Konten dari Pengguna

Tumpang Tindih UU dan Ancaman Baru Pemberantasan Korupsi di BUMN

Abdul Mukhlis
Pemerhati Sosial Politik dan Kebijakan Publik yang konsern di isu-isu K3
7 Mei 2025 14:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Mukhlis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Keyword: Tumpang Tindih UU, Pemberantasan Korupsi, Judicial Review)
Ilustrasi Gambar: Pemberantasan Korupsi dalam Dilema Tumpang Tindih Regulasi (ChatGPT)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar: Pemberantasan Korupsi dalam Dilema Tumpang Tindih Regulasi (ChatGPT)
Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menjadi sorotan tajam publik karena berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di tengah pelemahan KPK yang saat ini merisaukan banyak pihak anti korupsi.
ADVERTISEMENT
Perubahan signifikan dalam undang-undang ini tidak hanya berimplikasi hukum, tapi juga menyangkut etika pengelolaan keuangan negara. Beberapa pasal yang dinilai multitafsir bahkan berpotensi menjadi 'tameng' bagi praktik korupsi yang sistemik.
Salah satu pasal yang menuai kontroversi adalah Pasal 9G, yang secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Dengan demikian, mereka tidak lagi termasuk dalam subjek hukum yang secara langsung berada dalam yurisdiksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK (UU No. 19 Tahun 2019) yang menyebutkan bahwa KPK menangani perkara korupsi jika melibatkan penyelenggara negara atau memiliki kerugian negara di atas Rp1 miliar ayat (1).
jika unsur di atas tidak terpenuhi, pada ayat (2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/ atau kejaksaan.
ADVERTISEMENT

Tumpang Tindih dan Kekebalan Terselubung

(Keyword: Kekebalan Terselubung, Kerugian Negara)

Ketentuan ini menjadi persoalan mendasar karena jabatan direksi dan komisaris BUMN sebelumnya dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara, mengingat mereka mengelola dana yang berasal dari penyertaan modal negara melalui APBN, yakni pajak rakyat.
Oleh karena itu, menghapus status penyelenggara negara pada jabatan tersebut mengaburkan garis akuntabilitas publik dalam pengelolaan keuangan negara.
Tak berhenti di situ, Pasal 4B UU BUMN 2025 juga menyebutkan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN itu sendiri, bukan negara.
Penjelasan pasal ini secara implisit ingin memisahkan entitas hukum BUMN dari negara. Padahal, realitasnya banyak BUMN yang menerima suntikan dana APBN lewat skema Penyertaan Modal Negara (PMN).
ADVERTISEMENT
Kombinasi antara Pasal 4B dan Pasal 9G ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah jika ada direksi atau komisaris yang menyalahgunakan anggaran BUMN yang berasal dari APBN, negara tidak boleh menindak? Apakah tindakan tersebut tidak bisa disebut sebagai merugikan keuangan negara? Jika jawabannya ya, maka undang-undang ini telah menciptakan kekebalan hukum terselubung di tubuh BUMN.
Masalah semakin kompleks jika kita melihat realitas praktik korupsi di Indonesia, yang jarang dilakukan oleh satu orang saja. Korupsi hampir selalu bersifat kolektif, melibatkan jejaring antara pejabat negara, politisi, petinggi BUMN, kontraktor, dan pihak swasta lain.
Kasus Jiwasraya, Asabri, hingga Garuda menjadi bukti bahwa kejahatan korupsi di tubuh BUMN bukan hanya soal salah kelola, melainkan juga rekayasa sistematis yang melibatkan banyak pihak dan menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah.
ADVERTISEMENT
Kebijakan hukum yang tertuang dalam regulasi ini jelas berpotensi menciptakan kekosongan tanggung jawab pidana di level korporasi negara. Padahal, dalam sistem tata kelola negara yang demokratis dan akuntabel, setiap pengelola uang negara harus bisa dimintai pertanggungjawaban, apalagi ketika menyangkut kerugian negara.
UU BUMN terbaru ini juga tumpang tindih dengan berbagai regulasi lain, seperti UU Tipikor dan UU KPK. Bahkan berpotensi bertentangan dengan semangat konstitusi yang mengamanatkan pengelolaan keuangan negara dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 UUD 1945).
Ketentuan dalam Pasal 9G dan Pasal 4B secara substansial telah menurunkan derajat pengawasan publik terhadap BUMN sekaligus mempersempit ruang KPK untuk menjangkau kejahatan korupsi di tubuh perusahaan negara. Sementara data ICW menunjukkan bahwa kerugian negara dari sektor BUMN tergolong signifikan dalam beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Masih menurut ICW, selama penanganan pandemi COVID-19, kasus-kasus korupsi di lingkungan BUMN tidaklah mereda. Negara justru mengalami kerugian terbesar berkat kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2020 dan 2021.
Ini menjadi ironis karena selama pandemi, BUMN mendapatkan suntikan dana dari pemerintah melalui program stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga Rp 1.761 triliun. Belum lagi BUMN sebelumnya rutin mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dianggarkan melalui APBN.
Dalam perspektif akademis, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menyampaikan kekhawatiran serupa. Menurutnya, perubahan status direksi dan komisaris BUMN sebagai non-penyelenggara negara bisa menimbulkan persoalan dalam penindakan. "Kalau seperti ini, bisa-bisa KPK tidak bisa menangani karena yang bersangkutan bukan penyelenggara negara. Ini membingungkan," ujarnya sebagaimana dikutip Kompas (5/5/2025).
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, ketika jajaran direksi dan komisaris BUMN masih dikategorikan sebagai penyelenggara negara saja praktik korupsi di tubuh BUMN sudah begitu marak, apalagi jika mereka tidak lagi masuk dalam kategori itu. Potensi korupsi justru makin menggurita karena hilangnya instrumen pengawasan dan penegakan hukum.

Urgensi Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

(Keyword: Judicial Review, Jalur Konstitusi, Bom Waktu Korupsi)

Atas dasar itu, "Pihak-pihak yang memiliki legal standing dan konsern di bidang BUMN, korupsi dan tata kelola pemerintahan perlu mempertimbangkan untuk mengajukan permohonan uji konstitusionalitas terhadap pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi."
Pengajuan judicial review sangat penting untuk memastikan bahwa semangat pemberantasan korupsi tidak dilemahkan oleh regulasi yang memberi ruang impunitas. Jika tidak dilakukan langkah korektif melalui jalur konstitusi, maka ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
UU BUMN seharusnya memperkuat transparansi dan akuntabilitas, bukan menciptakan kekebalan hukum baru. Penyelenggaraan perusahaan milik negara tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip good governance, apalagi saat dana rakyat yang dipertaruhkan. Bila tidak, kita hanya tinggal menunggu bom waktu korupsi berikutnya.