Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Haji Subsidi: Ibadah Kok Ambisi
2 Februari 2025 20:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Abdul Wahid Wathoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang kolumnis, Dian Pahrevi pada berita harian kompas.com edisi 10 Oktober 2019 menceritakan kisah Supandri (59), seorang petani kurang mampu asal Kabupaten Tangerang yang rela menjual tanah garapannya seluas 5.000 untuk mendaftar haji melalui skema subsidi bersama istrinya. Meskipun pada akhirnya ia harus berangkat sendiri karena sang istri harus menjalani operasi tumor anus yang terdeteksi saat-saat terakhir keberangkatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Supardi sebagaimana ditulis oleh Dian Pahrevi, ibadah haji merupakan panggilan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapapun bisa pergi ke tanah suci Mekkah asalkan punya niat yang kuat untuk ibadah haji meskipun dengan menjual tanah.
Kisah Supandri enam tahun lalu ini merupakan cerminan dari ratusan ribu masyarakat muslim di Indonesia yang saat ini masih berjuang demi dapat menunaikan ibadah haji.
Tidak sedikit dari mereka yang memaksa diri untuk mendapatkan dana demi memperoleh kursi dalam antrian haji reguler yang biayanya lebih terjangkau berkat skema subsidi pemerintah.
Setiap tahunnya, pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengalokasikan dana bagi jemaah reguler. Pada 2024, biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) per jemaah mencapai Rp 90 juta, tetapi peserta hanya perlu membayar sekitar Rp 50 juta. Selisihnya ditutup dengan dana manfaat dari hasil pengelolaan setoran haji.
ADVERTISEMENT
Meskipun subsidi ini bertujuan untuk meringankan beban jemaah, terutama mereka yang benar-benar membutuhkan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa skema ini justru memicu peningkatan jumlah pendaftar.
Banyak yang melihat ini sebagai peluang emas untuk menunaikan haji dengan biaya lebih rendah, bahkan ada yang rela menabung bertahun-tahun demi mendapatkan subsidi, meskipun kondisi ekonomi mereka belum sepenuhnya stabil.
Lebih dari itu, fenomena haji berulang juga turut memperpanjang antrian. Tidak sedikit jemaah yang telah berhaji kembali mendaftar karena biaya jalur reguler jauh lebih rendah dibandingkan haji khusus atau furoda. Akibatnya, kesempatan bagi mereka yang baru pertama kali ingin berhaji semakin terhambat.
Menurut Kepala Badan Pelaksana Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPKH) Fadlul Imansyah, antrian haji jemaah Indonesia mencapai angka 5,4 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Dan pada daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, masa tunggu haji mencapai 30 tahun. Ungkapnya pada Acara Anual Meeting BPKH Dengan Para Stakeholder (18/12/2024).
Antrian panjang haji yang mencapai puluhan tahun tahun ini menjadikan ibadah haji tidak sekadar sebagai perjalanan spiritual, tetapi juga tantangan administratif. Dari sini pertanyaan pun muncul, apakah ibadah haji masih murni sebagai panggilan suci, atau telah bergeser menjadi ambisi sosial?
Ketimpangan Prinsip Istitha’ah
Dalam Islam, istitha’ah menekankan bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu tanpa membebani diri sendiri maupun orang lain.
Dalam hal ini, Prof Syauqi 'Allam, Mufti Mesir (2013-2024) sebagaimana yang dikutip dari https://www.elwatannews.com/ (29/04/2024) memberikan komentar terkait batasan istitha’ah dalam haji:
أن الشروط التي تلزم الإنسان ليكون مستطيعًا لأداء الحج؛ ومن ثم يكون واجبًا عليه محصورة في كونه مالكًا لنفقات الحج؛ ذهابًا، وإقامةً، وإيابًا، وأن تكون النفقات فائضةً عن حاجاته الأصلية التي لا بد منها في حياته، وأن يكون صحيح البدن قادرًا على أداء المناسك، وأن تكون ذمته خاليةً من الأمور الواجبة عليه؛ كنحو زكاة أو كفارة أو نذر، أو أيِّ نفقة من النفقات الواجبة شرعًا، وأن يُسمح .له بأداء الفريضة من قِبل الجهات المختصة وبالشروط التنظيمية الْمُتَّبعة
ADVERTISEMENT
“Bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang agar dianggap mampu melaksanakan haji dan menjadi wajib baginya adalah memiliki biaya perjalanan haji, termasuk ongkos berangkat, biaya selama tinggal di tanah suci, dan ongkos pulang, dengan catatan biaya tersebut harus melebihi kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi dalam kehidupannya. Selain itu, ia harus memiliki kondisi fisik yang sehat dan mampu menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji, serta tidak memiliki tanggungan kewajiban lain seperti zakat, kafarat, nazar, atau nafkah lain yang diwajibkan secara syar’i. Di samping itu, ia juga harus mendapatkan izin dari pihak berwenang serta memenuhi persyaratan administratif yang berlaku.”
Namun, sistem subsidi yang ada saat ini mengaburkan prinsip tersebut. Banyak calon jemaah yang sebenarnya belum sepenuhnya mampu, baik secara fisik maupun finansial tetapi tetap mendaftar karena adanya bantuan dana. Di sisi lain, mereka yang benar-benar memiliki kesiapan finansial justru memilih jalur khusus dengan biaya lebih tinggi demi percepatan keberangkatan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menciptakan ketimpangan di antara calon jemaah. Jemaah yang seharusnya lebih diprioritaskan harus bersabar lebih lama karena kuota yang tersedia juga diisi oleh mereka yang sudah berhaji atau yang secara ekonomi belum benar-benar siap. Konsekuensinya, esensi ibadah haji yang seharusnya mengutamakan keikhlasan dan kesiapan malah menjadi arena persaingan.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan paradigma dalam memandang ibadah haji. Tidak sedikit yang melihat haji sebagai pencapaian sosial dan status simbol di lingkungan mereka. Tren berlomba-lomba berhaji bukan semata-mata didorong oleh panggilan spiritual, tetapi juga oleh faktor prestise.
Fenomena ini semakin terlihat ketika banyak jemaah yang telah menunaikan haji tetap ingin berangkat kembali, meskipun antrian semakin panjang.
Jika kuota terus diisi oleh mereka yang sudah berhaji, bagaimana dengan jutaan umat Muslim lainnya yang belum pernah mendapat kesempatan? Bukankah esensi haji adalah pengorbanan dan keikhlasan, bukan sekadar gengsi atau ambisi?
ADVERTISEMENT
Reformasi Sistem Haji
Antrian panjang dan ledakan jumlah pendaftar perlu ditanggapi dengan kebijakan yang lebih selektif. Pemerintah perlu mereformasi sistem haji agar bantuan dana tidak lagi menjadi faktor utama yang mendorong pendaftaran massal tanpa mempertimbangkan prinsip istitha’ah.
Bantuan subsidi sebaiknya diberikan secara selektif kepada golongan yang benar-benar membutuhkan, seperti lansia yang telah lama menunggu atau mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Sementara itu, jemaah yang mampu secara finansial harus membayar penuh tanpa bergantung pada subsidi.
Reformasi Sistem Haji sejalan dengan laporan Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR yang menemukan sejumlah permasalahan terkait penyelenggaraan haji 2024 lalu.
Wakil Ketua DPR (2019-2024) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sekaligus Ketua Timwas Haji DPR pada waktu itu mengatakan perlunya revolusi total dalam penyelenggaraan ibadah haji saat ini, "Kesimpulan saya harus ada revolusi penyelenggaraan haji, diniatkan dari awal, perbaikan total." Ujar Cak Imin sebagaimana dikutip pada news.detik.com edisi Rabu, 19 Jun 2024.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga perlu menetapkan regulasi yang lebih ketat terkait haji berulang. Prioritas utama harus diberikan kepada mereka yang belum pernah berhaji. Jemaah yang sudah berhaji sebaiknya tidak diberi kesempatan mendaftar ulang, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti mendampingi anggota keluarga lanjut usia.
Selain itu, Indonesia perlu terus bernegosiasi dengan Arab Saudi untuk meningkatkan kuota haji, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Muslim yang besar. Digitalisasi dalam pendaftaran dan pengelolaan keuangan haji juga harus diperkuat agar seleksi jemaah lebih transparan dan efisien.
Haji sebagai Ibadah, Bukan Ambisi
Ibadah haji seharusnya dijalankan dengan ketulusan dan kesiapan yang matang, bukan sekadar mengejar subsidi atau status sosial. Jika antrean panjang terus dibiarkan tanpa regulasi yang lebih selektif, maka mereka yang benar-benar memenuhi syarat istitha’ah akan semakin tertunda keberangkatannya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu lebih tegas dalam menata skema bantuan agar benar-benar tepat sasaran. Subsidi seharusnya tidak menjadi celah yang memungkinkan siapa saja ikut antre tanpa mempertimbangkan kesiapan finansial yang seharusnya menjadi syarat utama dalam menunaikan haji.
Akhirnya, haji bukanlah tentang seberapa cepat seseorang bisa berangkat atau berapa kali seseorang bisa menunaikannya. Haji adalah tentang kesiapan spiritual dan finansial sesuai dengan prinsip istitha’ah.
Jika seseorang benar-benar berniat menunaikan ibadah ini karena panggilan Allah, maka mereka juga seharusnya menerima kenyataan bahwa antrian panjang adalah bagian dari ujian kesabaran, bukan ajang persaingan. Ibadah seharusnya menumbuhkan keikhlasan, bukan ambisi.