Konten dari Pengguna

Antusiasme Publik dalam Pilkada, Militansi atau Bayaran?

Abdul Wahid Azar
Ikatan persaudaraan Haji Indonesia (PP-IPHI), CEO Multiartha
25 September 2024 18:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid Azar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang Pleno KPU Penetapan Nomor Urut PilGUB Jatim Foto : Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Pleno KPU Penetapan Nomor Urut PilGUB Jatim Foto : Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Pemilihan ini menjadi ajang bagi masyarakat untuk menentukan siapa yang akan memimpin daerah mereka, apakah itu di tingkat kabupaten, kota, atau provinsi. Antusiasme publik sering kali terlihat jelas dalam setiap tahap Pilkada, mulai dari kampanye hingga pengambilan nomor urut, dengan suasana yang meriah, sorak-sorai, dan dukungan yang tampaknya menggebu-gebu. Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: Apakah antusiasme ini lahir dari militansi publik yang tulus atau hanya hasil dari kehadiran pendukung bayaran?
ADVERTISEMENT
Untuk memahami hal ini secara mendalam, kita perlu melihatnya dari dua aspek yaitu aspek politik dan aspek realitas sosial masyarakat.
Aspek Politik Antara Idealisme dan Pragmatisme
Dari perspektif politik, Pilkada adalah ajang yang sarat dengan strategi dan kalkulasi. Setiap calon kepala daerah berusaha keras untuk memenangkan pemilu, dan untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menggunakan berbagai metode. Salah satu metode yang sering dipakai adalah mengandalkan tim sukses untuk menggerakkan massa dan menciptakan kesan bahwa mereka memiliki dukungan luas dari publik.
Militansi Publik di dalam konteks politik adalah bentuk dukungan yang lahir dari keyakinan dan kepercayaan terhadap program dan visi yang ditawarkan oleh calon. Pendukung yang militan biasanya terlibat secara aktif dan emosional dalam proses kampanye, karena mereka melihat calon tersebut sebagai agen perubahan yang mampu membawa daerah mereka ke arah yang lebih baik. Militansi publik ditandai oleh dedikasi yang kuat, keterlibatan sukarela, dan keinginan untuk bekerja keras demi memastikan calon yang mereka dukung menang.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, banyak calon yang mengandalkan pendukung bayaran untuk menciptakan suasana meriah dan semarak selama kampanye atau acara-acara Pilkada lainnya. Pendukung bayaran ini sering kali direkrut dengan tujuan menciptakan kesan bahwa calon tersebut memiliki basis dukungan yang kuat. Padahal, dukungan yang mereka berikan tidak didasari oleh keyakinan politik, melainkan semata-mata demi imbalan materi. Mereka datang untuk membuat keramaian dan euforia sesaat, yang sering kali mengaburkan realitas sebenarnya di lapangan.
Kalkulasi politik yang pragmatis ini sering kali memandang bahwa euforia pendukung bayaran bisa mempengaruhi persepsi publik yang lebih luas, seolah-olah calon tersebut sangat populer. Namun, kenyataannya, dukungan semacam ini tidak bertahan lama. Setelah imbalan materi habis, semangat mereka pun menghilang. Ini berbanding terbalik dengan pendukung yang militan, yang tetap berjuang sampai akhir meskipun tanpa imbalan apa pun.
Cagub dan para pendukung (Foto Kumparan com).
Aspek Realitas Sosial Masyarakat pengaruh Sosial dan Ekonomi
ADVERTISEMENT
Dalam konteks realitas sosial, antusiasme publik dalam Pilkada sering kali dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat itu sendiri. Tingkat pendidikan politik yang rendah, ketimpangan ekonomi, dan akses terbatas terhadap informasi sering kali mempengaruhi cara masyarakat terlibat dalam Pilkada.
Di daerah-daerah tertentu, terutama di perkotaan atau komunitas dengan akses informasi yang baik, antusiasme publik lebih cenderung militan. Masyarakat di daerah ini lebih mampu mengakses informasi tentang calon, memahami program-program yang ditawarkan, dan membuat pilihan berdasarkan evaluasi yang rasional. Mereka hadir dalam kampanye bukan karena dibayar, melainkan karena mereka percaya bahwa calon yang mereka dukung akan membawa perubahan yang mereka inginkan. Militansi ini lahir dari harapan yang kuat bahwa politik adalah sarana untuk memperbaiki kehidupan mereka, bukan sekadar ajang mencari keuntungan pribadi.
ADVERTISEMENT
Pendukung Bayaran di Daerah dengan Ketergantungan Ekonomi
Sebaliknya, di banyak daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi atau ketergantungan ekonomi yang besar, masyarakat sering kali lebih rentan terhadap politik uang. Dalam situasi di mana akses terhadap kesejahteraan sangat terbatas, imbalan finansial dalam bentuk uang atau barang menjadi insentif kuat bagi mereka untuk terlibat dalam kampanye. Pendukung bayaran di daerah ini bukan semata-mata karena mereka tidak peduli terhadap proses demokrasi, tetapi lebih karena kebutuhan ekonomi yang mendesak. Mereka mungkin paham bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan jangka panjang, tetapi imbalan jangka pendek dari tim sukses calon dapat membantu kebutuhan mereka sehari-hari.Realitas ini mencerminkan ketimpangan sosial yang masih terjadi di Indonesia. Ketika sebagian masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih secara rasional berdasarkan visi calon, sebagian lainnya terjebak dalam sistem yang mengeksploitasi kerentanan ekonomi mereka. Dalam konteks ini, pendukung bayaran bukan hanya masalah moral, tetapi juga masalah struktural yang mencerminkan ketidaksetaraan sosial.
ADVERTISEMENT
Antara Militansi dan Bayaran Membangun Demokrasi yang Sehat
Pilkada seharusnya menjadi ruang di mana rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dan sadar dalam memilih pemimpin yang akan membawa perubahan bagi kehidupan mereka. Militansi publik adalah bentuk dukungan yang paling sehat dalam konteks demokrasi, karena melibatkan masyarakat yang benar-benar percaya pada calon mereka. Namun, ketika pendukung bayaran menjadi norma, proses demokrasi mengalami distorsi, di mana suara rakyat sebenarnya dibeli dan tidak mencerminkan aspirasi yang tulus.
Untuk membangun demokrasi yang lebih sehat, ada beberapa langkah yang perlu diambil :
Pendidikan Politik, Masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang lebih baik, sehingga mereka bisa memahami pentingnya memilih berdasarkan program dan rekam jejak calon, bukan berdasarkan iming-iming materi.
ADVERTISEMENT
Pengawasan terhadap Politik Uang, Peran Bawaslu dan lembaga pengawas lainnya sangat penting dalam menindak praktik politik uang dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama Pilkada.
Penguatan Ekonomi Masyarakat,Mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat pada politik uang bisa dimulai dengan program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi yang lebih efektif. Ketika masyarakat lebih mandiri secara ekonomi, mereka akan lebih mampu memilih secara rasional dan bebas dari tekanan finansial.
Antusiasme publik dalam Pilkada bisa muncul dari militansi yang tulus atau dari pendukung bayaran yang bersifat sementara. Dalam politik yang ideal, dukungan militan dari masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai pemilih adalah fondasi dari demokrasi yang sehat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan rendahnya pendidikan politik sering kali membuat politik uang dan pendukung bayaran menjadi bagian dari dinamika Pilkada. Oleh karena itu, upaya kolektif untuk memperbaiki sistem pemilu, meningkatkan pendidikan politik, dan memperkuat ekonomi masyarakat sangat diperlukan agar antusiasme publik yang tulus dan bermakna dapat mendominasi dalam setiap Pilkada.
ADVERTISEMENT