Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Membangun Kesadaran Politik Melalui Pendidikan Politik
21 Januari 2025 12:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abdullah Azzam Al Mujahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari kekuasaan negara telah tampak sebagai realitas politik yang mendominasi kehidupan masyarakatnya, bagaimana pengaruhnya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat tidak dapat dihindari karena sudah seperti menjadi sesuatu yang given. Kekuasaan negara dijalankan melalui pemerintahan, dan di Indonesia sendiri sistem pemerintahan yang ada adalah sistem demokrasi perwakilan.
ADVERTISEMENT
Sistem demokrasi baik langsung maupun perwakilan dalam suatu negara dapat menjadi suatu sistem yang cacat jika sumber daya manusia yang menjadi pengontrolnya rendah. Rendahnya sumber daya manusia itu tentu akan berimplikasi pada kualitas pemimpin hasil pemilihan yang tidak dilandasi dengan pengetahuan mumpuni mengenai politik.
Seorang Socrates pun pernah meragukan sistem demokrasi, di mana Ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang harus dicegah, karena dapat menghasilkan kemungkinan suatu negara dipimpin oleh seorang pemimpin yang bodoh—di mana Ia hanya kebetulan mendapatkan banyak suara dari pendukungnya.
Keraguan Socrates pada masa itu rasa-rasanya memang terbukti di masa-masa sekarang. Di mana sistem demokrasi telah menciptakan banyak sekali persoalan yang cukup memprihatinkan, khususnya di Indonesia, betapa telah merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di bawah sistem demokrasi. Persoalan memprihatinkan (dibaca: menjengkelkan) ini tentu saja terbentuk secara sistematis, mulai dari pemilihan seorang pemimpin yang dilakukan oleh pemilih yang tidak memiliki keterampilan berupa pengetahuan politik yang cukup sampai tidak adanya kesadaran masyarakat untuk berdialektika.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana solusinya? Haruskah sistem demokrasi ditiadakan? Tentu tidak perlu. Untuk mengatasi persoalan itu, kita tak perlu menjadi seperti seorang Socrates. Kita hanya memerlukan pendidikan politik sebagai alat untuk membentuk, mempertanyakan, menempa kesadaran politik masyarakat umum agar terbentuk kebiasaan berdialektika.
Pendidikan politik di mulai dari sejak dalam pikiran, baru kemudian perbuatan!
Kita pada umumnya memahami politik sebagai barang yang kotor, sehingga kita tampak tidak peduli dengan urusan politik yang ada. Kita selalu merasa kalau kehidupan kita itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik. Nah, hal inilah yang menjadikan buta politik sangat berbahaya, pada kenyataannya segala urusan kehidupan kita, diupayakan dan diatur melalui kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
Kalau kita selamanya buta politik, maka Socrates benar, sistem demokrasi harus dicegah, karena hanya akan menguntungkan segelintir pihak (dibaca: demagog) saja yang mementingkan kepentingan pribadinya melalui kekuasaan. Contohnya? Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh pada masa Athenanya Socrates, tapi lihatlah kondisi dalam negeri saat ini.
ADVERTISEMENT
Sejatinya kita perlu pendidikan politik, di mulai dari sejak dalam pikiran. Kita perlu mendidik pikiran kita dengan pengetahuan politik murni. Di mana dapat dilakukan dengan meningkatkan literatur yang memadai mengenai politik, dan menghindari adanya kepentingan politik praktis di dalamnya. Atau kita bisa nongkrong dengan kawan-kawan di warung kopi sambil membahas politik melalui perspektif ilmu politik, dan juga bisa dengan nonton film yang bertemakan isu-isu sosial.
Pendidikan politik sejak dalam pikiran merupakan langkah awal yang penting, karena tanpa pengetahuan dasar mengenai ilmu politik, kelak kita hanya akan menjadi sampan (dibaca: sampah) yang terombang-ambing di tengah lautan. Maksudnya, kita hanya akan menjadi sasaran empuk yang mudah dibeli dengan politik uang, dan mudah terpengaruh kampanye hitam (black campaign) para calon-calon demagog.
ADVERTISEMENT
Setelah pendidikan politik sejak dalam pikiran, barulah melangkah pada tahap selanjutnya, yakni dalam perbuatan! Nah dalam tahap ini, kita bisa mengimplementasikan apa saja yang pernah kita pelajari—bukan untuk menjadi seorang politikus (dibaca: demagog), melainkan menggunakan pengetahuan tadi sebagai alat untuk “mempertanyakan” suatu kebijakan pemerintah yang merugikan, atau suatu persoalan yang miskin akan moral di dalamnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita juga dapat mengimplementasikannya pada suatu orientasi yang lebih luas. Misalnya, membuka sekolah politik gratis untuk umum. Atau menulis artikel dan esai yang kritis mengkritik suatu kesenjangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pendidikan Politik Dalam kehidupan Bernegara, Dapatkah Menjadi Sarana Menuju Kehidupan yang Lebih Baik?
Berangkat dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat kita katakan bahwa pendidikan politik tidaklah berisi tentang pandangan akan nasionalisme yang sempit— seperti yang diajarkan oleh pemerintah melalui buku-buku pendidikan kewarganegaraan—melainkan lebih berorientasi pada bagaimana masyarakat sebagai warga negara dapat menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Jika kita sudah terdidik melalui pendidikan politik, maka proses keberlangsungan demokrasi dapat dijamin dengan baik. Dan perlu diingat, pendidikan politik bukanlah sarana untuk menumbuhkan patriotisme, melainkan sebagai suatu metode untuk berontak—dari keadaan serta kesadaran palsu—yang di dasari dengan memanfaatkan kekuatan kolektif manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan politik selalu menekankan betapa pentingnya kesadaran akan solidaritas universal, dan menaruh keraguan di atas segala konsepsi negara, dengan basis kesadaran dan kekuatan moral yang baik. Pendidikan politik menjadi penting, baik sebagai alat maupun sarana untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik; menumbuhkan serta menjaga kesadaran politik individu.
ADVERTISEMENT
Membangun Kebiasaan dan Kesadaran Berdialektika
Pendidikan politik yang universal, adalah yang dapat mendidik pikiran dan tindakan untuk menghadapi realitas politik yang ada. Artinya, pendidikan politik tidak boleh dimaknai sebagai pendidikan mengenai cinta tanah air yang buta. Pendidikan politik harus diorientasikan pada cara berpikir yang bebas namun kritis supaya tidak melahirkan patriotisme dan kecintaan yang buta terhadap negaranya.
Bukan maksud menghilangkan kecintaan terhadap tanah air, pendidikan politik lebih dimaksudkan untuk mendidik akal dan kesadaran akan pengetahuan mengenai kehidupan bernegara yang bertumpu pada rasionalitas, dan dialektika. Sederhananya, untuk menghindari adanya akibat dari gejala otoritarianisme pemerintah, pendidikan politik harus menjadi pemantik terbentuknya kebiasaan dan kesadaran berdialektika pada masyarakat umum dalam kehidupan sehari-harinya.
ADVERTISEMENT
Demikian betapa pentingnya pendidikan politik dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat memang menjadi unsur terpenting eksisnya suatu negara, tetapi bukan berarti masyarakat hanya dijadikan lahan basah guna disemai doktrin-doktrin yang berorientasi pada mempertahankan kekuasaan atau kepentingan suatu kelompok saja, dan kemudian hari hanya dituai suara-suaranya saja. Masyarakat harus mengerti perannya dalam kehidupan bernegara, maka syaratnya adalah membentuk kebiasaan dan kesadaran berdialektika melalui pendidikan politik yang sehat.