Oligarki Menjerat Keberlangsungan Lingkungan Hidup

Abdurrahman
Sedang menempuh pendidikan di universitas widya mataram yogyakarta. Mengambil jurusan adminitrasi publik, fakultas fisipol. Menjabat sebagai presiden mahasiswa univerisitas widya mataram yogyakarta periode 2022-2023 dan periode sekrang 2023-2024.
Konten dari Pengguna
4 November 2023 10:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Satpol PP membubarkan aksi aktivis Greenpeace Indonesia saat menggelar kampanye tanpa oligarki di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Jumat (6/10/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Satpol PP membubarkan aksi aktivis Greenpeace Indonesia saat menggelar kampanye tanpa oligarki di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Jumat (6/10/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagian belahan bumi yang sangat luas telah berubah mejadi medan peperangan dahsyat. Jutaan spesies sedang dimusnahkan di planet kecil ini. Sementara orang-orang miskin dicerabut dari tempat asalnya dan dipindahkan secara paksa. Lebih dari itu, mungkin sudah tak terhitung lagi jumlahnya sepanjang sejarah umat manusia, orang-orang disisikan demi kelancaran proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh oligarki dan bank dunia. Bahkan, di Indonesia beberapa rencana proyek semacam itu telah kita rasakan di berbagai daerah.
Upaya penggusuran akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat indonesia dan pemerintah, terlebih di daerah rempang, Wadas, Kaliprogo, Kalimantan Timur, dan masih banyak lagi masalah yang merampas keberlangsungan hidup rakyat.
Kita bisa melihat penggusuran di Rempang menyisakan sejumlah tanda tanya bagi kita semua, apakah negara masih lapar dan haus sehingga tanah-tanah yang harusnya dimiliki rakyat dijual demi kepentingan korporasi. Sejumlah permasalahan menjadi dasar pertanyaan mengapa negara selalu mencekik rakyatnya demi kepentingan para oligarki.
ADVERTISEMENT
Jika saja pembangunan menempatkan manusia sebagai tujuan mungkin tidak ada lagi manusia yang kehilangan lahan untuk bertani,pohon-pohon untuk memberi oksigen dan air yang mengalir di sungai sebagai penghidupan. Namun dalam sejarah pembangunan kita tidak pernah melihat pembangunan yang tidak merusak lingkungan, merampas lahan petani, menebang pohon dan mencemari air. Mungkin kebalikan dari semua itu kita akan temukan dalam dongeng-dongeng para dewa yang terlalu banyak berangan-angan.
Indonesia harus belajar pada negara negara lain seperti thailand forum rakyat tahun 1991 memperlihatkan, perubahan ekologis, sosial, dan ekonomi yang sangat besar dan membuat sumber tanah subur jatuh dalam eksploitasi besar-besaran demi tujuan ekspor. Pendudukan tanah-tanah negara untuk kepentingan “pembangunan” skala terbesar selama dua dekade terakhir telah menciptakan jutaan petani menjadi petani tak bertanah.
ADVERTISEMENT
Di Kalimantan bisa jadi akan seperti itu bila pembangunan IKN terus dijalankan. Masyarakat di sana akan mengalami pengeksploitasian besar-besaran, bukan saja pada masyarakat namun juga akan berdampak pada penghuni yang mendiami tempat itu seperti flora dan fauna yang akan menjadi terancam keberlangsungan hidupnya. Belum lagi tanah-tanah yang dulu subur akan mengalami kerusakan akibat pegundulan hutan.
Saya teringat ungkapan Nirendra Nirau, seorang wartawan India:
Saya membayangkan wajah indonesia ke depannya akan Seperti di negara-negara yang telah di kuasai oleh pembangunan, jika tidak dibatasi pembangunan yang merusak lingkungan hidup yang masuk di wilayah-wilayah nusantara. Sebab keadaan di beberapa lokasi pembangunan hampir menimbulkan kerusakan bahkan akan mengalami kehancuran.
ADVERTISEMENT

Terjebak oleh negara-negara maju

Kita harus benar-benar serius dalam penanganan kasus dan mampu memutus rantai impunitas terhadap kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi. Perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam konteks konsesus politik global memiliki lintasan tonggak sejarah yang bertahap dan dinamis. Secara lebih jelas baru dimulai pada abad ke-20.
Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya perjanjian-perjanjian baik bersifat bilateral maupun multilateral tentang perlindungan terhadap lingkungan hidup yang disepakati oleh negara-negara di dunia. Perjanjian-perjanjian tersebut pada umumnya dipelopori oleh negara maju dan kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang, meskipun tak jarang disepakati dengan setengah hati.
Sebab adanya perbedaan kepentingan antara kelompok negara-negara maju dan kelompok negara-negara berkembang, terutama dalam hal penempatan prioritas antara perlindungan lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, perkembangan industrialisasi dan pemanfaatan sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Ketika negara-negara maju telah mengalihkan prioritasnya kepada masalah perlindungan lingkungan hidup, negara berkembang masih harus memikirkan usaha-usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan industrinya yang tentunya meminta “pengorbanan” di bidang-bidang lain, termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup.
Menarik dari belakang terkait pemikiran mengenai perlindungan lingkungan hidup secara formal baru dimulai pada tahun 1930-an. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya “the 1933 london convention relative to the preservation of fauna and flora in their natural state”. Meskipun konvensi ini hanya bermaksud untuk diberlakukan di wilayah afrika, akan tetapi hal ini dapat tonggak penting telah dimulainya suatu gerakan perlindungan yang nyata terhadap lingkungan hidup.
Esensi kehidupan manusia turut ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang baik sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 yang mengatur hak untuk hidup dalam Ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara tegas juga termaktub dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup Nomor 32/2009.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam Konstitusi Pasal 28H menyatakan, hak fundamental tersebut sebagai hak konstitusional rakyat. Dan hak fundamental tersebut dari hari ke hari semakin mengalami degradasi, karena lemahnya negara melakukan kewajiban konstitusinya, dan tunduk pada kuasa korporasi.

Negara lemah di hadapan ekonomi dan politik

Mengapa negara begitu lemah melindungi rakyatnya dari serangan non state actor, khususnya entitas korporasi? Politik hukum memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan ekonomi politik, di mana aparat penegak hukum, termasuk lembaga pengadilan tidak bisa lepas dari dominasi kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan korporasi, bahkan telah melampaui kekuasaan negara.
Seperti ada negara dalam negara dan bahkan mampu mengatur negara. Agenda demokrasi seperti pemilu pun dibajak. Bahkan kolaborasi kekuatan ekonomi dan politik belakangan, telah berupaya melakukan upaya sistematis untuk meluluhlantahkan sistem hukum kita. Percobaan penghancuran sistem hukum dilakukan, khususnya dalam kerangka penegakan hukum lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ketika politik hukum berjalan untuk kepentingan korporasi, maka dampak yang dipastikan antara lain tidak terlindunginya keselamatan warga negara. Pencemaran dan bencana ekologis sepanjang tahun, mengorbankan jutaan jiwa sebagai pengungsi ekologis setiap tahunnya.
Konflik dan sengketa terbuka terkait penguasaan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kekayaan alam sebagai aset produksi rakyat. Terancamnya hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat yang minimal sama dengan generasi sebelumnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhir tahun 2018 melaporkan 2.426 peristiwa bencana terjadi di Indonesia, dan sebagian besar masih didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung dengan korban jiwa mencapai ribuan orang. Berbagai fakta krisis dan kerusakan lingkungan hidup dan kemanusiaan di Indonesia yang terjadi hingga hari ini, telah menyebabkan kemiskinan, kehancuran ekologis dan praktik kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia di hampir setiap jengkal tanah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kehancuran ekologis semakin besar terjadi karena bersekutunya elite kuasa negeri dengan para kuasa modal. Sementara risiko kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya aset-aset untuk keberlangsungan hidup harus ditanggung oleh rakyat, khususnya perempuan sebagai bagian dari kelompok yang rentan.
Kejahatan korporasi semakin menancapkan kuku-kuku dominasinya, pembangkangan dilakukan secara sistematis oleh kuasa korporasi, demokrasi dikooptasi. Pada ujungnya bangsa ini menghadapi situasi darurat ekologis, dengan rentetan bencana ekologis yang menurunkan kualitas hidup manusia, dan pada akhirnya menurunkan esensi sebagai manusia.