Konten dari Pengguna

Menyoal Penafsiran Jenis Penghasilan dalam Transaksi Lintas Negara

Abdullah Al Wafi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
17 April 2025 10:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Al Wafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT 001199.13/2021/PP/M.IA Tahun 2023, terdapat isu penting yang kerap muncul dalam praktik perpajakan internasional, yakni penafsiran jenis penghasilan dalam transaksi lintas negara. Sengketa antara PT Nagase Impor-Ekspor Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berfokus pada apakah pembayaran yang dilakukan kepada afiliasi luar negeri tergolong dividen, royalti, atau imbalan jasa, dan apakah penghasilan tersebut benar-benar menjadi objek PPh Pasal 26.
ADVERTISEMENT
Perselisihan antara PT Nagase dan DJP
DJP menetapkan bahwa sejumlah pembayaran dari PT Nagase kepada entitas luar negeri, seperti komisi, royalti, dan service charges, merupakan pembagian laba tersembunyi atau dividen terselubung. Oleh sebab itu, DJP mengenakan PPh Pasal 26 atas pembayaran tersebut, yang memiliki tarif 20% terhadap penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri. Koreksi ini kemudian dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total koreksi mencapai miliaran rupiah.
Regulasi ini merujuk pada:
Proses Keberatan dan Banding
ADVERTISEMENT
PT Nagase menolak koreksi tersebut dan mengajukan keberatan yang berlanjut hingga banding ke Pengadilan Pajak. Dalam prosesnya, perusahaan menyampaikan bahwa pembayaran tersebut adalah pengeluaran bisnis yang sah sesuai perjanjian dan bukti layanan, bukan dividen. Mereka menekankan bahwa tidak terdapat bukti bahwa pembayaran tersebut merupakan pembagian laba, serta DJP tidak mampu membalikkan pembuktian atas jenis penghasilan yang sebenarnya.
Keputusan Pengadilan Pajak
Majelis Hakim Pengadilan Pajak akhirnya mengabulkan seluruh permohonan banding PT Nagase. Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa DJP tidak cukup kuat dalam menunjukkan bahwa pembayaran tersebut adalah dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, dan dengan demikian tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 26. Keputusan ini menunjukkan pentingnya pembuktian yang kuat sebelum pengenaan pajak atas transaksi lintas negara.
ADVERTISEMENT
Implikasi dari Putusan
Dasar utama dalam Sengketa ini mengacu pada Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 12 UU KUP :
Menyatakan bahwa setiap wajib pajak hanya wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan. Sengketa ini menjadi pengingat bahwa klasifikasi jenis penghasilan harus dilakukan secara hati-hati dan objektif, terutama dalam transaksi dengan pihak afiliasi luar negeri, agar tidak terjadi perlakuan pajak yang salah dan berpotensi merugikan wajib pajak maupun negara. Sengketa antara PT Nagase dan Direktorat Jenderal Pajak mengenai penerapan PPh Pasal 26 pada pembayaran yang dilakukan kepada afiliasi luar negeri ini menggarisbawahi pentingnya penafsiran yang tepat terhadap jenis penghasilan dalam transaksi lintas negara. Keputusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan permohonan banding PT Nagase menegaskan bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang mengenakan pajak, dalam hal ini DJP. Tanpa bukti yang cukup kuat, transaksi tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dividen atau objek pajak lainnya yang dikenakan PPh Pasal 26.
ADVERTISEMENT