'Vaksin' Krisis Spiritualitas

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
12 Desember 2021 7:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku
Ilustrasi Vaksin COVID-19 Astrazeneca. Foto: Shutter Stock
Kebijakan pembangunan yang berembrio dari negara tak akan tulus disambut oleh rakyat secara optimistik dan objektif. Rakyat merasa miopik dan berpraduga bersalah terhadap ucapan dan tindakan bajik yang ditawarkan penguasa, sebab mereka sudah demikian akrab dengan kezaliman yang ditolerir, keadilan yang dikalahkan, kejujuran yang “mahal” harganya, dan kebijakan yang tidak berpondasi kebajikan, keterbukaan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, rakyat juga dihadapkan dengan praksis sistem yang chaos, yang tidak semakna dan sejiwa antara idealita dan realita. Padahal dalam sistem yang chaos ini, seperti kata Napoleon Banoparte “hanya kaum bajinganlah yang beruntung”.
Kasus kolusi-korupsi di negeri ini ditengarai sudah demikian kronis dan membudaya. Kondisi demikian ini menempatkan elite kekuasaan sebagai komunitas yang “wajib” dipersalahkan. Budaya kerja dan kepemimpinannya dipertanyakan. Baharudin Lopa (1995) pernah menyatakan, “mental dan budaya malu pejabat kita makin terkikis. Mereka berlomba melakukan korupsi, tidak untuk kebutuhan pokok, tapi demi kemewahan.
Pernyataan itu diperkuat oleh “rapor” korupsi di Indonesia yang seringkali diberitakan tidak menggembirakan. Gejala atau fenomena korupsi di negara kita cukup memprihatinkan. Bersama dengan beberapa negara di dunia yang dikenal sebagai kampiun korupsi, Indonesia selalu dalam urutan yang memprihatinkan. Di tingkat dunia berada di rapor merah
ADVERTISEMENT
Kondisi korupsi yang tergolong komplikatif dan sistemik itulah yang mensimplifikasikan terjadinya pemerintahan tidak bersih yang jelas-jelas menuntut pencerahan reformasi (pembugaran) dan dekonstruksi menuju konstruksi pemerintahan yang ideal (berwibawa) atau suatu model pemerintahan yang kuat. Sementara pemerintahan yang kuat ini hanya bisa diwujudkan, antara lain melalui peran pemimpin yang mampu menempa dirinya menjadi negarawan.
Islam merupakan agama langit yang salah satu ajaranya adalah menuntut manusia mengabdi kepada Tuhannya. Bentuk pengabdian manusia ini di antaranya dengan cara menjalankan ritus-ritus yang sudah digariskan dalam kitab suciNya. Dalam kitab suciNya ini terdapat hukum-hukum yang mengatur atau mengikat manusia.
Salah satu ajaran Islam yang terbilang fundamental yang dapat dijadikan sebagai kekuatan moral untuk menciptakan pencerahan reformasi adalah kewajiban menunaikan shalat. Kewajiban fundamental ini dapat diorientasikan untuk meluruskan perjalanan reformasi yang masih ternodai oleh berbagai bentuk penyakit kronis, di antaranya masalah KKN. Shalat merupakan modal fundamental yang bisa menyelamatkan nasib bangsa dari krisis berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Shalat tergolong kewajiban istimewa, mengingat shalat diturunkan secara langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Isra’ Mi’raj. Ketika beliau Mi’raj di Sidratul Muntaha, beliau mendapatkan tugas untuk menyampaikan ajaran salat ini kepada umat manusia. Begitu pentingnya ajaran shalat itu dapat terbaca dalam isyarat berikut: “shalat itu dapat mencegah kekejian dan kemunkaran”, dan “shalat itu tiang agama, siapa yang meninggalkan shalat berarti menghancurkan agama”.
Itu artinya, shalat dapat menjadi kekuatan moral strategis untuk mensucikan dan mencerahkan perjalanan reformasi yang sedang dikotori oleh berbagai segmen oknum elite bangsa yang rakus harta dan pengaruh melalui jabatan yang diamanatkan rakyat kepadanya.
Kalau selama ini republik Indonesia masih sarat dengan praktik-praktik pembangkangan dan pemolitisasian agenda reformasi, maka itu mengindikasikan bahwa penguasa-penguasa Indonesia belum shalat secara benar. Kalaupun sudah menjalankan shalat, maka shalatnya tidak lebih dari perhiasan diri, kultural dan romantisme spiritual yang belum menyentuh dan mencerahkan jati dirinya.
ADVERTISEMENT
Shalat yang dilakukan belum merupakan konstruksi “syahadah” dan “sujud” kepadaNya, belum ke tingkatan suatu pengakuan kalau dirinya adalah makhluk yang punya kewajiban menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkanNya, dan bukan mengemas diri, kroni, dan partainya yang dikerucutkan dalam keabsolutan.
Pentingnya ajaran shalat itu memberikan tekanan esoteris, bahwa shalat adalah kewajiban yang dapat mengurai problem kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Rakyat diberikan didikan melalui shalat, khususnya elit penguasanya tentang bagaimana jadi pemimpin yang negarawan, yang tidak semata mementingkan ambisi diri, kroni, dan partai, tetapi bagaimana menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas (Muhammad, 2003).
Pemimpin yang negarawan dapat diniscayakan akan lahir dan terus tumbuh subur dari bumi pertiwi (Indonesia) ini manakala konstruksi relasionalnya dengan Maha Pencipta tetap lestari dijaga dan ditegakkan. Dan kekuatan yang bisa diandalkan adalah menunaikan shalat dengan sesungguhnya: menghadirkan Allah dalam dirinya, dan dijadikan CahayaNya untuk mencerahkan batinnya yang masih sarat dengan berbagai bentuk penyakit. (Imam, 2007)
ADVERTISEMENT
Penyembuhan atau “vaksin” krisis spiritualitas, labilitas psikologis, atau kehampaan batin manusia sudah seharusnya dilakukan dengan kembali kepada Tuhan. Keterasingan diri manusia adalah akibat ulah manusia sendiri yang mengalinasikan dari konstruksi relasi vertikal denganNya. Sementara shalat adalah jalan yang tepat untuk kembalinya manusia dari keterasingan menuju kedekatan dan keharmonisan denganNya. Jika manusia sudah mencapai tahapan demikian, bukan hal sulit baginya untuk menunaikan tugas sejarah sebagai negarawan.