Ke Akhirat Memburu Cinta

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
25 Desember 2021 6:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku
Ilustrasi membaca di toko buku. Foto: Shutterstock
Kita ini sering diberi pelajaran oleh Allah, tapi kita tidak menyadari atau mengabaikannya. Dalam kasus Tsunami beberapa tahun lalu misalnya ada pelajaran berharga, bahwa binatang di Aceh (Nagroe Aceh Darussalam) sebelum terjadinya bencana Tsunami, ternyata mampu merasakan suatu bahaya besar yang sedang mengancamnya yang berasal dari laut. Dan untuk menghindari bencana yang akan mengancamnya ini, binatang-binatang itu memilih uzlah atau mengasingkan diri ke hutan-hutan atau pegunungan.
ADVERTISEMENT
Dari kasus Tsunami itu, manusia kembali diingatkan atau ditantang kemampuan Ipteknya untuk menerjemahkan dan memeta akar penyebabnya. Dari peta dan akar penyebabnya ini, manusia diajak kembali melibatkan Tuhan dalam setiap peristiwa yang menimpanya. Bukan dengan maksud menyalahkan, apalagi mengkambing-hitamkan Tuhan, tetapi mencoba merekonstruksi atau menghadirkan (membangun) kembali dan menghidupkan “wilayah Tuhan” di dalam diri manusia, masyarakat, dan bangsa.
Dengan kasus itu, manusia diingatkanNya kalau sebenarnya kemampuan Iptek yang dimiliki manusia masih terbatas dan perlu terus dipacu dan ditingkatkan. Barangkali, Tuhan mencoba melemparkan kritik keras atas sikap arogansi keilmuan manusia yang sebenarnya belum seberapa atau masih sedikit, namun sudah banyak melahirkan, memproduk, dan menyebar kerusakan di muka bumi ini. Bumi menjadi tidak ramah akibat Iptek yang dikuasai dan diaplikasikan manusia secara sekulerisme dan materialism (Imam, 2007)
ADVERTISEMENT
Filosof kenamaan Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif dari perkembangan Iptek yang berjalan di atas jalan liberalisme, Ia lantas mengingatkannya “kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yakni penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat/manusia atas dasar spiritual”.
Nabi Muhammad SAW bersabda “barangsiapa menginginkan dunia, maka dengan (modal) ilmu pengetahuan, dan barangsiapa menginginkan akhirat, maka dengan (modal) ilmu pengetahuan, dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka dengan ilmu pengetahuan”.
Hadis tersebut mengajarkan tentang cara mencari dan menguasai dunia lewat ilmu pengetahuan. Iptek dapat dijadikan modal untuk mengantarkan manusia sebagai manfaat apa saja yang disediakan Tuhan di bumi. Dengan Iptek, manusia bisa banyak memburu cinta di akhirat.
ADVERTISEMENT
Perut bumi dapat mengeluarkan potensi kekayaannya jika manusia bisa memanfaatkan Iptek untuk menggali dan mengeksploitasinya. Manusia dapat mewujudkan obsesinya di dunia seperti menghuni, menguasai, dan menikmati kekayaan bumi dengan modal Ipteknya.
Namun, manusia yang hanya memuja obsesinya itu jelas terkerangkeng dalam dimensi keduniaan, karena apa yang diperbuat tidak mencerminkan kemanfaatan Iptek secara demokratis. Melalui Iptek, seharusnya manusia tidak hanya hidup untuk Iptek atau “memberhakalan”-nya, tetapi menjadikannya sebagai kekuatan untuk menyeimbangkan pencarian dan pemenuhan kepentingan dunia dan akhirat.
Kepentingan akhirat yang bisa dibangun oleh Iptek adalah ketika di dunia, manusia yang menguasai Iptek mampu menjalankannya dengan bingkai spiritual dan moral. Manusia sadar kalau Iptek yang dikuasainya adalah “amanah” yang wajib diaplikasikan di jalan yang mendukung penyejahteraan dan pencerahan umat. Kalau umat bisa diantarkan dalam kemajuan, kedamaian, dan kebahagiaan ini, maka hal ini sudah menjadi bagian dari menunaikan obsesi keakhiratan. Karena dengan menyemarakkan atau menyuburkan cita-cita mulia ini, sama artinya dengan menghadirkan diri, sesama, dan makhluk hidup lainnya dalam penasbihan (pemujian) kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Hal itu dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Qur’an selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaanNya. Bahkan ilmu, dalam pengertiannya yang umum sekalipun, oleh wahyu pertama Al-Qur’an (iqra’), telah diakitkan dengan bismi-rabbika. Demikian ini berarti, ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau nasional dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan lainnya. Ilmu pada saat dikaitkan dengan bismi rabbika, kata Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud (Syaikh Jami’ Al-Azhar), menjadi “demi karena (Tuhan) Pemeliharaanmu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat, dan bangsanya, juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kepada kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa.
Ayat-ayat Al-Qur’an sudah menggambarkan, bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), di samping menggarisbawahi, bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia (QS 43: 13). Ada tekanan ganda dalam ayat ini dan sebelumnya, yakni tafakkur yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan kemanfaatan manusia (Shihab, 1992).
ADVERTISEMENT