Konten dari Pengguna

Meneropong Isu Lingkungan Hidup Melalui Lensa Eko-Anarkisme

Abdullah Azzam Al Mujahid
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang
22 Januari 2025 13:34 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Azzam Al Mujahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lingkungan hidup (freepik).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lingkungan hidup (freepik).
ADVERTISEMENT
Polemik tentang lingkungan hidup makin santer terdengar akhir-akhir ini. Dari akhir tahun 2024 sampai hari ini misalnya, kita diperlihatkan bagaimana ekspansi sawit menjadi persoalan serius yang ramai diperdebatkan, mulai dari para pegiat lingkungan, pejabat negara, sampai guru-guru besar di beberapa perguruan tinggi. Akan tetapi, polemik tentang lingkungan hidup sesungguhnya tidak hanya terpaku pada persoalan sawit saja—pertambangan batu bara dan aktivitas industrial lainnya pun kerap menimbulkan perdebatan panjang dalam konteks lingkungan hidup dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pelbagai pro-kontra terhadap kebijakan negara yang mengabaikan krisis ekologis dan iklim menjadi lebih sering muncul ke permukaan. Dengan demikian, agaknya kita perlu memikirkan bagaimana caranya menciptakan keseimbangan antara alam dengan makhluk hidup—baik manusia maupun non manusia, daripada hanya bolak-balik mendengungkan permasalahan tanpa mencari titik tengah secara adil. Artinya, kita tidak boleh hanya “berpaku” pada apa yang seharusnya kita dapat dari alam, kemudian secara bersamaan “mengabaikan” apa yang alam peroleh dari tindak tanduk kita (dampak ekologis).
Seperti yang kita ketahui, krisis ekologis dan perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi lingkungan hidup kita. Hal itu dikarenakan pesatnya laju perkembangan industri dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti sandang, pangan, dan papan yang semakin mendesak. Karena itu, melalui esai ini, saya ingin mencoba melihat isu lingkungan hidup melalui kacamata eko-anarkisme guna mencari akar permasalahan ekologi yang ada saat ini dan mencoba lebih dalam menelusuri apakah eko-anarkisme masih relevan di masa sekarang?
ADVERTISEMENT
Sekilas Mengenai Eko-Anarkisme
Ilustrasi bendera eko-anarkisme (wikipedia).
Pada dewasa ini, literatur mengenai eko-anarkisme jarang sekali terdengar ataupun sekadar menjadi bahan materi diskusi kita dalam membaca isu-isu lingkungan hidup. Bahkan sedihnya, tidak banyak dari kita yang peduli terhadap isu lingkungan hidup di zaman di mana kapitalismne berkembang makin pesat. Maka oleh karena itu, saya ingin mencoba menumpahkan---setidaknya sedikit---pengetahuan saya mengenai eko-anarkisme. Semoga saja dapat memsntik kesadaran dan sikap skeptis bagi para pembaca yang tertarik untuk mulai belajar mengenai lingkungan hidup.
Secara historis, eko-anarkisme telah eksis cukup lama di tengah kehidupan kita. perkembangan akan pemikirannya meningkat cukup signifikan semenjak memasuki zaman revolusi industri. Eko-anarkisme berakar dari para pemikir anarkis, Mikhail Bakunin dan Pierre-Joseph Proudhon. Berangkat dari naturalisme Bakunin yang kemudian dikembangkan oleh Proudhon dan Elise Reclus menjadi filsafat ekologi; di mana pemahaman akan hubungan antara masyarakat dengan lingkungan dianggap sebagai dialektika.
ADVERTISEMENT
Lalu apa itu eko-anarkisme? Eko-anarkisme terdiri dari dua kata, yaitu ekologi dan anarkisme. Secara etimologi ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat, dan logos yang artinya ilmu. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik (interaksi) antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Sementara itu anarkisme merupakan pemikiran politik yang anti-hierarkis; menolak segala bentuk otoritas (dominasi), dan menekankan kebebasan, kesetaraan, dan persamaan individu.
Secara konsep, eko-anarkisme ialah pandangan yang didasari oleh dua gagasan (ekologi dan anarkisme) yang diselaraskan menjadi kebebasan dan keadilan tidak hanya berlaku bagi manusia saja, tetapi juga berlaku bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Nah, sederhananya eko-anarkisme itu pandangan yang menekankan kebebasan dan keadilan terhadap seluruh mahkluk hidup (baik manusia maupun non manusia) dan alam.
ADVERTISEMENT
Unsur anarkisme yang terkandung dalam gagasan eko-anarkisme digambarkan pada penolakan terhadap aktivitas masyarakat industri yang bersifat sentralistik, sebaliknya, menganjurkan masyarakat industri yang terdesentralisasi; eko-anarkisme percaya bahwa dalam komunitas masyarakat yang lebih kecil dapat memungkinkanm tumbuhnya rasa saling percaya dan saling mengenal lebih kuat, sehingga pengambilan keputusan, keamanan, dan keadilan oleh masyarakat yang terdesentralisasi itu dapat dibentuk lebih baik dan otonom.
Akar Permasalahan Lingkungan Hidup (Ekologis) Menurut Eko-Anarkisme
Ilustrasi kapitalisme melahirkan dominasi yang merupakan akar masalah ekologis menurut eko-anarkisme (indonesiasatu.co.id).
Dulu saya sempat berpikir secara dangkal kalau persoalan lingkungan hidup itu berpangkal pada keberadaan manusia. Keserakahan manusia yang mengakibatkan over kebutuhan serta meningkatnya populasi menjadi ancaman---secara sempit saya berpikir, jalan keluar satu-satunya adalah melenyapkan atau mengurangi populasi manusia. Namun, seusai membaca esai Murray Bookchin tentang ekologi sosial, saya mulai sedikit meragukan pandangan itu---karena setidaknya, masalah ekologi bukan disebabkan semata-mata oleh masalah sosial (kebutuhan hidup berlebih dan over populasi) yang ditimbulkan dari tindak tanduk manusia (nuklir, megapolitan, polusi, perkebunan monokultural dan lain sebagainya), melainkan masalah sosial itu lebih tampak sebagai akibat dari masalah yang lebih besar (kapitalisme).
ADVERTISEMENT
Menurut Bookchin, akar masalah ekologi bukanlah manusia, melainkan hierarki sosial. Kita semua memang patut disalahkan atas kerusakan ekologis, namun sesungguhnya pangkal permasalashan itu terletak pada dominasi manusia terhadap sesamanya yang kemudian berkembang menjadi dominasi manusia atas alam. Dominasi itu lalu berimplikasi pada pengondisian pasar yang buruk; melabeli diri ramah lingkungan; mementingkan keuntungan dari modal yang sedikit tetapi justru merusak lingkungan, dan setidaknya kita tahu siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam hal itu (kapitalisme).
Dalam eko-anarkisme, alih-alih mengesampingkan teknologi dan sains lalu menghancurkan peradaban manusia; dengan maksud membangun ulang kembali seperti dalam pandangan anarkisme-primitivisme (kerabat eko-anarkisme), eko-anarkisme justru memandang bahwa kapitalisme dan masyarakat hierarkis yang melahirkan dominasi lah yang patut dihancurkan guna menciptakan masyarakat ekologis dengan memanfaatkan teknologi---kecuali nuklir---dan sains serta menekankan demokrasi langsung ala polis Yunani (Ekologi dan Anarkisme, 2021).
ADVERTISEMENT
Isu Lingkungan Hidup Kontemporer (Krisis Ekologis) dan Bagaimana Cara Eko-Anarkisme Mengatasinya?
Murray Bookchin seorang pemikir anarkis yang memperkenalkan eko-anarkisme melalui ekologi sosial (vancouver sun).
Di tengah merebaknya isu lingkungan hidup sekarang ini, Murray Bookchin dan Alan Carter mengeklaim hanya gerakan anarkisme kontemporer yang mampu mengatasi perubahan iklim. Selaras dengan pernyataan Bookchin dan Alan Carter, seorang antropolog Inggris, Brian Morris berpendapat kalau, “anarkisme pada hakikatnya adalah lingkungan hidup, karena ia memiliki prinsip-prinsip ekologi yang sama yaitu desentralisasi, organisasi sosial non-hierarkis dan saling ketergantungan (Morris 1996).
Saya cukup tertarik ingin menggunakan pendekatan ekologi sosial ala Bookchin guna mengetahui bagaimana cara eko-anarkisme menjawab tantangan isu lingkungan hidup kontemporer. Dalam pendekatan ekologi sosial ada hal unik, yaitu mengenai masyarakat sebagai penyebab sekaligus solusi dari masalah ekologi, degradasi lingkungan misalnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks zaman modern, khususnya di Indonesia, setidaknya kita tahu kalau pelbagai isu lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dengan persoalan seperti pertambangan, perkebunan-perkebunan monokultural, food estate, industrialisasi terpusat, hingga berpuncak pada kapitalisme (meskipun tidak secara terang-terangan). Persoalan itu selalu dilandasi oleh alasan pertumbuhan ekonomi guna melancarkan kebijakan negara untuk pembangunan. Lalu, untuk mengatasi krisis iklim yang kian nyata, negara bersembunyi pada gerakan ekologi kecil, atau menurut Bookchin disebut sebagai privatisasi krisis lingkungan, dimana gerakan ekologi hanya berujung pada sekadar daur ulang sampah, hemat listrik dan air, mengurangi kelahiran bayi, membeli produk yang dilabeli ramah lingkungan, dan semua saran yang bersifat privat.
“Jika solusi utama terhadap masalah lingkungan adalah ‘hidup sederhana’ dan daur ulang sampah yang militan, krisis pasti akan berlanjut dan meningkat,” lalu secara bersamaan, “dunia anti-ekologi ini tidak akan disembuhkan oleh tindakan kenegaraan atau merubah bagian dari suatu undang-undang sedikit demi sedikit. Ini adalah sebuah dunia yang sangat membutuhkan perubahan struktural yang meluas,” tulis Bookchin.
ADVERTISEMENT
Ekologi sosial selalu menekankan bahwa dominasi manusia atas alam itu berasal dari dominasi manusia atas manusia. Kita tahu, masalah sosial yang sebelumnya sudah saya sebutkan itu berpangkal pada kapitalisme, khususnya dalam hukum pertumbuhan ekonominya(tumbuh atau mati). Melihat hal ini, kekeliruan kita dalam menafsirkan sumber masalah ekologis bakal cenderung menyalahkan kemanusiaan.
Pada saat bersamaan, Bookchin tegas menolak kalau hal ini sekadar masalah moral para pengusaha serakah. Ambil lah contoh persaingan antara pengusaha berwawasan ekologis dan yang tidak berwawasan, dalam persaingan pasar yang begitu kompetitif, si pengusaha berwawasan ekologis akan terpojok pada kerugian yang besar karena terlalu berorientasi pada wawasannya, sementara pengusaha yang tidak berwawasan justru berkembang pesat dengan modal kecil yang merusak lingkungan namun menguntungkannya. Dalam hal ini, mungkin bisa dikatakan kalau si pengusaha tidak berwawasan ini jahat dan amoral. Namun Bookchin menegaskan kalau, “kapitalisme modern secara struktural telah bersifat amoral dan karenanya tidak terpengaruh oleh tuntutan moral”.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan kapitalisme hijau? Dalam kapitalisme hijau, sekali lagi saya mengambil contoh pada persaingan produk ramah lingkungan dan non ramah lingkungan. Harga kendaraan roda dua dan roda empat yang tidak ramah lingkungan sekarang ini memiliki harga yang lebih murah ketimbang kendaraan berbasis tenaga listrik. Alih-alih membeli produk ramah lingkungan, kondisi ekonomi masyarakat yang hanya cukup memenuhi kebutuhan hariannya lebih tertarik pada produk yang tidak ramah lingkungan. Dengan kata lain, hal itu akan menghambat perubahan besar-besaran yang digagas oleh negara melalui konsep kapitalisme hijau, sementara itu kerusakan ekologi dan perubahan iklim kian ekstrim. “Lebih mudah membayangkan kehancuran bumi daripada kehancuran kapitalisme,” tulis Frederic Jameson. Kenyataanya, justru memang kapitalisme lah yang menghancurkan bumi.
ADVERTISEMENT
Dalam ekologi sosial, Bookchin menekankan batasan pertumbuhan ekonomi, dimana Ia mengutuk pertumbuhan ekonomi dan kemajuan yang diukur dengan standar negara dan modal. Alasan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, di Indonesia menjadi hal yang seringkali santer terdengar. Jika kemajuan pada suatu negara didasarkan pada banyaknya beton dan gedung yang menjulang---dimana hal itu jelas tidak memiliki manfaat bagi kita--- maka kita perlu mempertanyakan kembali, “untuk apa dan siapa kemajuuan itu?”. Seperti apa yang ditekankan oleh Bookchin dalam munisipalisme libertarian, yang memisahkan antara negara dan masyarakat. Di mana keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan saling bertentangan: kemajuan negara bukan berarti kemajuan masyarakat dan karenanya kemajuan negara tidak dapat dijadikan tolak ukur sebagai sebuah kemajuan.
ADVERTISEMENT
Batasan pertumbuhan yang diserukan oleh Bookchin dapat dikatakan sangat relevan dalam banyak hal, khususnya di Indonesia sendiri. Ambil lah contoh perluasan ekspansi sawit yang dikatakan sebagai strategi ekonomi nasional, padahal hasil panennya rendah namun daya rusak ekologis yang dihasilkan melalui alih fungsi hutan amatlah besar---alih-alih berfokus pada intensifikasi produksi, beberapa korporasi justru mengutamakan perluasan lahan. Lalu pada sektor pertambangan, meskipun cadangan batu bara nasional rendah, batu bara terus ditambang tanpa pikir panjang. Semua proses itu berlindung di balik dalih kapitalisme hijau— demi akumulasi kapital besar-besaran, dan semua proses gerakan ekologi omong kosong itu jelas mengorbankan hutan yang makin memperparah degradasi lingkungan dan ancaman perubahan iklim kian ekstrim.
Berbicara soal batasan pertumbuhan, apa yang ditekankan Bookchin nyaris mirip dengan konsep post-growth yang mengatakan di dunia terbatas, pertumbuhan yang melampaui batas adalah ilusi. Selain batas pertumbuhan, seperti apa yang sempat saya singgung pada awal tulisan ini, eko-anarkisme---khususnya ekologi sosial---menolak masyarakat industri terpusat, artinya penurunan populasi diperlukan dengan penyebaran masyarakat secara merata alias desentralisasi. Bookchin pun mensyaratkan demokrasi langsung ala polis Yunani kuno alih-alih negara dengan birokrasi yang bersifat sentralistik.
ADVERTISEMENT
Secara optimis Bookchin percaya bahwa otonomi bakal membentuk keharmonisan karena masyarakat yang terdesentralisasi akan kembali menyesuikan kebutuhan diri dengan lingkungannya alih-alih bergantung pada kebijakan negara yang bersifat sentralistik.
Sedikit Kritik Terhadap Eko-Anarkisme, Khususnya pada Pendekatan Ekologi Sosial
Guna mengakhiri esai ini, alih-alih hanya menarik suatu kesimpulan, saya justru lebih tertarik mengkritisi eko-anarkisme, terutama pada pendekatan ekologi sosial ala Bookchin sebagai hidangan penutupnya.
Saya cukup penasaran, mengapa Bookchin lebih menekankan demokrasi langsung ala polis Yunani (yang bersifat mayoritarian) dengan membentuk majelis warga sebagai pengambil keputusan, ketimbang demokrasi perwakilan? Bukankah demokrasi langsung ala polis Yunani justru cenderung bersifat hierarkis karena adanya patriarki? Dalam hal ini, apakah dapat dikatakan kalau ekologi sosial ala Bookchin cenderung bertentangan dengan konsep dasar eko-anarkisme yang menekankan penghapusan bentuk hierarki yang menimbulkan dominasi?
ADVERTISEMENT
Kedua, berakar dari politik federalisme Proudhon, Bookchin memang mengusulkan sebuah sistem ekonomi yang menekankan pada perlunya produksi yang mencukupi kebutuhan ketimbang keuntungan. Dan tidak lupa soal kepemilikan bersama atas alat produksi serta pemerataan hasil produksi yang diasumsikan Bookchin dapat meminimalisir potensi kerusakan akibat berfungsinya mesin-mesin produksi (hal ini termasuk implementasi batas pertumbuhan). Namun perlu kita ketahui dan pertanyakan, meskipun di bawah sistem politik yang berbeda, bukankah mesin-mesin produksi yang berjalan itu tetaplah sama, dalam artian tetap menghasilkan limbah yang memiliki daya rusak lingkungan hidup?
Terlepas dari dua pertanyaan itu, saya cukup terkesan dengan konsep pemikiran eko-anarkisme, khusunya pada pendekatan ekologi sosial ala Bookchin. Setidaknya kita tahu pelbagai cara eko-anarkisme guna mengatasi tantangan isu lingkungan hidup kontemporer masih lah relevan sekarang ini, terutama di Indonesia sendiri. Pendekatan ekologi sosial agaknya harus mulai menjadi pokok bahasan dalam setiap diskusi mengenai lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT