Tong Kosong Nyaring Bunyinya

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
7 Desember 2021 15:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku
ADVERTISEMENT
Di dunia ini, atau di sejumlah negara, banyak sepak terjang politisi atau elitis kekuasaan yang diniscayakan diwarnai penyulap itu, rasanya kita perlu mengenal dan memahami sosok penyulap. Sebut misalnya David Copervield, siapa tidak kenal dengan tukang sulap kenamaan dunia, yang atraksi sulapnya memukau penonton ini. David bisa membuat penonton seperti tersihir menyaksikan gerak cepatnya yang bisa menghasilkan perubahan-perubahan fantastiknya. Suatu perubahan yang memuaskan emosi penonton berhasil diperagakan oleh David, meski esensinya, apa yang dilakukan oleh David ini termasuk “menipu atau membohongi” mata penonton.
Di negeri ini, manusia-manusia sejenis David sangatlah banyak atau minimal mudah ditemukan, bahkan nyaris mudah ditemui di sejumlah instansi, mulai dari lembaga tinggi negara hingga lembaga paling rendah sekalipun. Kepiawaian yang dimiliki David tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan kepiawaian pesulap-pesulap negeri ini. Kadar kapabilitas pesulap-pesulap di negeri ini luar biasa dan canggih, yang bukan hanya bisa memukau penonton, tapi juga bisa membuat penonton seperti kumpulan orang-orang atau masyarakat bisu (silent society), yang tidak berani menyuarakan pendapatnya atau tidak merasa kalau dirinya telah “dikadali” habis-habisan
ADVERTISEMENT
Pesulap-menciptakan iklim yang mengakibatkan orang lain bertekuk lutut, menjadi pesulap “produk” negeri ini mampu layaknya orang-orang kehilanganecerdasan intelektual dan moralnya, yang tidak bisa memprotes dan bahkan ikut larut dalam buaiannya. Dari institusi yang semula diharapkan oleh masyarakat sebagai sandaran pencari keadilan, akhirnya terperosok sebagai institusi yang menghadirkan “republic of horror”
Jangankan menkritik dan mengawasi gerak-gerik pesulap-pesulap itu, mempertanyakan kepiawaian aksi-aksinya saja, komunitas penonton ini tidak berani. Kalau mempertanyakan saja tidak berani, katakanlah meminta kejelasan secara transparan larinya dana Bank yang pernah “dimainkan”, bagaimana mungkin mereka bisa mengawasi secara cerdas realitas atraksi pesulap-pesulap itu,
Mereka (pesulap-pesulap) itu bisa melakukan mark up, menggerogoti keuangan APBD dan APBN, menitipkan pos fiktif dalam RAPBD, meminta fee dalam setiap transaksi, menjarah dana reboisasi, menyalah-alamatkan dana bencana alam, menyalah-alamatkan dana nasabah, atau menyulap sumber-sumber keuangan negara (rakyat) atau kekayaan public supaya bisa berpindah ke dalam kantongnya sendiri atau kantong kekuatan politik tertentu..
ADVERTISEMENT
Mereka itu seperti gurita yang terus menjalar, meraksasa, dan mengepakkan sayap-sayapnya untuk menyulap kekayaan negara menjadi kekayaan pribadinya. Mereka menjadi kekuatan terorganisir yang bergerak bebas seperti tanpa ada kekuatan lain yang mengontrolnya.
Dalam kasus itu, jika komunitas dewan yang posisinya sudah mengandung amanat mengontrol atau mengawasi kinerja eksekutif atau melapisi pemerintahan supaya dijalankan secara benar, justru terjerumus dalam perbuatan bercorak memeriahkan atraksi sulap atas kekayaan negara, maka mustahil rakyat negeri ini menaruh kredibilitas utamanya kepadanya. Mentalitas diam dewan atau bersuara tapi mengandung muatan target mengail keuntungan politik dan ekonomi eksklusif yang melebihi kepiawaian David Coperfield inilah yang mengakibatkan hak-hak publik tercerabut, diantaranya kemungkinan bisa lebih merananya nasib para pencxari keadilan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, aparat penegak hukum yang mendapatkan kepercayaan menyelidiki, mengawasi, dan menindak juga tidak steril dari keterjeratan menjadi korban segmentasi praktik penyulapan yang menghegemoninya. Bahkan pilar-pilar hukum ini bisa dengan dikondisikan menjadi “anak-anak didik” yang manis, yang patuh, terpesona, dan terbiusnya, sehingga mengikuti jejak pesulap. Mereka ikut menambah deretan sebagai pesulap-pesulap gaya baru dan bukan sebagai pengawal dan pengimplementasi tegaknya hukum.
Kumpulan pesulap yang melahirkan “system” dan kultur berpenyakitan di negeri ini merupakan komunitas pesulap kenamaan dari lingkaran pejabat yang mentalitas korupsinya sudah memasuki ranah stadium kleptomania akut. Mereka bukan hanya sulit diperangi, apalagi ditaklukkan, tetapi juga berani terang-terangan mengajak perang kepada setiap segmen bangsa yang mencoba mengawasi, menyelidiki, dan menjaring dirinya.
ADVERTISEMENT
Pesulap kenamaan itu juga dimungkinkan terus menebar jala dan mendisain republic of horor kepada setiap gerakan taktis atau “jihad suci” implementasi penegakan hukum. Mereka juga coba ciptakan kondisi menakutkan supaya komunitas elit yang bermaksud bicara lantang bisa terperangkap dalam pepatah ”tong kosong nyaring bunyinya”. Sekarang terserah dewan, memilih jalur oposisi lewat hak angket, ataukah menjadikan hak angket sebagai jalan tembus mengemas dirinya jadi pesulap politik yang semakin piawai.