Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Gerakan Mahasiswa: Dari Bahasa Ndakik-ndakik, sampai "Setelah Aksi Lalu, Apa?"
5 Maret 2025 10:10 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Abdullah Azzam Al Mujahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ada satu pertanyaan yang seringkali bertamu ke kepala saya tanpa mengetuk dan memberi salam. Pertanyaan itu adalah: “Mengapa aksi protes atau gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia—khususnya di kota Semarang (tempat saya bertualang)—sekarang ini hanya tampak begitu-begitu saja?” Aksi protes mahasiswa di kota yang mempunyai latar dan nilai historis cukup panjang serta hebat ini tampak begitu membosankan, memuakkan, dan terkadang mampu membuat saya tertawa karena sedikit tergelitik.
Secara historis, narasi mengenai mahasiswa yang dianggap sebagai elemen yang mampu membawa perubahan di pundaknya agaknya sudah cukup lama melekat. Atau dalam istilah yang cukup populer, mahasiswa dipandang sebagai agen of change, moral force, dan lain sebagainya; sosok yang selalu dipenuhi dengan jiwa dan semangat yang amat menggebu-gebu.
ADVERTISEMENT
Tentu ada alasan tersembunyi dibalik hal itu. Sematan itu muncul pada masa Orde baru bukan karena mahasiswa adalah pahlawan rakyat yang sering menggulingkan kekuasaan tirani, tetapi sematan itu justru diberikan untuk memecah gerakan politik rakyat. Akibatnya, mahasiswa selalu terjebak di dalam romantisme heroisme masa lampau yang semu. Gerakan yang dibangun tidak ada kemajuan. Gerakan yang dibangun selalu tampak eksklusif hingga akhirnya justru membentuk jurang pemisah antara rakyat dan mahasiswa. Kalaupun ada gerakan yang berhasil menumbangkan suatu kekuasaan, niscaya hanya akan menghasilkan kembali pemimpin-pemimpin korup; peralihan kekuasaan dari penindas lama ke penindas baru.
Maka oleh karena itu, saya ingin memberi kritik melalui tulisan saya, dengan tidak bermaksud mendiskreditkan gerakan mahasiswa yang ada sekarang ini, melainkan hanya ingin menunjukkan titik yang sudah menjadi penyakit cukup parah di dalam tubuh gerakan mahasiswa era kontemporer. Jika memang ada kesalahan dalam kritik, silakan bangun ruang diskusi yang sehat dengan mengajukan tulisan tandingan.
ADVERTISEMENT
Bahasamu Terlalu Ndakik, Bung!
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa hal yang menurut saya menjadi faktor penghambat perkembangan dan kemajuan sebuah gerakan protes. Salah satunya terletak pada bahasa yang menjadi fondasi untuk membangun komunikasi antar elemen masyarakat.
Bahasa menjadi suatu hal yang penting sebagai syarat yang tak terelakkan untuk membangun sebuah interaksi sosial. Ia memiliki peran fundamental dalam sebuah gerakan protes, ia tampil sebagai lentera yang menghidupi ruang komunikasi antarindividu, kelompok, dan masyarakat. Mahasiswa sebagai agen perubahan sudah seharusnya menyadari bahwa hal kecil seperti penggunaan bahasa pada tempatnya itu cukup memiliki dampak yang besar dalam proses membangun sebuah gerakan. Pendeknya, mahasiswa harus berani terjun ke masyarakat, melakukan agitasi dan propaganda dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum; menggunakan bahasa pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
Namun sangat disayangkan, kenyataan yang ada sekarang ini di lapangan justru jauh berbeda. Mahasiswa masih saja bergantung pada keistimewaannya; memandang dirinya begitu hebat dan unggul dalam soal ilmu pengetahuan, hingga seringkali menggunakan bahasa—yang dalam istilah populer—ndakik-ndakik ketika turun ke lapangan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap sebuah gerakan. Akibatnya adalah, kita sebagai rakyat, yang mungkin di antaranya tidak memiliki akses ke pendidikan yang cukup akan merasa bingung dan acuh tak acuh terhadap apa yang mahasiswa bicarakan dan ingin sampaikan.
Bagaimana mungkin, mahasiswa yang dipercayakan oleh rakyat untuk menampung suara dan bergerak bersama di jalanan menggunakan bahasa yang begitu tinggi? Alih-alih membangun ruang komunikasi yang baik agar jejaring solidaritas antara akar rumput dengan mahasiswa terjalin dengan apik, mahasiswa masih seringkali kedapatan menggunakan bahasa tidak pada tempatnya, yang justru semakin memperlebar jarak antara mereka (baca: kaum reformis) dengan rakyat. Memuakkan bukan? Bagaimana bisa mereka mewakili dan bergerak bersama rakyat dengan bahasa yang begitu muluk-muluk? Jangankan dimengerti, didengar pun belum tentu!
ADVERTISEMENT
Konsolidasi Tertutup dengan Dalih Keamanan Strategi dan Taktik
Sudah bahasanya ndakik-ndakik, konsolidasi sebelum aksi malah dijalankan secara tertutup. Hal itu tentu cukup memuakkan sekaligus menggelikan. Bagaimana tidak, coba bayangkan jika ada seorang rakyat yang ingin menghadiri konsol justru ditanyain, “Dari mana, mas?” Pertanyaan semacam itu sungguh sangat mengganggu. Substansi dari pertanyaan semacam itu menurut saya mengarah kepada pertanyaan lain yang amat konyol, misalnya, “Kamu mahasiswa atau intel?”
Ketika pertanyaan semacam itu diajukan kepada rakyat yang memang murni ingin melakukan konsolidasi dan membawa segenap harapan untuk ikut turun aksi, rakyat tanpa tedeng aling-aling akan langsung patah arang mendengar pertanyaan konyol semacam itu. Akhirnya, lagi dan lagi, jarak yang memisahkan antara mahasiswa dengan rakyat semakin melebar.
ADVERTISEMENT
Memang, konsolidasi tertutup mungkin adalah cara yang paling baik digunakan untuk menjamin keamanan strategi dan taktik supaya tidak bocor ke telinga Intel. Akan tetapi, saya kira jenis konsolidasi semacam itu justru lebih banyak mudaratnya, semakin memperlebar jarak antara akar rumput dan mahasiswa misalnya. Melihat hal itu, maka sudah saatnya mahasiswa mengubah cara konsolidasi yang justru memperlebar jarak antara mereka dengan rakyat, ke jenis konsolidasi yang lebih terbuka dan lebih demokratis.
Gerakan yang Mewah
Setiap kali akan diadakannya suatu aksi, maka pamflet-pamflet mengenai waktu dan tempat aksi protes pun tersebar luas. Biasanya, ada instruksi tertulis di dalam pamflet itu yang berbunyi, “ Wajib menggunakan dresscode: almamater”. Bukan lagi menjadi rahasia umum, aksi protes dengan berpakaian almamater di setiap kampus adalah sebuah bentuk kewajiban (atau kebanggaan?) yang dipercaya oleh para pentolan mahasiswa agar mudah mengidentifikasi identitas setiap massa aksi. Hal itu dipercaya oleh mereka (baca: kaum reformis) untuk menghindari adanya kemungkinan aparat yang menyusup serta untuk menjaga keamanan jika sewaktu-waktu tertangkap aparat.
ADVERTISEMENT
Tentunya saya tidak sepenuhnya menyalahkan taktik pergerakan semacam itu. Akan tetapi ada satu hal yang cukup membuat saya sedikit tertawa sinis dan miris. Misalnya, abang-abangan mahasiswa yang sedang berorasi di atas mobil komando sambil mengepalkan tangan kiri, melontarkan kalimat begini, “Hati-hati sama mereka yang tidak ber-almet, tetap waspada dan jangan biarkan penyusup masuk.” Ya, bagi saya kalimat itu sungguh sangat ironis, dan jika kita gunakan sudut pandang rakyat, pertanyaan itu jelas menusuk. Bagaimana kalau yang tidak ber-almet itu justru adalah rakyat? Apakah masih akan tetap disangka sebagai penyusup? Kalaupun demikian, maka jargon “hidup rakyat” itu sama sekali kosong isinya. Payah betul.
Gerakan semacam itu tentu bukanlah gerakan organik sebagaimana seringkali diutarakan oleh para jagoan-jagoan kampus ketika konsol. Bagi saya sendiri dan mungkin pembaca yang budiman juga turut bersepakat, gerakan semacam itu amat terlampau mewah, bung! Betapa ironis, ketika di jalanan, kalian (kaum reformis) teriak-teriak hidup rakyat Indonesia segala macam, tetapi ketika rakyat hendak turun ikut berjuang, justru kalian tuduh sebagai penyusup? Hipokrit betul.
ADVERTISEMENT
Wajib menggunakan almamater ketika turun aksi protes adalah bentuk kemewahan yang seringkali ditunjukkan oleh mahasiswa yang acap mendaku diri dengan gagahnya sebagai agen perubahan. Mereka (baca: kaum reformis) seakan menutup mata dan berlagak amnesia, mereka lupa, bahwasanya rakyat yang hendak berjuang bersama-sama melangit kan harapan di jalanan terdiri dari berbagai tingkatan kelas sosial. Singkatnya, tidak semua rakyat sanggup mengakses pendidikan dan mempunyai almamater.
Entah mereka (baca: kaum reformis) sadar atau tidak mengenai hal itu, saya kira gerakan semacam itu sudah semestinya dibenahi oleh para mahasiswa. Alih-alih menginstruksikan kepada seluruh mahasiswa memakai almamater ketika turun aksi, mahasiswa bisa menggunakan alternatif yang lebih jitu, yakni memakai pakaian serba hitam. Tentu alternatif itu tidak bisa dimungkiri dapat meningkatkan persentase kemungkinan adanya penyusup seperti aparat. Akan tetapi alternatif itu adalah jalan terbaik untuk melenyapkan sekat, menyingkirkan kemewahan, dan kemapanan, yang tidak dimiliki oleh semua massa aksi di pertempuran jalanan. Dengan pakaian serba hitam, warna-warna yang terabaikan dan terpinggirkan dapat dirangkum.
ADVERTISEMENT
Setelah Aksi, Lalu Apa?
“Setelah aksi, lalu apa?” Merupakan ide yang diusulkan oleh kawan saya setelah aksi protes beberapa waktu lalu di Kota Semarang dengan maksud mengajak saya membangun ruang diskusi. Namun sayangnya ide itu tidak terlaksanakan karena kita harus menghadapi beberapa isu baru lagi yang keluar dari mulut Negara.
Pertanyaan itu cukup singkat namun padat. Tepat dan menarik untuk memantik pergulatan argumen di ruang diskusi. Setelah aksi, lalu apa? Adakah dari mahasiswa yang menanyakan hal itu baik kepada dirinya sendiri maupun rekan organisasi perjuangannya? Saya pikir tidak ada. Tidak adanya pertanyaan semacam itu saya anggap sebagai bukti bahwa aksi protes yang ada sekarang ini masih ketinggalan zaman alias terlampau kuno.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa seperti melupakan siapa dirinya, apa tugasnya, dan apa perannya. Perbincangan mengenai akan melakukan apa setelah aksi mesti menjadi perbincangan wajib yang patut dijalankan. Masalahnya, sekarang ini mahasiswa setelah aksi tidak pernah memikirkan akan melakukan apa setelahnya? Kebanyakan mahasiswa sekarang menggunakan waktu setelah aksi hanya untuk berfoto-foto dan mengabadikan momen-momen yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Hal-hal konyol semacam itu jelas membuat saya muak sampai sedikit tertawa tergelitik oleh tingkah laku mahasiswa era kontemporer. Sudah metode aksinya ketinggalan zaman, ditambah dengan tingkah laku mengabadikan momen yang sebetulnya tidak perlu dilakukan. Menurut saya, waktu-waktu setelah aksi justru lebih baik digunakan untuk melakukan diskusi membahas topik yang memiliki relevansi tentang tuntutan-tuntutan yang sedang diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa Sekarang Tidak Punya Prinsip
Gerakan mahasiswa sekarang ini seperti tidak punya pegangan prinsip. Akibatnya, mereka jadi terlalu mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang mungkin saja sengaja dikembangkan oleh Negara untuk membuat gerakan menjadi pecah fokus. Misalnya saja isu pagar laut yang sempat ramai beberapa waktu lalu, isu itu kemudian ditimpuk lagi dengan isu kelangkaan gas 3 kg, dua isu dalam waktu dekat. Alih-alih mencari titik masalah, mahasiswa justru mudah dialihkan fokusnya dari satu masalah ke masalah lainnya hingga akhirnya mereka melupakan permasalahan yang sebelumnya.
Bagaimana mungkin gerakan protes yang tidak mampu untuk mencari titik masalah, bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan lainnya? Hal itulah yang barangkali menjadikan gerakan mahasiswa hanya tampak begitu-begitu saja. Terlalu membosankan, monoton, dan kadang memuakkan sekaligus lucu. Sudah saatnya gerakan mahasiswa dipercanggih dan tidak melulu menggunakan bahasa yang tidak pada tempatnya. Sudah saatnya gerakan mahasiswa mempunyai prinsip agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh banyaknya isu yang mencuat. Hapuskan sekat seperti gerakan ber-almet yang tampak mewah dan terlampau kuno.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana tugas dan perannya sebagai agen perubahan dan moral force, artinya mahasiswa harus membersamai rakyat, bergerak bersama secara nyata di jalanan tanpa membawa kepentingan-kepentingan yang berbau politik praktis. Sudah saatnya mahasiswa menanggalkan almamaternya, bendera organisasi ekstra, dan segala kemewahan yang justru memperlebar jurang antara akar rumput dan mahasiswa.