Transnational Organized Crime Terus Mengancam Melalui Perbatasan

BRORIVAI CENTER
Institute of Development Research and Social Response
Konten dari Pengguna
13 November 2020 7:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Flyer Seminar Nasional dengan tema tentang ancaman Transnational Organized Crime, Unmar (12/10/2020)
zoom-in-whitePerbesar
Flyer Seminar Nasional dengan tema tentang ancaman Transnational Organized Crime, Unmar (12/10/2020)
ADVERTISEMENT
Transnational Organized Crime (TOC) telah berkembang secara dramatis dalam ukuran, ruang lingkup, dan pengaruhnya terhadap keamanan global dan nasional. Aksi kejahatan ini umumnya melalui pintu masuk di wilayah perbatasan negara, baik lewat pelintasan batas laut maupun darat. TOC ini juga merupakan bentuk kejahatan serius (serious crime) yang sulit dibendung di tengah situasi krisis global dan lazimnya melibatkan berbagai negara, sehingga butuh respons holistik – kebijakan, strategi, prioritas aksi, dan kerja sama internasional yang efektif.
ADVERTISEMENT
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, Dr. Abdul Rivai Ras menyampaikan hal itu dalam paparannya pada Seminar Nasional “Ancaman Transnational Organized Crime terhadap Situasi Keamanan di Wilayah Perbatasan Indonesia”, Kamis (12/11/2020) melalui daring dan diikuti kurang lebih 500 peserta se-Indonesia.
Rivai juga menegaskan, ancaman TOC menjadi perhatian yang signifikan dan nampak ancamannya nyata di depan mata pada situasi dunia yang dilanda pandemik. Isu-isu global kontemporer seperti people smuggling, perdagangan narkoba dan manusia, fisheries crime, securtiy complex-mix (related to terrorism), dan penyelundupan senjata ilegal melalui perbatasan sangat terbuka, mengingat konfigurasi geografis Indonesia yang dikelilingi laut dan mudah diakses pelayaran internasional, sehingga sangat potensial terciptanya "trajektori" ragam kejahatan di area perbatasan. Indonesia adalah negara yang paling empuk dan menjadi surga untuk pelintasan baik sebagai negara transit maupun tujuan bagi aktivitas kejahatan teroganisir itu.
Dr. Abdul Rivai Ras (Foto Ist. BRC)
Selain itu, Rivai memandang bahwa lemahnya infrastruktur pengamanan yang belum banyak memanfaatkan teknologi mutakhir maupun menurunnya performa penjagaan wilayah perbatasan secara relatif di era wabah COVID-19 - memungkinkan aksi kejahatan terus berlangsung, khususnya terkait aksi-aksi penyelundupan senjata, narkoba, bahan bakar maupun migrasi irregular melalui akses jalan tikus (mouse path) yang tersebar di sejumlah pelosok negeri.
ADVERTISEMENT
“Perlu dicatat bahwa, TOC menunjukkan trend yang semakin meningkat dewasa ini, tidak saja berdampak secara psikologis bagi individu atau kelompok-kelompok masyarakat, tetapi juga berdampak terhadap sendi-sendi perekonomian, keamanan nasional dan internasional serta keutuhan suatu negara”, ungkapnya.
Seperti diketahui terdapat sejumlah sebaran jalan tikus seperti di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua yang marak dalam praktik smuggling dan trafficking. Menurut Rivai, disamping ancaman peredaran narkoba, penyelundupan manusia, sumberdaya alam dan bahan bakar, yang dinilai sangat berbahaya dan harus diwaspadai secara sungguh-sungguh adalah mengenai penyelundupan senjata menuju Papua untuk mendukung aktivitas Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB).
“Peredaran senjata di Papua ibarat gunung es. Kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus mencari produk senjata dari luar Papua. Indikasi ini terlihat dengan adanya berbagai aksi kontak senjata antara KKSB dengan pihak TNI dan Polri akhir-akhir ini. Disinyalir arms trafficking ke Papua datangnya dari General Santos, Filipina melalui Tobele – Ternate – Sorong – Monokwari. Demikian halnya jalur suplai melalui perbatasan dari Papua Nugini (PNG) melalui Dobo dan Timika”, terang praktisi pertahanan maritim ini yang juga dikenal sebagai Pendiri Universitas Pertahanan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rivai menambahkan, kompleksitas TOC di Indonesia semakin tinggi karena kemasannya semakin canggih yang dibungkus dengan aktivitas bisnis legal dan didalamnya bercampur dengan illegal business venture. Dalam beberapa waktu lalu praktik TOC yang disebutnya sebagai ancaman keamanan complex-mix melalui usaha industri perikanan atau fisheries crime yang mencakup semua elemen kejahatan TOC, mulai dari, tindak pidana perdagangan orang (trafficking in persons), tindak pidana penyelundupan manusia (smuggling of migration), pencurian ikan (illegal fishing atau IUU), perdagangan senjata, narkoba, minyak hingga perbudakan (slavery). Karena itu penanggulangannya tidak dapat diatasi secara sendiri-sendiri, diperlukan kerja sama antar negara yang satu dengan negara yang lain.
“Kompleksitas ancaman keamanan TOC memerlukan respons keseluruhan dari pemerintah, mencakup deployment of new technologies, penguatan international linkages dan strategic engagement - dengan menerapkan secara tegas aturan United Nations Conventions Against TOC (Palermo Convention, 2000), mendorong ASEAN Plan of Action in Combating Transnational Crime (2016-2025), implementasi Declaration on TOC in the Global Fishing Industry, mengefektifkan Border Crossing Agreement RI-Malaysia dan mengembangkan MoU dengan negara-negara counterparts dalam konteks enhance intelligence and information sharing dalam mendukung law enforcement”, tutupnya.
ADVERTISEMENT
Seminar Nasional diselenggarakan Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram, mengetengahkan tema tentang Ancaman TOC di Wilayah Perbatasan yang digelar Kamis, 12 November 2020, dengan invited speaker Prof Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D., dari President University, Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, M.M., M.S., M.Si., dari Universitas Indonesia, dan Desi Fitriani - jurnalis senior Metro TV spesialis wilayah konflik. (*)