Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'Harga' Surga
20 September 2020 11:03 WIB
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sering mencuat pertanyaan yang bersifat praduga, apakah dalam komunitas atau jaringan terorisme juga ada suatu proses pembelajaran sebagaimana lazimnya masyarakat normal?
ADVERTISEMENT
Fakta yang ditemukan atau setidaknya terbaca, bahwa jaringan terorisme juga menyelenggarakan proses pembelajaran, pasalnya proses ini dinilainya sebagai bagian dari sistem penguatan dan pengembangan kader, di samping lebih bisa dijadikan instrumen mempengaruhi publik supaya memberikan apresiasi, minimal ikut mempelajarinya dengan harapan ideologinya “laku terjual”.
Proses dan “progresifitas” pembelajaran yang dijalankan teroris itu tidak akan kenal henti dan stagnan, serta diniscayakan akan terus diakselerasikan sejalan dengan kepentingan organisasi dan kondisi masyarakat global, yang sedang “kurang sehat” akibat ujian COVID-19. Para pilarnya akan terus membangun soliditas dan militansi organisasinya dengan proses pembelajaran yang dikonstruksi berdasarkan “kurikulumnya”.
Model pendidikan anti terorisme (radikalisme) di negeri ini idealitasnya dilakukan dengan penyebaran ide-ide atau doktrin ke masyarakat, bahwa semua subyek bangsa diajak menguatkan sikap peka lingkungan sosial atau tidak menutup mata terhadap perkembangan berbagai bentuk dinamika aliran, perbedaan, dan berbagai jenis penyakit seperti kampanye pemaksaan doktrin tertentu yang potensial tumbuh menjadi ancaman disharmonisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah itu, dunia pendidikan, khususnya di lingkungan keluarga bisa sharing atau melakukan viral pada anak-anak tentang pemahaman bahwa jihad bukan terletak pada proses penyelesaian masalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial dengan kekerasan atau pola berani mati yang “berharga surga”, tetapi pola pemahaman dan penyikapan dengan cara menghormati hak keberlanjutan hidup manusia, baik manusia dalam arti dirinya maupun manusia dalam arti orang lain (secara universalitas), yang nota bene, meminjam istilah Nurcholis Madjid sebagai perlindungan manusia sejagat, atau membunuh seorang manusia sama dengan membunuh manusia sedunia, sedangkan menghidupi seorang manusia sama dengan menghidupi manusia sedunia.
Apa yang disampaikan Cak Nur itu secara filosofis sejatinya mengingatkan, bahwa jangan mudah mengidentikkan soal hak hidup, apalagi menomor-duakannya dibandingkan dengan bius janji dapat “surga” seperti yang diajarkan jaringan teroris. Barang kali di mata teroris ini, nyawa sangat tidak penting dan jauh lebih penting “surga”, namun bagi masyarakat yang menghormati hak hidup, hak nyawa juga modal meraih surga yang bisa diraihnya dengan benar.
ADVERTISEMENT
Doktrin yang menekankan pada makna perlindungan hak keselamatan dan kehidupan itu harus dijadikan muatan fundamental setiap penyelenggara pendidikan jihad anti radikalisme, pasalnya secara general subyek didik di negeri ini “sangat miskin” pemahaman dan kepedulian (kewajiban) terhadap makna hak hidup orang lain, padahal dalam hak hidupnya inilah harga “surga” bisa dibayarnya jika dirinya mendapatkan kesempatan menjalani hidup lebih lama.
Menjalani hidup lebih lama atau tidak dirampas oleh kaum teroris adalah modal “membeli” surga di dunia di dunia dan akhirat (kehidupan kelak setelah mati). “pembelian” sekarang akan menentukan bisa tidaknya diraih surga setelah mati. “Surga” yang banyak dibangun di dunia seperti menghadirkan banyak keselamatan atau perlindungan hak hidup dan hak menjalankan kehidupan dengan damai dan sejahtera, merupakan aktivitas kebajikan yang layak disebut sebagai “investasi” besar dan istimewa untuk menghadirkan atau membangun surga yang dijanjikan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Para teroris itu belum sampai memahami kesejatian dan asasinya kalau satu hak hidup yang berhasil dilindungi atau diselamatkan dari bahaya radikalisme dan terorisme (pembunuhan), akan memberikan peluang besar bagi seseorang, apalagi banyak orang, yang dilindungi atau diselamatkan ini untuk bisa menjalani (memprogresitasfkan) kehidupannya dan berjuang memberikan yang terbaik pada keluarga, sesama, dan negaranya.
Apa pun dalih proses pembelajaran yang digunakan oleh jaringan terorisme, tetaplah berlawanan dengan doktrin inklusivitas atau kemanusiaan universal. Mereka ini bukan beraktifitas menyuburkan kedamaian, memprogresifitaskan cinta kasih atau membangun “surga”, melainkan kebencian, dendam, permusuhan dan kekacauan, serta kezaliman dalam segala bentuknya di mana-mana.
Itulah kenapa pendidikan jihad anti radikalisme kontra jihad yang “diviralisasikan” jaringan terorisme menjadi penting, pasalnya ini dapat membuat masyarakat bisa lebih paham dan yakin kalau harga “surga” di dunia akan berpengaruh besar terhadap bisa tidaknya “terbelinya” surgaNya.
ADVERTISEMENT
Komunitas pembumi “surga” dunia, yang di antaranya diwujudkan dalam pendidikan jihad anti radikalisme berbasiskan pemihakan pada perlindungan dan pemanusiaan manusia merupakan aktivitas jihad bermaknakan kesalehan universal. Implementasi pendidikan jihad anti radikalisme ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Tidak disebut beriman di antara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”.
---
Oleh Abdul Wahid
Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku hukum dan agama