news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Anak dan Negara Monolitik

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
7 Maret 2021 6:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak mewarnai. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak mewarnai. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Mengapa anak-anak sekarang seperti sedang atau rentan mengidap desakralisasi agama? Mengapa dalam cerita petualangan atau pergaulannya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mudah atau sering disubstitusikan dengan kalimat ”keuangan yang maha kuasa”? atau memang benarkah bahwa negara ini sedang terjerumus tidak bertuhan, sehingga dikiblati anak-anak? tidakkah anak-anak yang terlibat tawuran dan tega membantai kawan sekomunitas pelajar, adalah cermin tidak bertuhannya negara?
ADVERTISEMENT
Salah satu akar fundamental yang membuat atmosfer sosial sarat dengan friksi dan chaos, serta perilaku radikalistik di kalangan pelajar, sebenarnya salah satunya terletak pada kesalahan yang dilakukan oleh negara sendiri. Negara sedang atau telah memainkan peran-peran yang salah dan adigung-adiguna seperti gampang berbuat kejam, mendiskreditkan, mendiskriminasikan, dan merestudi dehumanisasi di mana-mana.
Perilaku adigang-adigung itu dilakukan oleh negara, karena negara menilai kalau perilaku yang ditunjukkannya ini menguntungkan, terutama berkaitan dengan kepentingan keberlanjutan, kemapanan (estabilitas), dan legitimasi eksklusivitas negara itu sendiri. Di manapun dan bagaimanapun bentuknya negara itu, ia punya watak dasar berupa otoritarian dan diktatorian. Ia tidak mudah dikritik, tetapi ia mudah memproduk kebijakan yang rawan kritik. Ia merestui diskresi sekolah yang mendehumanisasikan pelajar, yang mengakibatkan mental pelajar terbentuk jadi anti kemanusiaan, keadaban, dan kebertuhanan.
ADVERTISEMENT
Negara menilai bahwa kepentingan eksklusif dan monolitik dirinya harus selalu dimediasi dan dipenuhi dengan maksimal, meski untuk kepentingan ini harus melakukan praktik-praktik culas, mengembangkan pola salah interpretasi, dan mengistimewakan paradigma pendekatan otoritarian, yang sebenarnya bertentangan dengan misi sakral negara itu sendiri, yang idealnya wajib mengedepankan prinsip-prinsip adiluhung.
Sikap negara demikian itu membuat elemen sosial seperti pelajar ancaman seriusinya atau menempatkan negara sebagai musuh bersamanya. Pernah ada kasus lama saat jawaban remaja pada Mendikbud yang mengaku puas setelah membunuh lawan tawurannya.
Memang, misi sakral negara idealnya terfokus menerjemahkan kepentingan masyarakat secara adil dan egaliter, meninggikan target penyejahteraan ekonomi masyarakat, dan membumikan iklim kehidupan yang kondusif dan demokratis serta ”manusiawi” di jagat pendidikan. Negara, seperti kata Ibnu Khaldun, adalah organisasi terbesar yang membawa misi religiusitas dan kerakyatan. Sayangnya, negara hanya bisa menuntut regulasi reformasi kurikulum, sebaliknya pembumian ”kurikulum” dalam ruhani jagat pendidikan gagal dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Negara seharusnya ”mendidik dirinya” atau terlarang memaksakan otoritasnya seperti menerapkan pola-pola represif, karena pola demikian hanya membuat masyarakat, termasuk komunitas edukasi kehilangan kecerdasan, kebeningan nurani, dan keberaniannya untuk membangun interaksi inklusif yang saling memanusiakan dan mencerahkan.
Pola otoritarian eksklusif seperti ”serba benar sendiri” yang digelar negara hanya mengakibatkan terjadinya, merebaknya, dan menguatnya dehumanisasi, pasalnya dalam pola demikian bisa menjebak negara menghalalkan praktik-praktik bercorak akselerasi ”power of undercover” dan tangan-tangan kotor guna mengamankan kepentingan negara atau golongan yang dibelanya. Di sinilah kemudian otoritarian membingkai primordialisme dan sebaliknya primordialisme mengabsahkan diskriminasi, disparitas sosial, dan dehumanisasi. Kondisi inilah yang menjadikan komunitas pelajar memperoleh tempat berkaca untuk dijadikannya sebagai opsi mewujudkan kriminalisasi masifnya.
ADVERTISEMENT
Beda halnya jika negara mampu memainkan dirinya sebagai katalisator, yang menempatkan setiap elemen sosial dan khususnya pendidikan dalam ranah kesederajatan atau frame subyek, yang membuat setiap anak-anak bangsa berkedudukan wajib diperhatikan, lebih-lebih jika golongan ini beradadalam tataran ”akar rumput”, maka posisi negara tidak selayaknya mengambil peran ”intervensi” dan hegemonisasi.
Ali Harb, pemikir Islam kontemporer asal Lebanon, dalam kitabnya At-Ta’ wil wa al-Haqiqah (1993) mengingatkan, "kebenaran" negara adalah pemaksaan karena tidak ada negara tanpa supremasi. Kebenaran negara adalah depedensi masyarakat yang bergantung padanya. Hubungan antara negara dan kebenaran (al-Haq) adalah negara itu merupakan "kebenaran" (al-haqiqah) dan "kebenaran" tak selamanya benar. Negara memiliki status kebenaran karena apa yang diputuskan didasarkan atas nalar dan selaras undang-undang. Namun, kebenaran negara bersifat subyektif. Maka, belum tentu pemaknaan negara atas kebenaran menjadi absah. Ada campur tangan kepentingan politis yang secara diam-diam masuk ke dalam kebijakan negara mengenai persoalan hubungan umat beragama.
ADVERTISEMENT
Pemikiran tersebut sebenarnya mengingatkan peran negara yang seringkali terjebak dalam klaim kebenaran (truth claims) dan berdaulat, yang menganggap dirinya paling bisa atau paling mampu membaca dan memahami isi hati komunitas lain. Akibat sikap ini, masyarakat terkoyak dalam disparitas atau berposisi saling vis a vis seperti antara golongan pelajar satu dengan pelajar lainnya. Negara merasa dirinya berketuhanan Yang Maha Esa, sementara rakyat diposisikan tak ubahnya subordinasi yang harus selalu patuh atas titahnya.
Dalam posisi seperti itu, kata damai di hati warga bangsa, khususnya pelajar menjadi sulit diwujudkan atau disejarahkan. Amarah dan darah lebih mudah tumpah daripada memenangkan kata islah. Pertikaian atau tawuran antar lini, di dalamnya ada palajar, lebih dikedepankan untuk menunjukkan superioritasnya. Sementara negara hanya menonton dan tersenyum-senyum manis menyaksikan kian tidak bahagia, sengkarut dan tidak berdayanya elemen bangsanya.
ADVERTISEMENT
**Oleh: Abdul Wahid
Pengajar ilmu hukum Universitas Islam Malang dan penulis buku