Konten dari Pengguna

Refleksi (Kembali) tentang Keadilan

Abdul Hamid
Seseorang yang menyukai masyarakat pedesaan
7 Februari 2020 1:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Hamid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Refleksi (Kembali) tentang Keadilan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, tepatnya tanggal 20 Januari lalu, penulis mendapat soal ujian akhir mata kuliah pemikiran politik pada semester ini. Kurang lebih pengantar dalam soalnya menyoal urgensi hadirnya politcal theory yang erat kaitanya dengan berbagai hal, seperti persoalan-persoalan keadilan (justice), kebebasan (liberty/freedom) dan hak (rights); persoalan kekuasaan (power) dan legitimasinya; persoalan hubungan antara negara dan masyarakat (state-society relation), individu dengan negara; serta antara individu dengan masyarakat. Berbagai persoalan ini tidak akan bisa dilepaskan satu persatu, karena berkaitan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Penulis tertarik untuk masuk dalam ruang-ruang Yunani Kuno terlebih dahulu, ketika seorang Socrates mendapat sebuah hukuman yang sebenarnya tidak layak dia dapatkan, kalau bahasa kita hari ini, kriminalisasi. Seorang yang bijaksana, bahkan semua kalangan turut mengakui hal ini, namun akhirnya tetap saja mendapatkan sebuah hukuman. Belum lagi, di lain sisi berbagai hal yang kontradiktif dengan kejadian ini seringkali di orasikan oleh seorang Ferikles dalam berbagai kesempatan orasinya. Tidak tanggung-tanggung, berbagai aspek yang dia orasikan begitu dalam, seperti keadilan untuk semua, konstitusi kita layak untuk dicontoh negara lain, civil liberty, kedaulatan ada ditangan masyarakat, meritokrasi, dan terbuka akan kritik.
Mari kita masuk lebih dalam, yaitu ke dalam Apologya Socrates. Barangkali berkenan, penulis ingin mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh seorang Socrates dalam pengadilan yang sebenarnya tidak layak dia dapatkan. Memang, penulis belum memiliki kompetensi untuk meruntut seluruh kalimatnya, setidaknya ada beberapa kalimat yang penulis dapatkan.
ADVERTISEMENT
“Kami akan membebaskan anda, jika anda berhenti berfilsafat. Sebaliknya, jika anda masih berfilsafat, anda akan mati”, salahsatu ungkapan dari hakim. “Saya salut kepada anda dan sayang kepada anda, tapi saya akan teap patuh kepada Tuhan daripada anda, selama saya bernafas dan tentu tidak akan berhenti berfilsafat dan akan menasihati anda dan siapapun”, jawabnya.
Masih dalam persidangan, semakin dia membela dan menegaskan posisinya sebagai filsuf dengan berbagai argumentasinya semakin seluruh pengadil bersepakat untuk mendakwanya. Lantas, sebenarnya apa ynag terjadi? Sederhanya, dia cukup menjadi ancaman oligarka yang berkuasa kala itu. Makanya, dalam salahsatu dakwaannya adalah dia terlibat memberikan berbagai asupan pemikiran kepada generasi muda yang tidak sejalan dengan apa yang oligarki inginkan. Jadi, sebenarnya sudah tidak ada lagi ruang-ruang keadilan. Pengadilan ini hanya sebatas simbolisasi akan kuatnya oligarki.
ADVERTISEMENT
Padahal, kalau kita kembali kepada orasi seorang Ferikles tadi, harusnya hal ini tidak terjadi. Harusnya, hal ini tidak ada dalam kehidupan berwarga negara. Hal ini sangat berbenturan dengan apa yang Ferikles orasikan. Coba, aspek mana yang kiranya sesuai dengan apa yang Ferikels orasikan? Tidak ada. Hal ini yang harus menjadi bahan refleksi, hal seperti ini sempat terjadi dalam kehidupan demokrasi Yunani Konu tempo lalu yang katanya sudah begitu mapan dengan berbagai pemikirannya.
Mungkin, kita masih mengingat kalimat terakhir Socrates ketika hendak berpulang, yaitu “Pembalasan akan menimpa tepat setelah kematian saya dan jauh lebih keras oleh Zeus daripada jenis apapun yang anda berikan untuk membunuh saya. Dan tidak ada yang buruk untuk orang baik”, ungkap Socrates. Jadi, warga negara yang baik dibawah hukum yang buruk akan menjadi manusia yang buruk.
ADVERTISEMENT
Kemudian, masuk ke fase berikutnya, seorang Ibnu Rushd misalnya. Kurang lebih, mendapatkan kejadian yang sama, meskipun nasibnya tidak seburuk Socrates. Dalam tulisan sebelumnya, penulis menyatakan semakin memiliki sisi pesimistis dalam melihat keberlangsung hidup bernegara ke depan, karena berbagai pemikiran dan teori yang ada, sepertinya selalu tidak relevan. Lantas, apakah memang keadilan tersebut tidak akan pernah terwujud? Kiranya, kalau kita kembali kepada pemikiran seorang Plato, memang benar, hadirnya keadilan bukan di alam ini.
Masuk ke dalam fase yang lebih modern, pemikiran John Rawls misalnya. Dia mencoba mengartikulasikan pemikirannya bertumpu pada Kant dan Plato. Tentu, pemikiranya sudah jauh lebih rasional dan maju daripada sebelumnya, tidak seperti alam ide yang dilontarkan oleh Plato dan imperative category Kant. Prasyarat yang dia lontarkan ketika keadilan hendak ingin terwujud yaitu lepaskan apapun yang melekat dalam diri kita, hendaknya kembali pada posisi original kita sebagai manusia. Maksudnya adalah kita sebagai manusia harus melepaskan terlebih dulu berbagai atribut yang melekat dalam diri kita, seperti etnis, status sosial, jenis kelamin dan yang terpenting, konsepsi mereka tentang yang baik. Ini memaksa kita untuk memilih prinsip-prinsip secara adil dan tidak memihak.
ADVERTISEMENT
Secara umum, kita masih seringkali terjebak dalam teori utilitis dalam berkeadilan. Sudah barangtentu, berbagai pihak yang minoritas dan simpul-simpul tertentu tidak akan mendapatkan keadilan. Setidaknya, berbagai kejadikan tempo dulu, masih seringkali kita temukan, bahkan dalam beberapa lini praktinya semakin memburuk. Meskipun, tidak bisa meniadakan aspek tertentu yang kiranya sudah sedikit membaik.
Baru-baru ini misalnya, tertangkapnya Wahyu Setiawan sebagai Komisioner KPU berikut dengan tersangka lainnya, apakah kejadian tersebut sudah merepresentasikan sebuah keadilan? Sepintas, terlihat sudah merepresentasikan, padahal ada ruang-ruang lain yang sejatinya belum. Karena ada berbagai kejanggalan yang hari ini satu persatu mulai terungkap, seperti tidak terlibatnya Hasto sebagai orang yang mendelegasikan staffnya berikut lengkap dengan tanda tangannya dalam sebuah surat PAW, Harun Masiku sebagai orang yang memberikan dana, dan mungkin ada pihak-pihak lain yang harusnya turut terkena. Jadi, selalu ada berbagai sisi yang tidak utuh.
ADVERTISEMENT
Sepintas, selalu ada pihak-pihak tertentu yang seakan-akan memiliki imunitas yang begitu kuat. Di lain sisi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak memilikinya. Jadi, secara teoritik berbagai teori tentang keadilan ini sebenarnya masih begitu relevan, apalagi jika ada pendalaman-pendalaman khusus, hanya saja ketika dalam tataran implementasi, begitu jauh dari kata relevan. Dengan kata lain, pada dasarnya perwujudan keadilan ini dapat diupayakan, hanya saja apakah yang memiliki otoritas terhadap hal tersebut mau melaksanakan ataupun tidak, itu hal lain.