news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Sastra dan Lingkungan: Menyuarakan Isu Krisis Iklim Melalui Jalan Bercerita

Abdullah Azzam Al Mujahid
Mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang. Sedang memungut ilmu di Pekanan Rakjat.
22 Februari 2025 16:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Azzam Al Mujahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi sastra dan lingkungan hidup (sumber: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sastra dan lingkungan hidup (sumber: freepik)
ADVERTISEMENT
Dua bulan yang lalu, seorang teman sekaligus mentor saya dalam mengenal isu-isu lingkungan hidup, memberikan saya sebuah novela secara cuma-cuma yang kebetulan lagi dipajang pada saat komunitas literasi miliknya mengadakan sebuah acara. Judulnya, “Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya (selanjutnya disingkat KGPK)”. Penulisnya adalah pak Dewanto Amin Sadono. KGPK adalah katrya sastra jenis novela berbasis fiksi iklim, di mana ceritanya diorientasikan pada dampak-dampak krisis iklim yang begitu nyata dan mengerikan.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi Bumi di saat-saat semakin gentingnya krisis iklim, saya kira pemberian secara cuma-cuma ini merupakan kesempatan yang tak mungkin saya lewatkan. Melalui novela itu, saya menjadi lebih terdorong untuk lebih luas memahami krisis iklim. Maksudnya begini, inilah cara-cara pendekatan yang lebih halus dan mudah untuk memberikan edukasi nyata mengenai kengerian akan dampak dari krisis iklim melalui jalan bercerita, jalan sastra.
Melalui sebuah karya sastra, sang penulis mampu mengajak kita untuk mengeksplore, mengimajinasikan sebuah isu lingkungan hidup, dan menggugah emosi kita dengan baik, yang mana tidak membuat kepala kita menjadi pusing karena pendekatan yang digunakan jauh berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah. Lewat menulis novela, pak Dewanto menyulap rentetan diksi ilmiah yang sulit menjadi sebuah cerita yang mudah dibayangkan. Di sinilah sastra masuk ke dalam ruang polemik panjang mengenai krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Sebuah Fiksi Berselimut Fakta
ilustrasi protes menyelamatkan bumi (sumber: freepik)
KGPK merupakan sebuah novela bertemakan kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim. Jenis karya seperti itu sekarang ini cukup populer disebut fiksi iklim (climate-fiction). Dan Bloom seorang publisis dan mantan jurnalis asal Inggrislah yang memproklamasikan terminologi fiksi iklim (climate-fiction) ini. Karena berbasis fiksi iklim, maka KGPK berangkat dari sebuah kisah nyata. Sebuah realitas pahit tentang Dukuh Simonet, dukuh yang terletak di pesisir utara Pekalongan yang nyaris tenggelam karena setiap harinya air laut selalu bertamu dan enggan beranjak pulang.
Sejak awal, cerita yang terkandung di dalam KGPK begitu suram, namun menarik. Bagaimana tidak, baru saja detik-detik pertama saya membuka novela ini, muncul sesuatu yang mengerikan menarik perhatian saya; sebuah ungkapan rasa berbentuk kalimat sang penulis terpampang di halaman sebelum daftar isi. Penggalan sebuah kalimat itu tertulis, “untuk warga Simonet yang kini tercerai-berai seperti semut terusir dari sarang, kalian pasti kuat.” Saya menangkap hal ini sebagai suatu bentuk kepedulian moral sang penulis terhadap seluruh warga Dukuh Simonet yang menjadi korban abrasi dan telah kehilangan atap untuk bernaung.
ADVERTISEMENT
Secara faktual seperti apa yang disajikan oleh pelbagai media massa, Dukuh Simonet itu awalnya menyatu dengan daratan, namun semenjak abrasi parah datang pertama kali pada tahun 2005 dan yang kedua pada tahun 2020, wilayahnya kemudian terpisah dari daratan dan menjadi tampak seperti pulau kecil. Dampak dari abrasi itu tertulis di dalam berbagai media massa dan juga digambarkan langsung oleh pak Dewanto melalui cerita di dalam KGPK; banyak rumah-rumah yang terpaksa ditinggalkan penghuninnya, akses jalan darat terputus, sampai tambak dan kebun melati yang menjadi sumber mata pencaharian utama lenyap.
Setelah rampung membacanya, saya jadi langsung teringat dengan apa yang dikatakan Helen Philips, penulis Some Possible Solutions, “fiksi dapat membuat ancaman perubahan iklim menjadi sesuatu kenyataan dan bukan sekadar statistik. Fiksi memaksa kita untuk membayangkan, menjalaninya, setidaknya untuk sementara waktu.” Mungkin pula inilah yang dimaksud dengan, “kemampuan sastra untuk menghasilkan empati radikal” oleh Siobhan Adcock, penulis The Completionist. Sastra seakan ingin menata kembali hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya (alam) melalui jalan bercerita.
ADVERTISEMENT
Ramalan atau Takdir Masa Depan?
ilustrasi dampak krisis iklim (sumber: freepik)
Ada hal yang begitu unik sekaligus mengerikan. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa tema yang dibawa KGPK diambil dari kisah yang benar-benar nyata. Pak Dewanto selaku penulis, seperti sedang meramalkan sesuatu yang lebih luas dan jauh melampaui kenyataan yang ada pada saat ini. "Jauh" dalam artian bukan hanya sekadar sebagai akibat dari dampak perubahan iklim bagi wilayah pesisir pantura di kemudian hari, tetapi juga sebagai peringatan, bahwa krisis iklim itu benar-benar mengancam seluruh aspek kehidupan manusia.
Entah cerita yang tertuang di KGPK itu ramalan atau bukan, saya cukup sepakat dengan penulis. Kondisi nyata mengenai dampak dari krisis iklim yang ada pada saat ini di wilayah pesisir utara Jawa saja sudah cukup membuat saya bergidik ngeri (lihat informasi di berbagai media massa). Kalau pembaca menganggap KGPK hanya sekadar ramalan, maka saya sepakat dengan pak Dewanto, “Namun, kalaupun mau disebut demikian, semoga-semoga ramalan yang salah; sebab isinya sungguh luar biasa mengerikan.”
ADVERTISEMENT
Tapi terlepas dari kengerian itu, yang patut diacungi jempol dari karya sastra karangan pak Dewanto adalah tidak adanya jawaban yang pasti. Alih-alih menulis angka 100 sebagai sebuah jawaban, beliau justru memberikan angka 50+50 lalu membiarkan kita sebagai pembaca yang menjawabnya. Kita ditarik ke dalam sebuah alur cerita untuk memaknai dan menarik kesimpulan atas apa yang telah kita baca; pelajaran apa yang kita dapat dan apa saja yang harus kita lakukan untuk menghadapi gambaran mengerikan dari dampak krisis iklim yang ditumpahkan ke dalam sebuah karya sastra.
Sastra Sekali Lagi Mengambil Perannya
ilustrasi seseorang sedang menulis (sumber: freepik)
Barangkali pembaca KGPK dan fiksi iklim lainnya juga setuju kalau sastra bukan hanya sekadar karya imajinasi. Karena kehadiran karya sastra jenis fiksi iklim ini tentunya dapat menjadi jalan untuk memantik kesadaran kita dalam merespons krisis iklim, khususnya isu pesisir utara Jawa yang kian hari kian nyata tergerus air laut. Melalui cerita KGPK dan fiksi iklim lainnya, kita mampu menemukan pelbagai faktor mengapa suatu peristiwa kerusakan ekologis dapat terjadi, sekaligus merancang strategi untuk menghadapinya di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Alih-alih berpasrah atau menganggap krisis iklim hanya sebagai "takdir" Tuhan seperti yang dilakukan Taslani dan anaknya, melalui bacaan karya sastra semacam KGPK justru kita dapat belajar, bahwa setiap kerusakan ekologis pasti memiliki faktor. Tenggelamnya Dukuh Simonet di dalam KGPK misalnya, yang selaras dengan lini kenyataan, dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan hingga kemudian dapat ditemukan faktor penyebabnya secara ilmiah.
Dengan demikian, kesadaran yang tumbuh berkat pantikan sebuah karya sastra, bukanlah menjadi suatu hal yang mustahil lagi kalau dalam kenyataanya kita memang mampu---setidaknya---meminimalisir dampak dari krisis iklim. Karya sastra dengan nyata dan berani sekali lagi tampil sebagai media kritik sosial dan panggung ekspresi yang membentuk kepedulian terhadap lingkungan hidup. Melalui pesan-pesan yang diselundupkan ke dalamnya, karya sastra berhasil membangkitkan kesadaran para pembacanya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, karya sastra tidak hanya sekadar tampil sebagai media yang romantik. Salah jika kita memandang karya sastra hanya sekadar sebuah hiburan atau khayalan imajinasi pengarang belaka. Karena sekali lagi, karya sastra mampu mengambil peran yang cukup sulit jika diambil oleh ilmu pengetahuan lainnya; memantik kesadaran khalayak melalui imajinasi dan riset supaya lebih peduli terhadap isu-isu krisis iklim.
Melalui karya sastra, khususnya jenis climate-fiction, suara dari kegelisahan, keresahan, dan kenyataan sosial yang sulit mengudara dapat tersampaikan dengan baik kepada khalayak umum. Melalui karya sastra, topik perihal sudah gentingnya krisis iklim berubah menjadi sebuah “tanda seru” yang secara tidak langsung memperingatkan kepada kita, bahwa saat ini, "situasi sudah gawat, waktunya merumuskan strategi dan segera melancarkan aksi nyata untuk mencegah adanya kemungkinan terburuk dari dampak krisis iklim!”.
ADVERTISEMENT