Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Hukum Bernyawa Kemanusiaan
15 Mei 2021 16:56 WIB
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku
ADVERTISEMENT
Membahas eksistensi hukum yang berlaku dalam suatu negara jelas terkait dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Keberadaan hukum tak boleh telanjang (steril) dari unsur responsi dan advokasi terhadap keadilan dan kemanusiaan. Hukum yang steril dari unsur keadilan dan kemanusiaan akan membuat kehadiran hukum itu berkarakter menindas, dehumnaisme, dan otoritarianisme.
Meskipun hukum itu diproduk oleh negara, tetapi jika unsur responsi dan advokasi keadilan dan kemanusiaan tidak dilekatkan atau “bernyawa di dalamnya, tidak menjadi kekuatan yang menjiwai dan membingkainya, maka hukum itu sangat niscaya hanya akan mengabdikan dirinya “demi hukum itu sendiri atau demi kepen¬tingan negara”.
Sudah banyak dan sangat sering kepentingan yang dilon¬tarkan kalangan penegak hukum adalah atas nama dan demi negara, rakyat dan pembangunan serta keadilan, tetapi dalam faktanya kinerja yang dilakukan badan peradilan ini yang kontra dengan nilai-nilai sejati keadilan dan kemanusiaan. Nilai-nilai agung ini ditelanjangi atau ditanggalkan dan dikalahkan oleh kepentingan yang berpihak pada seseorang dan kelompok tertentu yang menguntungkannya, meskipun harus merampas nyawa keadilan dan kemansuiaan.
ADVERTISEMENT
Artinya, hukum yang seharusnya menjembatani kepentingan antar manusia agar berjalan normal dan menjunjung tinggi tegaknya keadilan, akhirnya berjalan di dalam rel kepentin¬gan yang kontra keadilan, dan dominan atau mutlak mengabdi pada target-target yang tidak sebenarnya, sehingga produk yuridis ini bisa saja disikapi oleh public sebagai instrumen yang menakutkan.
Dikatakan Guru Besar Undip Satjipto Raharjo, bahwa membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membi¬carakan keadilan. Dengan demikian setiap pembicaraan menge¬nai hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membi¬carakan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya.
Pernyataan itu sudah menegaskan posisi hukum yang dikaitkan dengan keadilan. Posisi ini tidak bisa sebatas menempatkan hukum sebagai produk formal negara, tetapi wajib diperlakukan sebagai bagian dari kekuatan yang bersumber dari dan untuk diri manusia.
ADVERTISEMENT
Tatkala hukum yang diberlakukan di masyarakat itu misalnya de facto tidak menunjukkan daya keperpihakannya terhadap keadilan, maka posisi hukum dapat dilacak bukan hanya pada saat dilaksanakannya, tetapi juga perlu dilacak dalam proses pembuatannya. Begitu pula sebaliknya, ketika dalam proses pembuatan atau penyusunan hukum, ternyata rumusan normatifnya sudah diupayakan secara maksimal membi¬carakan dan memberikan responsi tinggi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, maka yang perlu dilacak adalah pada saat pemberlakuannya, “telanjangkah aplikasi hukum itu dari komitmen keberpihakan keadilan dan kemanusiaan”.
Di dalam keadilan, ada hak-hak manusia yang hendak diwujudkan atau diimplementasikan, atau ada kepentingan antar manusia yang hendak dijaga, diayomi, dilindungi dan dijembatani. Hak-hak asasi manusia yang dilindungi ini akan berpengaruh besar terhadap citra hukum. Kegagalan bagi aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan hukum akan menjadi isyarat jatuhnya (ternodanya) citra hukum, dengan tuduhan bahwa hukum tidak lagi mengabdi pada keadilan yang “bernyawakan” hak-hak kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Menurut Soediman Kartodihardjo (1996), bahwa hukum itu adalah manusia. Hukum itu lahir oleh manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia sendiri. Dari manusia inilah warna hukum dan terapannya akan menentukan apa yang dialami manusia dalam pergaulan hidupnya.
Pernyataan itu lebih menegaskan lagi tentang posisi hukum yang harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Baik pada saat dibuat hukum harus berjiwakan atau berbasiskan kemanusiaan, tetapi pada saat diterapkan, hukum juga harus mengibarkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan ini melekat dalam hak-hak sejati dalam diri manusia.
Salah satu aspek fundamental yang mengakibatkan cepatnya reduksi, terkooptasi dan jatuhnya kewibawaan hukum adalah tatkala hukum yang diberlakukan gagal atau digagalkan mengemban missi sucinya, misalnya menegakkan HAM, dan hal ini menjadi tanggung jawab utama aparat penegak hukum untuk menjawabnya, yakni bagaimana hukum tetap dikonsistensikan sejalan dengan pemaknaan dirinya yang wajib menyuarakan keadilan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT