Konten dari Pengguna

Mengekang Independensi Mahkamah Konstitusi Melalui Revisi UU MK

Abdullah Fahrieza
Universitas Andalas Jurusan Ilmu Hukum
25 Mei 2024 16:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Fahrieza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) Suhartoyo memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) Suhartoyo memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Percobaan pelemahan institusi Mahkamah Konstitusi kerap kali menjadi sasaran ketika hasil putusan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penguasa. DPR dan Presiden telah menyetujui dilakukannya pembahasan revisi UU MK, hal ini merupakan suatu kekeliruan yang terulang kembali sebelumnya yakni pada UU No. 7 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Pembahasan revisi yang dilakukan secara cepat dan senyap pada forum tertutup sejatinya telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang telah termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berupa keterbukaan dan kejelasan tujuan serta kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Sebab setiap peraturan yang dibuat harus berlandaskan manfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DPR dan Presiden kembali mengulangi kesalahan dengan mengabaikan partisipasi masyarakat (meaningful participation) dalam proses pembahasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat adalah kegagalan syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dari itu proses pembentukan revisi UU MK tidak memiliki validitas hukum.
Sikap DPR dan Presiden yang secara sengaja terus menerus mendiskreditkan kelembagaan Mahkamah Konstitusi melalui penerapan UU yang tidak efektif, memicu mengurangi fungsi check and balances dan pembatasan kekuasaan. Revisi UU MK ini adalah contoh penggunaan alat hukum yang menghancurkan demokrasi konstitusional yang telah dibangun sejak reformasi untuk melindungi agenda politik pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, ketentuan pada Pasal 23A beleid terbaru revisi UU MK mengintervensi kekuasaan kehakiman karena di dalamnya terdapat frasa evaluasi jabatan hakim oleh lembaga pengusul.
Proses evaluasi hakim ini merupakan bentuk court packing, yaitu upaya untuk mengatur komposisi lembaga yudikatif untuk memenuhi tujuan partisan dan kehendak penguasa. Proses ini ke depannya berdampak tereliminasinya hakim konstitusi yang tidak sejalan dengan kekuasaan politik dan mengganti mereka dengan hakim yang lemah tidak memiliki integritas dan tunduk pada otoritas.
Lembaga pengusul hakim Mahkamah Konstitusi yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung dapat memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi apabila dirasa tidak lolos evaluasi. Hal ini tentunya benar-benar sangat merusak indepedensi para hakim Mahkamah Konstitusi, perlu diketahui bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai the protector of human rights.
ADVERTISEMENT
Jadi pada saat DPR dan Presiden melegasikan hukum yang bertentangan dengan hak-hak rakyat maka di situlah peran peradilan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hukum tersebut melalui judicial review.
Besar kemungkinan ke depannya Mahkamah Konstitusi tidak bisa lagi objektif dalam menilai perkara, sebab hakim-hakimnya khawatir gagal evaluasi. Perlu diingat bahwa meskipun hakim Mahkamah Konstitusi dipilih Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung mereka bukanlah wakil daripada ketiga lembaga tersebut.
Mereka tetaplah wakil daripada rakyat yang harus mengabdi pada keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, karena yang membiayai mereka dan menggaji mereka merupakan dana APBN yang diambil dari pajak rakyat.