Konten dari Pengguna

Tragedi Garut: Zona Aman yang Tak Aman

Abdul Mukhlis
Pemerhati sosial politik dan kebijakan publik yang konsern di isu K3
13 Mei 2025 13:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Mukhlis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Keyword: Ledakan Garut, Zona Aman Militer, K3, Pekerja Informal, Manajemen Risiko, Amunisi Kedaluwarsa, Negara dan Perlindungan Warga)
Keterangan Gambar: Ilustrasi Ledakan Amunisi di Garut adalah koleksi pribadi yang dibuat dengan Open AI
zoom-in-whitePerbesar
Keterangan Gambar: Ilustrasi Ledakan Amunisi di Garut adalah koleksi pribadi yang dibuat dengan Open AI
Insiden ledakan hebat pada 12 Mei 2025 di Desa Sagara, Kabupaten Garut, menyisakan luka yang mendalam. Sebanyak 13 orang tewas, terdiri dari empat prajurit TNI dan sembilan warga sipil. Mereka menjadi korban dari proses pemusnahan amunisi kedaluwarsa yang dilakukan militer Indonesia di kawasan konservasi yang selama ini disebut "zona aman" karena letaknya jauh dari permukiman penduduk.
ADVERTISEMENT
Namun, tragedi ini menunjukkan bahwa zona aman secara geografis tidak menjamin keselamatan jika manajemen risiko dan sistem pengawasan tidak dijalankan dengan benar.

Pekerja Informal dan Sistem yang Abai

Dalam pernyataan resminya, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Nugraha Gumilar, menyebut bahwa sebagian korban sipil adalah pekerja harian yang membantu proses logistik di lokasi. Artinya, warga sipil yang tidak dilatih dan tidak diproteksi secara layak diizinkan bekerja di lingkungan militer yang penuh risiko. Sebuah kelalaian yang menyakitkan.
Mereka yang tewas bukan hanya korban ledakan. Mereka adalah korban dari sistem yang mengabaikan perlindungan dasar terhadap pekerja informal.
Dalam konteks Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), pelibatan warga sipil tanpa pelatihan, tanpa alat pelindung, dan tanpa jaminan sosial merupakan bentuk pengabaian struktural.
ADVERTISEMENT
Pekerja informal seperti mereka sering kali tidak memiliki kontrak, tidak masuk sistem perlindungan sosial, dan bekerja di ruang-ruang berbahaya demi penghasilan harian. Fenomena ini bukan hal baru.
Di banyak daerah, warga mencari logam bekas dari limbah militer atau konstruksi tanpa perlindungan sedikit pun. Ini menunjukkan bahwa isu keselamatan kerja bukan hanya soal prosedur militer, tapi juga soal ketimpangan sosial yang sudah kronis.
Padahal, aturan sudah ada. Permenaker No. 5 Tahun 2018 secara tegas mengatur bahwa pekerjaan berisiko tinggi harus dilengkapi analisis bahaya, pengendalian risiko, APD, hingga pembatasan akses hanya untuk personel terlatih. Tambahan lagi, PP No. 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mewajibkan prosedur ketat bagi pengelolaan amunisi dan bahan sejenis.
ADVERTISEMENT
Namun, semua itu seolah tidak berlaku di lapangan. Warga sipil tetap bisa berada dekat dengan bahan peledak aktif, tanpa pelatihan dan perlindungan.

K3 Tak Boleh Diskriminatif

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Zulkifli Djunaidi, M.App.Sc., mengingatkan: "Manajemen risiko harus menjadi pilar dalam menciptakan tempat kerja yang sehat dan aman."
Pernyataan itu bukan sekadar teori. Ia adalah panggilan moral. Karena jika nyawa hanya bisa dilindungi oleh seragam, maka yang mati bukan hanya warga—melainkan juga keadilan.
Standar internasional seperti ILO Convention No. 155 dan OSHA juga mengajarkan bahwa tidak ada alasan untuk membiarkan siapa pun bekerja di zona berbahaya tanpa edukasi, peralatan, dan perlindungan hukum. Indonesia bukan kekurangan aturan, tapi kekurangan keberanian untuk menegakkannya.
ADVERTISEMENT
Kasus serupa pernah terjadi di luar negeri. Pada 2020, ledakan besar di Beirut yang menewaskan lebih dari 200 orang, terjadi karena penyimpanan amonium nitrat dalam kondisi tanpa pengawasan dan manajemen risiko.
Di India, pada 2022, pabrik petasan ilegal meledak dan merenggut puluhan nyawa karena lemahnya regulasi dan perlindungan pekerja informal. Benang merah dari semua tragedi ini adalah: kegagalan negara melindungi yang paling rentan.
Di Indonesia, setiap kali tragedi terjadi, respons negara cenderung reaktif dan seremonial. Tim investigasi dibentuk, konferensi pers digelar, dan janji evaluasi diumumkan. Namun, jarang sekali hasil investigasi disampaikan secara terbuka atau ditindaklanjuti dengan reformasi nyata. Hal ini memperkuat kesan publik bahwa keselamatan dan kesehatan kerja masih belum dianggap prioritas.
ADVERTISEMENT
Tragedi Garut ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada Maret 2024, gudang amunisi juga meledak dan menyebabkan kerusakan parah. Tapi selama sistem tetap permisif dan evaluasi hanya dilakukan secara simbolik, kejadian serupa akan terus berulang.

Reformasi Itu Mendesak, Bukan Opsional

Pemerintah dan TNI harus segera menghentikan pelibatan sipil dalam aktivitas militer berisiko tanpa perlindungan maksimal. Audit menyeluruh terhadap seluruh SOP pembuangan amunisi harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Edukasi K3 bagi masyarakat sekitar zona militer harus menjadi program wajib.
Edukasi keselamatan dan kesehatan kerja tidak cukup hanya ditujukan kepada personel militer atau industri, melainkan juga harus mencakup masyarakat sekitar.
Kelas-kelas penyuluhan, pelatihan tanggap darurat, dan distribusi informasi bahaya perlu dirancang dalam bentuk komunitas. Pendekatan berbasis warga ini terbukti berhasil di negara-negara yang serius membangun budaya K3.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, pemerintah perlu memperkuat program perlindungan pekerja informal. Skema jaminan sosial dan pelatihan dasar K3 harus menyasar komunitas-komunitas yang hidup di dekat instalasi militer atau industri berbahaya. Mereka bukan sekadar penonton pasif atas risiko di sekitar mereka, melainkan bagian dari sistem yang harus dilibatkan dan dilindungi.
Karena keselamatan dan kesehatan bukanlah kemewahan. Ia adalah hak. Konstitusi Indonesia Pasal 27 ayat (2) juga menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ketika negara membiarkan pekerja informal terlibat dalam pekerjaan berisiko tinggi tanpa perlindungan, maka itu bukan hanya pelanggaran prosedur keselamatan dan kesehatan, tapi juga pengingkaran terhadap konstitusi itu sendiri. Dan ketika hak itu hanya diberikan kepada segelintir orang, maka negara telah gagal menjaga nyawa warganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum. Jika negara gagal belajar dari ledakan ini, maka yang meledak berikutnya bukan hanya amunisi—tetapi kepercayaan rakyat terhadap negara yang seharusnya melindungi mereka.