Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Surat dari WS Rendra
5 Mei 2021 4:46 WIB
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Program Pascasarjana Unisma, PP AP-HTN/HAN, dan penulis buku
ADVERTISEMENT
Manusia kanibal sering disebut sebagai manusia pemakan daging manusia lainnya. Makna ini sudah terbilang tidak empirik sosiologis, pasalnya sudah langka ditemukan ada seseorang dengan kesadarannya mau makan daging manusia lain. Kalaupun ada kasus manusia jadi pemakan daging manusia lain, seperti kasus Mbah Jiwo yang pernah menggegerkan Jawa Timur, inipun tergolong abnormal kejiwaannya..
Makna kanibalisme kontemporer bukan lagi berpijak pada aktifitas makan daging manusia lain secara langsung, tetapi aktifitas bercorak menggeogoti atau “memakan” daging manusia lain secara tidak langsung, namun akibatnya fatalistik dan makro. Kalau kanibalisme konvensional, seseorang yang jadi korban hanya satu atau dua orang, tetapi kalau kanibalisme modern (neo-kanibalisme), korbannya bisa ribuan, ratusan, dan jutaan nyawa manusia.
Neo-kanibalisme merupakan bentuk kriminalitas istimewa (exstra ordinary crime), karena pelaku-pelakunya memproduk kejahatan ini dengan cara menghabisi, memangsa, mengorbankan, dan mencabik-cabik hak kehidupan, ketahanan, atau keberdayaan masyarakat. Apa yang dimangsa atau dikanibal dari masyarakat ini?
ADVERTISEMENT
Masyarakat itu secara konstitusional punya hak untuk dijamin kesejahteraan, hak kesehatan, hak kelangsungan hidup, dan hak mengembangkan dirinya. Hak-hak ini baru bisa dinikmati oleh masyarakat ketika negara, melalui aparat-aparatnya di pusat maupun di daerah mampu menunjukkan jiwa kepemimpinannya yang berpihak pada rakyat, dan bukannya jiwa neo-kanibalismenya..
Jaminan tersebut sudah diatur alam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pasal 25 ayat (1), bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Meski sudah ada jaminan seperti itu, tetapi kalau mentalitas aparat pemerintah masih gemar menyunat, memangkas, menggelapkan, menjarah, menggerogoti, atau mengkanibal hak-hak komunitas tidak berdaya, maka pemerataan berbasis kemanusiaan dan keadilan tetap sulit terwujud. Buktinya, berbagai kasus tragedi kemanusiaan yang belakangan banyak bermunculan dari kantong-kantong komunitas miskin, membenarkan kalau kalau selama ini manajemen kekuasaannya berlumuran dengan pola neo-kanibalisme.
Jauh hari WS Rendra mengkritik dalam sajaknya “Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tnggal dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan”.
Sajak penyair berjuluk “Burung Merak” tersebut merupakan surat sepanjang zaman yang jadi kritik radikal terhadap sikap pemerintah atau negara yang mengabaikan kewajibannya yang berelasi dengan masalah kehidupan masyarakat kecil. Rendra melontarkan kecaman terhadap perilaku elit kekuasaan yang meledek orang miskin, menghina orang yang sedang lapar, dan melecehkan orang yang sedang tidak berdaya. Mereka dituding tidak bisa menjaga kesehatan dengan baik, tidak cepat ke puskesmas ketika sakit, dan tidak mau menggunakan jasa subsidi BBM, padahal mereka tidak pernah diberi informasi mengenai prosedur memperoleh dan memanfaatkan hak-haknya itu. Bukankah Sean Bride, sang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pernah bilang, bahwa hak fundamental rakyat itu adalah hak untuk memperoleh informasi.
ADVERTISEMENT
Kritikan itu juga sebagai bentuk gugatan terhadap realitas perilaku komponen elit kekuasaan, yang sering membawa-bawa dan meng-garansikan identitas dan doktrin negara, pembangunan, dan daerah untuk meloloskan kepentingan pribadi, kerabat, anak-istri, dan kroni-kroninya, sementara kepentingan rakyat yang bersifat fundamental seperti kebutuhan pangan bagi orang miskin yang sedang lapar, kurang gizi, atau tidak terjamin kesehatannya justru disingkirkannya, sekurang-kurangnya dianggap sebagai kebutuhan yang tidak mendesak dan layak dinomor-duakan.
Aparat-aparat pemerintah gampang terjebak dalam suatu prinsip menggampangkan urusan rakyat, seperti derita yang menimpa rakyat, yang sebatas ditempatkan atau diwacanakan sebagai bagian dari bencana yang harus diterima dengan sabar, dan bukannya disikapi sebagai gugatan atau dakwaan kalau deerita yang dialami rakyat adalah indikasi kegagalannya dalam menerjemahkan kebutuhan empirik rakyat.
ADVERTISEMENT
Seharusnya ketika rakyat ditimpa bencana kesulitan pangan dan lainnya, negara dengan secepatnya turun tangan dengan lebih dulu menjauhkan paradigma viktimisasi rakyat dan mengedepankan prinsip, bahwa ragam bencana merupakan bukti konkrit kalau dirinya sedang menjadi pendusta atau pembohong agama. Ragam bencana yang menimpa rakyat demikian menjadi semacam bahan kritik yang kirimkanNya untuk membangkitkan komitmen manusia kepada Tuhannya ini.