dari mereka, Indonesia perlu melakukan langkah-langkah konkret:
ADVERTISEMENT
Menyusun Ulang Arsitektur Hukum K3 Nasional
Kematian Herlan seharusnya menjadi titik balik dalam cara kita memandang sistem keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Kasus ini tidak bisa hanya disikapi sebagai kecelakaan teknis, tetapi sebagai sinyal darurat dari kegagalan struktur hukum K3 nasional yang rumit dan terfragmentasi.
Payung hukum keselamatan kerja masih berpijak pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja—produk hukum yang sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Sementara itu, kesehatan kerja justru diatur melalui PP No. 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja, yang menjadi turunan dari UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Artinya, dua pilar utama K3—keselamatan dan kesehatan—berasal dari dua fondasi hukum yang berbeda, dengan struktur kelembagaan, pengawasan, dan perangkat turunannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Belum lagi regulasi teknis sektoral dari kementerian seperti PUPR, Kemenkes, Kemnaker, hingga BPOM yang tidak selalu saling menyambung.
Alih-alih membentuk sistem yang saling menguatkan, regulasi-regulasi ini justru berjalan sendiri-sendiri, menimbulkan kebingungan di tingkat implementasi, dan membuka ruang ego sektoral yang mengorbankan keselamatan dan kesehatan pekerja di lapangan.
Regulasi yang terlalu banyak bukanlah tanda kemajuan. Bila tidak terintegrasi, ia menjadi sumber kekacauan.
Maka, solusinya bukan menambah aturan baru, melainkan menyusun ulang arsitektur hukum K3 nasional secara terpadu. Harus ada satu kerangka hukum tunggal—setingkat undang-undang—yang menyatukan keselamatan dan kesehatan kerja dalam satu sistem, melibatkan seluruh sektor, dan mewajibkan koordinasi lintas kementerian serta pemerintah daerah.
Karena sebesar apa pun proyek pembangunan, tak satu pun layak dijalankan bila harus dibayar dengan nyawa yang hilang karena kelalaian sistemik.
ADVERTISEMENT