Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menjaga Kesatuan Cinta Kita
10 Desember 2021 5:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku
ADVERTISEMENT
Benarkah kita ini sudah bersatu mencintai negeri ini? kalau merasa belum, mari kita wujudkan dan jaga kesatuan cinta kita terhadap keberlanjutan Negara Republik Indonesia? Kalau bukan kita yang menjaganya, mau siapa lagi?
Memang masih ada beberapa hari yang tersisa di tahun 2021, namun setidaknya catatan tentang perkara korupsi di tahun ini bisa dikonklusi, bahwa negeri ini mengalami ketersiksaan oleh virus bernama korupsi. Bibit-bibit koruptor membuktikan dirinya dengan cara beraksi mengikuti jejak para pendahulunya, yang barangkali untuk mengukuhkan stigma kalau korupsi merupakan penyakit laten dan sudah mengultur.
Kasus korupsi Bansos misalnya tersebut menjadi pelengkap “tragedi” berupa penodaan citra bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat berideologi Pancasila dan termasuk pelecehan serius terhadap harkat bangsa yang dikenal muslim terbesar di muka bumi (the biggest moeslem community in the world).
ADVERTISEMENT
Maknanya negara dengan penduduk terbesar muslim ini ternyata elemen elitisnya kesulitan menceraikan dirinya dari penyakit bernama “korupsi”, sehingga setidaknya hal ini sebagai indikasi bahwa mereka tidak atau belum serius mencintai negara ini.
Terbukti, kasus korupsi terus saja mengalir seperti air bah. Dari berbagai wilayah kekuasaan, penyalahgunaan uang negara terjadi di berbagai srktor strtaegis maupun non strategis, yang mengsankan, kalau di tiap pengelolaan uang negara mestilah muncul virus penyalahgunaan dalam berbagai bentuknya.
Koruptor sedang unjuk diri menantang setiap elemen penegak hukum, khususnya KPK. Para koruptor menahbiskan dirinya sebagai creator-kreator dan bahkan pengembang penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahalamatan keuangan negara secara spektakuler. Ini artinya, cinta yang sering diucapkan demi pertiwi kumencintaiumu adalah palsu semata. Suatu rangkaian kata manis du bibir, namun dalam perilaku hanyalah dusta yang disemaikan.
ADVERTISEMENT
Benar-benar masih ada fenomena atau kecenderungan booming penyalahalamatan uang negara dimana-mana. Dari satu kasus korupsi yang muncul di satu tempat (institusi), ternyata di tempat lain korupsi juga terjadi lebih serius. Yang semula diduga tidak akan pernah muncul korupsi, ternyata justru muncul kasus yang sangat mengerikan.
Ini berelasi dengan “ideologi” kekuasaan yang tak terpisah dengan korupsi. Dimana ada kekuasaan, di situ ada “kreasi” korupsi, sekecil apapun korupsi itu “dikreasikan”. Seolah juga mengidentikkan kalau orang yang bisa melakukan korupsi itu termasuk orang hebat yang pantas dijadikan kawan akrab dan guru yang layak dijadikan sumber mengajarkan jurus-jurus “perampokan elit dan eksklusif’.
Klittgard menyatakan bahwa korupsi timbul karena adanya monopoli kekuasaan ditambah diskresi (discretion) yang, tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability). Discretion (otoritas) merupakan kewenangan yang melekat pada setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif, yang dilakukan tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga menjadi sumber korupsi.
ADVERTISEMENT
Logika Klittgard itu sejalan dengan pernyataan paling populer dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut. Akibat absolutnya korupsi di negeri ini, kerugian besar dan berlapis juga mengabsolut.
Para koruptor itu terus menggiring Indonesia berstigma sebagai negara yang bersifat “sekedar”-nya semata dalam berlandaskan hukum. Mereka tidak henti menunjukkan dari sisi senyatanya (das sein), bahwa dirinya telah memberikan potret paradoksal mengenai korupsi yang bisa ditemukan di seluruh sector kehidupan bermasyarakat, khususnya di lini pemerintahan.
Klittgard menyatakan bahwa korupsi timbul karena adanya monopoli kekuasaan ditambah diskresi (discretion) yang, tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability). Discretion (otoritas) merupakan kewenangan yang melekat pada setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif, yang dilakukan tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga menjadi sumber korupsi.
ADVERTISEMENT
Logika Klittgard itu sejalan dengan pernyataan paling populer dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut. Akibat absolutnya korupsi di negeri ini, kerugian besar dan berlapis juga mengabsolut.
Para koruptor itu terus menggiring Indonesia berstigma sebagai negara yang bersifat “sekedar”-nya dalam berlandaskan hukum. Mereka tidak henti menunjukkan dari sisi senyatanya (das sein), bahwa dirinya telah memberikan potret paradoksal mengenai korupsi yang bisa ditemukan di seluruh sector kehidupan bermasyarakat, khususnya di lini pemerintahan.