Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Syahid di Penjara Suci
2 Agustus 2021 14:10 WIB
Tulisan dari Abdullah Kafabih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ipul menangis merintih kesakitan di kamarnya. Dia terbaring pasrah di unit kesehatan pesantren (UKP). Tidak ada yang membantunya seorang pun di sana. Pun pengurus pesantren tidak mengizinkan siapa pun masuk ke dalam kamarnya kecuali dokter. Ingin pulang pun tidak diperbolehkan. Sudah tak ada lelucon dan kebahagiaan dalam hidupnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan terus menangis meratapi kondisinya saat ini.
ADVERTISEMENT
Dalam tangisnya, ia membayangkan bisa melakukan aktivitas normal seperti biasanya. Terkadang ia berteriak “Tuhan kapan aku sembuh, aku rindu orang tuaku”. Semua orang terharu dan merasa kasihan jika melihat kondisinya. Mereka hanya bisa larut dalam kondisi Ipul sekarang. Pun tak tau harus berbuat apa.
Pengurus pesantren saat itu juga merasa bingung, atau mungkin sudah tak peduli. Mereka yang bertanggungjawab atas nasib Ipul, bahkan tak pernah menanyakan kabarnya. Sekadar mengintip pun jarang mereka lakukan. Yang mereka lakukan hanya menuruti instruksi dokter untuk mengisolasi Ipul.
“Sakiiiittt...!” teriak Ipul. Suaranya terdengar sampai kantor pusat pesantren. Hampir satu pesantren kaget mendengarnya. Lantas pengurus mendatanginya, mengintip di sela-sela jendela yang Ipul tutup. Tak berhenti di situ, ia malah terus menerus menangis. Dan semakin keras rintihan tangisnya.
ADVERTISEMENT
“Zen, Ustaz Muhammad di mana sekarang,” tanya Syihab yang heran ke mana perginya ketua pengurus yang tidak ada di pesantren. Pun ketika ditanya hampir seluruh santri tidak ada yang tau.
“Mungkin kamu bisa coba untuk meneleponnya, Hab,” perintah Zen dengan singkat.
“Eh…apa antum lupa, kalau hari ini belum jadwalnya kita menggunakan ponsel?” jawab Syihab.
Mereka berdua panik mondar-mandir mencari Ustaz Muhammad. Syihab mendengar bahwa Ipul mengatakan perutnya perih. Entah kehabisan stok makan atau yang lain. Beruntung, tak lama setelah itu ada Dokter Badi’ yang datang memeriksa kondisi Ipul.
***
Sudah hampir dua pekan ia terisolasi. Teman-temannya mengira Ipul hanya menderita sakit panas. Namun saat ini jika tubuhnya disentuh, Ipul selalu merasakan kesakitan. Dahulu ia sangat jarang tidur malam. Ia selalu sibuk belajar, muroja’ah tanpa sedikit pun memerhatikan kesehatannya. Juga tiap malam selalu minum beberapa gelas kopi. Bahkan suatu malam pernah mengoleskan cabe ke arah pengelihatannya agar tahan ngantuk. Ketika siang pun ia selalu pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan masakan untuk seluruh santri. Mungkin itulah sebabnya, ia sakit parah saat ini.
ADVERTISEMENT
Seluruh pesantren tak ada yang tau Ipul sakit apa. Ada yang mengatakan asam lambung, pusing, tipes dan tak sedikit pula yang menduga bahwa Ipul sakit demam berdarah. Sebagian santri yang merasa kasihan atas kondisi Ipul, turut menjaga di sekitar kamar Ipul. Mereka takut terjadi hal yang tak terduga karena sampai dua pekan kondisi Ipul semakin parah.
Sesekali mereka mengintip ke jendela kamar Ipul. Di sana mereka tidak hanya sekadar menjaga, tapi juga terkadang bersenda gurau, saling bercerita sampai murojaah hafalan pun di sekitar situ. Dan ketika sudah larut malam, sebagian kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Namun tidak untuk Syihab dan Zen, baginya Ipul adalah sahabat terbaiknya. Mereka selalu berpinsip; sahabat terbaik tak akan meninggalkan sahabatnya dalam kondisi apapun. Meskipun sangat berat, tapi setidaknya berada di sekitar sahabat adalah kesenangan tersendiri.
ADVERTISEMENT
“Hab, kata dokter Ipul ini sakit apa?” tanya Zen yang dari tadi pandangannya kosong ke arah jalan.
“Saya juga tidak tau, dokter tidak menjelaskan apapun ke pengurus,” jawab Syihab sambil menutup Al-Qur’annya.
“Apa mungkin dokter merahasiakan penyakit Ipul?” ujar Zen yang bibirnya mulai memutih. Mungkin karena malam itu lebih dingin dari sebelumnya.
“Saya juga sempat berpikir demikian, Zen. Tapi ingat kata Gus Aziz, kita tidak boleh berburuk sangka,” jawab Syihab dengan nada sedih.
“Iya, Hab, mungkin dokter merahasiakan karena tidak ingin satu pesantren panik,”
“Eh, atau mungkin… entahlah, mending kita tidur. Biarkan itu menjadi urusan Tuhan, kita do’akan saja yang terbaik,” jawab Syihab sambil memakai selimut.
Malam itu Syihab tertidur, sementara Zen merasa gelisah. Saat itu juga Zen mengintip Ipul yang ternyata menangis di kamarnya dengan wajah sangat pucat. Mengetahui hal tersebut, lantas Ipul berteriak; “Tolong… panggilkan dokter! Cepat, saya tidak kuat, panas...” sambil menahan sakit yang tak terperi.
ADVERTISEMENT
Zen berlari menemui pengurus, kemudian menggedor semua kamar pengurus. “Sudah, cari saja Ustaz Muhammad. Itu bukan urusanku!” bentak pengurus yang ada di dalam kamar. Tak lama kemudian Ustaz Muhammad terbangun dan menuju ke arah Zen.
“Ustaz, tolong Ipul. Sepertinya keadaannya semakin menghawatirkan, wajahnya pucat sekali, dia mengharap bantuan dokter sekarang,”
“Sudah tenang saja, dia pasti baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencemaskannya, dia akan segera sembuh,” ujar Ustaz Muhammad dengan nada tinggi.
“Tapi, Ustaz…”
“Diam!”
“Ust…”
“Kubilang diam! Cepat kembali ke kamarmu!” potong Ustaz Muhammad dengan sangat marah.
“Kau tak tahu apa-apa! Biarkan saja. Tiap malam juga dia selalu begitu,” lanjutnya sambil menyeret Zen pergi.
Ustaz Muhammad menyeret Zen ke kamar kemudian mengunci pintu kamarnya. Tapi sudahlah, Zen tak mau berbuat keributan malam itu. Ia tak tahu harus berbuat apa, ia hanya bisa menangis di dalam kamar yang terkunci dan mengharapkan kondisi Ipul baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
***
Selepas jamaah subuh, beberapa pengurus pesantren panik berlarian di sekitar kamar Ipul. Hal tersebut membuat semua santri penasaran dengan apa yang terjadi. Sebagian santri turut berlarian menuju kamar Ipul, termasuk Syihab dan Zen. Melihat wajah Ipul yang sangat pucat dan tak berdaya, Syihab mendobrak pintu kamar Ipul. Lantas perlahan menyentuh tangan Ipul dan hampir pingsan ketika memeriksa jantung Ipul yang sudah hampir tak berdetak.
“Ustaz… cepat panggil dokter!” teriak Syihab dengan menangis.
“Zen, kamu umumkan kepada semua santri agar kumpul di musala untuk mendoakan kesembuhan Ipul,” lanjut Syihab.
“Cepat…” teriak Syihab dengan menangis sejadi-jadinya.
Sesaat keduanya bergerak menjalankan tugasnya. Semua santri hanya bisa mematung melihat kondisi Ipul. Sebagian lagi ada yang ikut menangis sambil berdoa untuk kesembuhan Ipul. Suara gema surah Al-Ikhlas nyaring membumbung di area pesantren. Membuat suasana pesantren menjadi haru.
ADVERTISEMENT
“Pul…ayo bangun. Laailaahailalllah…Laailaahaillah…Lailaahaillah…” bisik Syihab terus-menerus di samping Ipul. Meskipun tangisnya sudah tak terkontrol, namun Syihab tetap berusaha kuat dan tegar untuk mentalkin Ipul. Tak lama, Dokter Badi’ dengan cepat memeriksa Ipul dengan mengangkat tubuh Syihab sambil segera mengambil stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung.
“Innalillahi…” ucap Dokter Badi’ pelan. Seketika Syihab pingsan. Sementara santri yang lain terharu. Menangis tersedu-sedu. Tak ada yang menyangka bahwa Ipul meninggalkan para sahabat dan santri secepat ini. Ipul meninggal dengan wajah yang sangat teduh, tersenyum seakan sudah ditampakkan pintu surga untuknya.