Teladan Hukum dari Socrates

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
14 Desember 2021 6:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku
ADVERTISEMENT
Berjuang dalam hidup ini tidak mudah, apalagi di tengah rimba belantara kehidupan social yang sering menggunakan cara-cara menerabas norma dan suka mengorbankan keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Di tengah kondisi ini, ada saja tantangan atau ranjau yang ampang ditemukan.
Atas kondisi seperti itu, logis eseorang yang berjuang demi dan untuk keadilan, layak ditempatkan sebagai negarawan, karena apa yang diperbuatnya ini bukan semata untuk cita-cita kebaikan dirinya, tetapi juga kebaikan hukum, masyarakat, dan bangsanya. Biasanya para pejuang seperti ini akan mempertaruhkan banyak hal mulai harta, kebebasan, hingga nyawa.
Filosof kenamaan yang sudah banyak dijadikan acuan kalangan peminat atau pembelajar dunia filsafat adalah Socrates. Bahkan Socrates termasuk guru dari para filosof kenamaan. Dari Socratess ini, banyak hikmah kehidupan yang bisa dipetik atau dipelajarinya, seperti dalam kasus dialog Socrates dengan muridnya berikut:
ADVERTISEMENT
“wahai guruku, karena engkau bukan golongan orang yang bersalah atau melakukan pelanggaran, maka aku akan mengeluarkanmu dari tahanan,” demikian pernyataan muridnya yang bernama Creto.
“dengan cara apa kamu akan mengeluarkanku dari tahanan?”, tanya Socrates.
“aku akan memberikan sejumlah uang kepada petugas tahanan supaya mengeluarkan atau membebaskan engkau secara diam-diam”, jelas Creto kepada gurunya. Kreto ini termasuk murid yang sukses menjadi pedagang dan hartawan, sehingga baginya menjinakkan petugas dengan sejumlah uang tidaklah masalah.
Tentu saja Socrates kaget karena muridnya akan menempuh atau menggunakan cara-cara melanggar hukum. Socrates merasa tidak pernah mengajarkan atau mendidik cara demikian kepada muridnya. Akhirnya Socrates bertitah pada muridnya “aku tidak mau kaum bebaskan atau bela dengan cara demikian. Cara demikian justru akan melecehkan kewibawaan hukum atau bahasa lainnya membentuk model pendidikan hukum yang kurang tepat. Bagaimana jadinya wajah (pendidikan) hukum di kemudian hari jika setiap orang menempuh cara melanggar untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Kebenaran dan keadilan tidaklah boleh ditegakkan dengan cara yang salah dan melanggar hukum”
ADVERTISEMENT
Apa yang dijelaskan oleh Socrates sebenarnya menunjukkan, bahwa dunia hukum harus dijaga dari kebersihan atau kesucian cara-cara yang bermodus pelanggaran norma susila, agama, dan hukum itu sendiri. Setiap mekanisme hukum yang sudah digariskan atau ditetapkan, wajiblah dihormati oleh siapapun yang berposisi sebagai pelakunya. Meski itu menyakitkan, hukum tidak boleh dikorbankan atau dijadikan bahan lecehan.
Sebagai guru, Sekrates telah memberikan landasan pendidikan hukum yang benar secara psikomotorik kepada muridnya. Ia tidak hanya sekedar memerintahkan muridnya untuk berusaha mentaatu hukum, tetapi juga memberikan teladan konkrit tentang bentuk kepatuhan terhadap hukum. Ia berharap, bahwa pendidikan hukum yang diajarkan akan menjadi rahim yang melahirkan sosok negarawan di bidang penegakan hukum.
Kita gampang sekali menemukan praktik-praktik dari seseorang, kelompok orang atau institusi yang tega melakukan penodaan hukum, memainkan hukum, atau mewujudkan cara-cara di luar hukum. Mereka hanya memikirkan atau memasang “target” seperti asal bisa meraih sensasi, populeritas, dan membunuh karakter (character assasination) seseorang atau obyek yang dituju.
ADVERTISEMENT
Citra hukum dikalahkan oleh kepentingan memburu obyek politik, meningkatkan oplah media, merebut dan menguasai wilayah pasar, atau menaikkan posisi tawar yang dikalkulasi menguntungkannya. Posisi pemberitaan yang dikapitalismekanoleh dunia Medsos misalnya bisa bernilai “news” dianggap sebagai hukum tertinggi yang harus didahulukan dan dimenangkan dibandingkan esensi penegakan hukum (law enforcement).
Sekali hukum dikorbankan atau dinodai oleh pihak tertentu, maka citranya akan sulit terjaga. Asumsi-asumsi yang bersifat mengeksaminasi hingga menjelek-jelekkannya menjadi sulit terhindarkan akibat teladan” yang dirujuk masyarakat lebih sering mengarahkan pada hal-hal yang membengkokkannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sulit dibangun apalagi sampai diprogresifitaskannya ketika hukum tidak lagi mampu memberikan jaminan perlindungan atau mengidap rusak parah akibat dijadikan obyek pelampiasan kepentingan pihak-pihak yang terlibat perkara atau pihak luar yang mencoba memburu dan mengambil keuntungan politik dan ekonomi secara eksklusif. Disinilah semua elemen masyarakat yang mencintai hukum sebagai jalan keluar dan “panglima di atas panglima” apapun dituntut keberaniannya sebagai sang penjaga yang militant.
ADVERTISEMENT