Konten dari Pengguna

Meredupnya Demokrasi di Indonesia

Abdul Hamid
Seseorang yang menyukai masyarakat pedesaan
7 Februari 2020 1:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Hamid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Abdul Malik Gismar dalam diskusi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk Meredupnya Demokrasi di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Abdul Malik Gismar dalam diskusi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk Meredupnya Demokrasi di Indonesia
ADVERTISEMENT
Kalau boleh jujur, sebelum hendak menonton video bertajuk Meredupnya Demokrasi di Indonesia yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tanggal 8 Agustus 2019 lalu, penulis sempat beberapa kali merasakan sisi pesimistis untuk menatap Indonesia ke depan. Rasanya, berbagai teori yang sudah dibuat, kembali dan kembali tidak relevan untuk digunakan. Semisal demokrasi prosedural yang tempo lalu dilontarkan oleh Robert Dahl yang begitu mapan, tetap saja.
ADVERTISEMENT
Sisi pesimistis ini muncul ketika masuk dalam ruang-ruang kuliah mata kuliah pemikiran politik. Meskipun, sesekali sempat berpikir, apakah penulis tidak terlalu dini menarik sebuah kesimpulan? Ternyata, dari paparan dalam video ini, berbagai sisi pesimistis tersebut cukup terkupas dengan baik.
Tajuk ini, di artikulasikan dalam judul “Losing The Soul of Democracy: The Cost of Democratic Discontent?” oleh Abdul Malik Gismar, seorang pengajar di Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta. Ujung dari judul tersebut sengaja diberikan tanda tanya, karena masih ada sisi ketidak yakinan dalam hal ini. Atau, penulis memandangnya sebagai ajuan bahan diskusi untuk sama-sama diejawantahkan kembali oleh semuanya. Dengan kata lain, narasi tulisan ini, penulis ambil dari diskusi yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tanggal 8 Agustus 2019 dalam channel youtubenya.
ADVERTISEMENT
Dankwart Rustow (1970) menyampaikan sebuah argumen “...the factors that keep a democracy stable may not be the ones that brought in into existence” yang artinya "... faktor-faktor yang menjaga stabilitas demokrasi mungkin bukan faktor-faktor yang melahirkannya". Meskipun dia memiliki basic seorang ekonom, namun argumennya terkait demokrasi begitu menohok. Bahkan, bisa ditarik sebuah premis “faktor-faktor yang membuat demokrasi stabil, barangkali bukan yang melahirkannya, untuk membuat kebebasan tetap hidup, adalah hal lain. Sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.
Konsepsi dasar hadirnya demokrasi adalah adanya kebebasan, meskipun hal ini baru satu indikator saja. Masih ada indikator-indikator lainya, seperti keadilan, kedamaian, dan lainnya. Kebebasan ini bisa kita istilahkan dengan kebebasan sipil yang bisa kita ejawantahkan dalam indeks demokrasi kita, yaitu: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi, dan kebebasan berpendapat.
ADVERTISEMENT
Dari data yang ada, kebebasan berpendapat menjadi poin yang selalu terbawah. Hal ini menjadi bukti bahwa berbagai keriuahan publik terkait intoleransi tidaklah relevan. Mungkin, hal ini hanya opini yang dibangun dan dinarasikan oleh kelompok-kelompok tertentu yang kiranya memiliki instrumen lebih. Memang, ada orang ataupun kelompok tertentu yang memiliki sisi intoleransi, hanya saja bukanlah faktor yang utama. Dengan kata lain, berbicara kebebasan berpendapat merupakan poin yang sangat mendasar dan akan berimplikasi terhadap poin-poin lainnya. Misalkan ada kasus seorang guru dimutasi karena hendak tidak mendukung petahanan dalam pilpres tempo lalu, atau ada penghadangan terhadap berbagai prosesi kampanye tertentu. Hal ini merupakan sederet kasus terkait kebebasan dalam berpendapat.
Kemudian, beralih kepada kasus sulitnya pengadaan tempat peribadahan di tempat-tempat tertentu. Kesannya memang intoleransi, namun kalau kita rujuk kepada akarnya, dasarnya adalah karena berbeda pendapat. Konsepsi minoritas selalu kesulitan dengan hadirnya mayoritas, sesuai utilitarian teori. Padahal ketika ditelusuri lebih dalam, orang-orangnya tidaklah anti, justru hadirnya kebijakan pemerintah yang masuk dalam ruang-ruang agama membuat berbagai masalah. Akhirnya, muncul berbagai protes seperti turun ke jalan yang tidak representatif lagi, bahkan berujung kurang baik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, meskipun ada diskursus terkait meredupnya demokrasi kita, di lain sisi partisipasi politik masyarakat sampai tahun 2018 semakin baik. Bahkan, menurut data yang ada, berbagai partisipasi politik berbentuk protes, aksi, dan petisi berujung damai. Hanya saja, partisipasi yang berujung kekerasan juga selalu naik. Sisi yang berujung kekerasan ini biasanya muncul dalam kasus kebebasan para buruh dan permasalahan tanah. Bahkan, di tempat-tempat tertentu sangatlah miris, yang terkena permasalahan tanah adalah tempat-tempat pendidikan yang tanahnya tidak memiliki legalitas, akhirnya harus disegel.
Sejauh ini, para ahli dalam demokrasi turut mengungkapkan bahwa demokrasi global turut meredup. Mereka mengistilahkan dengan berbagai istilah seperti decline, recession, crisis, dan demotion. Khusus untuk demotion hendak dirasakan oleh Amerika Serikat kini dengan hadirnya seorang Trump. Belakangan, Trump pun terkena impeachment dari anggota parlemen, meskipun masih harus masuk ke dalam kamar kedua, yaitu para senator.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bukan hanya di Amerika saja, banyak negara di eropa pun turut melakukan protes yang isinya sama, bahkan dibeberapa negara, orang-orang yang menyuarakan ini sudah berangsur masuk ke dalam parlemen. Dengan kata lain, tinggal menunggu mereka-mereka membuat berbagai kebijakan yang turut mendukung berbagai keinginnya saja.
Setidaknya ada tiga cara bentuk pengupayaan untuk menjawab persoalan ini, yaitu:
Legitimasi
Dukungan in bisa diwujudkan dalam dua aspek, yaitu: Pertama, free and fair elections. Harus adanya pemilihan yang bebas dan adil. Kedua, effective representation. Maksudnya adalah berbagai vote yang tempo lalu ada, harus menjadi voice ketika sudah masuk dalam ruang-ruang sakral parlemen.
Effective Government
Hadirnya effective government bisa wujudukan dengan membangun manusia dan memberikan akses seluas-luasnya kepada pendidikan yang berkualitas. Jika kita menengok data indeks pembangunan manusia yang dituangkan dalam indeks pendidikan kita, Indonesia tidak mengalami penaikan yang signifikan sejak tahun 2010 hanya 66,53 hingga tahun 2016 hanya menyentuh 70,18%. Jauh sekali dengan Korea Selatan yang mengalami kenaikan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, masyarakat Indoensia yang berusia 25 tahun ke atas hanya mengenyam pendidikan sekitar 7,95 tahun (SMP kelas 9). Sedangkan, harapan lama sekolah negara mampu menyekolahkan selama 12,72 tahun. Pada tahun 2017, masyarakat yang bersekolah SD mencapai angka 93,38%, masyarakat yang bersekolah SMP mencapai angka 81,01%, dan yang bersekolah SMA dan sederajat hanya mencapai 59,10% saja.
Civic Virtues
Secara sederhana, dapat kita ejawantahkan dengan solidaritas bernegara. Hal ini, sangat perlu diupayakan setiap harinya.
Sisi pesimistik yang penulis rasakan, sampai saat ini tidak berangsur meredep, tidak seperti indeks demokrasi kita yang beranjak meredup. Hanya saja, kiranya masih ada cara-cara untuk mengupayakan berbagai perbaikan. Mudah-mudahan saja.