Andai Tuhan Turun Tangan

Abdurrahman
Sedang menempuh pendidikan di universitas widya mataram yogyakarta. Mengambil jurusan adminitrasi publik, fakultas fisipol. Menjabat sebagai presiden mahasiswa univerisitas widya mataram yogyakarta periode 2022-2023 dan periode sekrang 2023-2024.
Konten dari Pengguna
20 September 2023 15:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi minta tolong. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minta tolong. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sore hari melihat senja di Pantai Parangtritis, memandangi sinar matahari yang begitu indah, dengan langit yang berwarna keemasan, dan membuat mata takjub atas keindahan yang disuguhkan oleh alam semesta. Beberapa menit saya menyaksikan itu sebelum iya tenggelam dilahap oleh pantai.
Langit mulai gelap dan aku melihat orang-orang beramai-ramai membakar lilin, entah apa yang akan mereka buat, dalam hati saya bertanya “membakar lilin”? Padahal sudah ada lampu listrik yang menyala terang. Mungkin, nyala lampu tidak cukup terang untuk menuntun jalan mencari kebenaran dan keadilan?
Apa masih ada ketidakadilan dalam negeri ini? Negeri yang katanya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sekilas teringat dalam ingatan bahwa ini adalah bulan September, bulan penuh dengan darah dan nyawa yang menghilang. Mungkin orang-orang yang menyalakan lilin adalah keluarga korban yang mencari keberadaannya yang tak kunjung pulang, sehingga api menyala memberi tanda pada penguasa atas kerinduan pada keadilan.
ADVERTISEMENT
Terlintas kembali dalam pikiranku, 7 september 2004, orang-orang mengenang almarhum Munir Said Thalib yang diracun di udara, di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika dia melakukan penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi S2 nya.
Apa mungkin ketika Munir di dalam pesawat dia kerasukan Socrates, dan memilih meminum racun demi mempertahankan kebenaran? Atau Munir ingin meniru Socrates bagaimana kebenaran itu harus di pertahankan walaupun nyawa sebagai taruhan? Atau seperti Wiji Thukul yang menghilang agar kebenaran tetap dicari-cari? Entah apa pun itu saya berharap pemerintah berani memberikan jalan kebenaran yang selama ini disembunyikan.
Selain dari kehilangan nyawa Munir, juga ada tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, tragedi Semanggi II 24 September 1999, tragedi 1965-1966 dan reformasi di korupsi 2019. Bahkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi saat ini harus kita tetap suarakan.
ADVERTISEMENT
Sudah puluhan tahun mencari keadilan yang tak kunjung ketemu, orang-orang berduka menunggu kepastian dari pemerintah atas janji-janji yang mereka ucapkan ketika mencalonkan diri jadi presiden. Mungkin, suatu saat Tuhan akan turun tangan dan membuka gerbang dari langit dan saat itulah keadilan akan menyertai para korban. Mengembalikan yang hilang, menghidupkan yang mati untuk kembali bertemu dengan keluarga yang selama ini menantinya.

Janjimu Presiden Indonesia

Janji adalah utang yang harus dibayar sampai kapan pun, namun tidak dengan Janji presiden indonesia, janji tinggallah janji, dan lidah memang tidak bertulang. Mereka hanya menjual nama korban demi mendapatkan kekuasaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu berjanji akan membuka kejahatan yang merenggut nyawa Munir, begitupun dengan Presiden Joko Widodo dia akan membuka semua pelanggaran HAM di masa lalu maupun pelanggaran HAM saat ini. Tapi apa? Tidak ada satu pun dari janji presiden merealisasikan, orang-orang kembali berduka menyalakan kembali lilin, membakar kembali api semangat.
ADVERTISEMENT
Setiap kamis orang-orang berdiri di depan istana dengan kaos hitam dan payung hitam dengan tulisan menolak lupa. Menanyakan kembali janji-janji presiden dan segala pelanggaran ham yang dilakukan negara maupun para penguasa yang ada di struktur pemerintahan. Sudah terhitung 16 tahun aksi kamisan berjalan, berdiri menunggu sebuah jawaban atas janji para pemimpin bangsa. Tidak ada keinginan lain kecuali keinginan adanya keadilan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa.
Berdiri setiap hari kamis bukanlah hal yang mudah dilakukan, butuh keyakinan yang teguh dan kesabaran, suatu saat kebenaran dan keadilan itu akan muncul dan memeluk para korban. Bila saja orang-orang ini diberi mukjizat seperti nabi Isa AS yang bisa menghidupkan kembali orang mati mungkin mereka tidak akan berdiri menunggu selama 16 tahun, tapi itu tidaklah mungkin karena mereka bukanlah rasul atau pun nabi.
ADVERTISEMENT
Penuntasan kasus pelanggaran HAM harus tetap kita suarakan, walau pun dihalangi oleh tembok yang besar di istana presiden, setidaknya kita tetap menjaga keberanian untuk terus melawan atas tindakan ketidakadilan dilakukan oleh kekuasaan.

September kembali hitam

Poster Munir. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Beberapa hari ini poster memperingati september hitam mulai bermunculan, entah di sosmed pribadi maupun di media sosial. Mereka berharap dengan poster-poster itu bisa merawat ingatan dan menolak lupa atas kejadian-kejadian pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan oleh negara.
Bulan september bulan penuh dengan darah, ada berapa nyawa yang hilang atas nama keamanan negara waktu di bawah pimpinan otoriter soeharto, tidak ada kemanusiaan lebih tinggi dari sabda petrus. Membunuh manusia sebuah tugas mulia demi kekuasaan yang yang absolut. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali tunduk dan patuh terhadap perintah.
ADVERTISEMENT
Kekuatan besar di bawah kepemimpinan Soeharto dengan alat TNI AD menjadikan Indonesia sebagi negara kehilangan imajinasi. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia hanya memiliki satu imajinasi yaitu imajinasinya soeharto, dengan keadaan inilah yang akhirnya masyarakat Indonesia hanya terpaut pada satu corong "kekuasaan". Selain dari itu dianggap makar dan tidak patuh terhadap ideologi pancasila, bahkan dianggap sebagai ancaman keamanan negara.
Hampir setiap bulan September menjadi bulan peringatan atas tindakan kekerasan, maupun pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara dengan dalih keamanan negara yang sampai merenggut hak asasi manusia. Negara yang seharusnya hadir untuk melindungi warga negaranya kini berbalik arah menjadi ancaman bagi masyarakat.
Memilih merawat ingatan dan menolak lupa adalah jalan yang menyakitkan, sekaligus menumbuhkan cinta dalam keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Karena kita akan terus mengingat tindakan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kekuasaan yang memiliki alat yang lengkap.
ADVERTISEMENT
Kesakitan yang mereka tanam, lambat laun akan tumbuh mengakar dan menjalar dalam diri para korban, serta para pejuang-pejuang yang tetap bertahan dalam barisan perlawanan, dan akan menjadi kekuatan. Mereka sudah melebur menjadi satu keyakinan tersendiri dalam perjuangan menuntut yang namanya keadilan dan api perlawanan akan tetap menyala dan menyala selama keadilan belum ditegakkan.

Merawat ingatan dalam aksi kamisan

Hari kamis adalah hari pengharapan bagi para pejuang yang selalu menyuarakan kebenaran, sejak 2007 para keluarga korban, dan orang-orang yang peduli terhadap pelanggaran HAM di Indonesia menggelar aksi kamisan di depan istana merdeka Jakarta.
Mereka menuntut atas kasus pelanggaran HAM dan mendorong pemerintah untuk menuntaskan, dan meminta pertanggungjawaban negara dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Sejak berdirinya aksi kamisan sampai sekarang sudah menyebar di beberapa kota termasuk di Yogyakarta dengan menyuarakan hal yang sama tentang tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tanjung Priok dan tragedi 1965, dan kasus-kasus kekerasan yang lainnya yang masih berlangsung ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penyebaran aksi kamisan ini pun mendapatkan rintangan tersendiri dari para pegiat kamisan, karena beberapa kota mengalami tindakan represif dari pihak aparat, bahkan sampai dilarang. Sehingga aksi kamisan yang harus dilakukan tiap kamis mulai vakum. Seperti aksi kamisan di kota solo yang baru dua sampai tiga tahun saja mereka bertahan setelah itu pudar kembali.
Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman pegiat aksi kamisan solo mereka sering diinteli oleh pihak aparat negara, kadang mereka juga diintrogasi dan juga dipersulit dengan menanyakan surat pemberitahuan aksi, padahal aksi kamisan adalah aksi diam, dengan hanya berdiri dan membawa poster. Mereka tidak melakukan tindakan anarkis ataupun mengganggu masyarakat setempat. Ini menandakan bahwa pemerintah mengalami ketakutan atas dosa-dosa yang mereka perbuat diketahui oleh masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Aksi kamisan juga sebagai gerakan yang mengisi kekosongan pada gerakan-gerakan mahasiswa, yang hanya menunggu momen saja ketika ada isu yang viral baru turun aksi ke jalan. Tidak ada gerakan yang tabah dan sesabar seperti aksi kamisan, sepanjang sejarah gerakan yang ada di Indonesia. Saya baru melihat gerakan yang begitu konsisten untuk tetap selalu berdiri tiap hari kamis. Terkadang saya juga bertanya-tanya dalam diri? Kenapa mereka sekuat itu dan sesabar itu untuk menunggu sebuah jawaban atas ketidakadilan yang ada di negara tercinta kita ini.
Menemukan jawaban itu memang sulit, ketika kita tidak ikut merasakan dan ikut terlibat berjuang bersama mereka dan hanya merekalah yang tahu jawaban itu. Tapi yang jelas mereka akan terus berdiri dengan poster-poster para korban selama kebenaran dan keadilan belum menyentuh para korban kekerasan yang dilakukan oleh negara.
ADVERTISEMENT