Konten dari Pengguna

Pemilu dari Rakyat untuk Elite dan Oligarki

Abdurrahman
Sedang menempuh pendidikan di universitas widya mataram yogyakarta. Mengambil jurusan adminitrasi publik, fakultas fisipol. Menjabat sebagai presiden mahasiswa univerisitas widya mataram yogyakarta periode 2022-2023 dan periode sekrang 2023-2024.
26 September 2023 14:13 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sebentar lagi kita akan menyelenggarakan pemilu, seperti biasa kita lakukan dalam lima tahun sekali. Kita yang seolah-olah merayakan pesta tanpa panggung, tanpa tahu letak dapur dan tanpa tahu mengelola bumbu, yang akhirnya kita santap saja yang kemudian kita mencret setelah itu.
ADVERTISEMENT
Seperti potongan syair wiji thukul bahwa pemilu yang membuat kita pilu, yang hanya mengumpulkan suara saja pada saat pemilihan. Tidak ada pukulan yang menyakitkan selain dari perayaan pemilu, semua akan dipukul untuk lima tahun ke depan dan tidak ada yang berubah. Miskin tetap akan miskin, uang kuliah tetap akan mahal dan pengeploitasi alam akan terus tumbuh berkembang di seluruh pelosok indonesia. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari mereka yang merayakan semua kejahatan yang sistematis ini.
Konon katanya Pemilu pada dasarnya, merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang lebih stabil dan efektif, dan pemilu juga merupakan suatu instrumen bagi masyarakat untuk memilih wakil-wakil mereka di dalam parlemen. Dari beberapa kali kita melakukan pemilihan umum masyarakat hanya di manfaatkan saja sebagai instrumen ataupun alat mereka untuk mencapai kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang kita gaungkan dan menganggap itu adalah sistem yang baik dibandingkan sistem yang lain justru sangat keliru. Karena dalam terapannya sistem demokrasi kita bukanlah sistem demokrasi yang benar-benar ideal, melainkan sistem demokrasi yang mempehalus jalan para elite untuk bersekutu dengan para oligarki.
Pertanyaannya, apa kita benar-benar negara berdemokrasi? atau negara kita yang sebenarnya hanya milik minoritas yang berkuasa, oligarki dan kroni-kroninya. Mengapa demokrasi yang dianggap sistem terbaik dari yang ada kerap kali terjatuh pada kekeliruan yang sama? Ada banyak penjelasan yang bisa kita ambil sebagai bahan argumen seperti Para filsuf, sejak lama mencurigai demokrasi, misalnya plato sebagai salah satu menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang ideal, melainkan sebuah sistem politik yang memberi jalan bagi tirani untuk berkuasa.
ADVERTISEMENT
Argumen plato sangat sederhana, masyarakat secara alamiah terpolarisasi, antara yang kaya dan miskin, yang terdidik dan terbelakang, yang kuat dan lemah. Dengan demokrasi, orang-orang kaya, pintar, dan kuat akan menggunakan mereka yang miskin, bodoh, dan lemah untuk memobilisasi kekuatan.
Bukan hanya plato saja, ada beberapa filsuf besar dan kaum tercerahkan di Eropa meragukan demokrasi. misalnya, Voltaire, Friedrich Nietzsche, dan Carl Schmitt di antaranya. Voltaire menganggap demokrasi sebagai sistem yang hanya memanjakan ego liar manusia. Baginya, sistem yang ideal adalah monarki konstitusional, dan seorang diktator tercerahkan lebih baik ketimbang pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Dengan segala kritik dan peringatan para filsuf itu, mengapa demokrasi tetap menjadi pilihan banyak negara? Mengapa banyak masyarakat di dunia berusaha memperjuangkan demokrasi meski tantangannya begitu besar? Kita tentu masih ingat bagaimana rakyat Mesir berjibaku, turun ke jalan berminggu-minggu, demi meraih demokrasi, meskipun kemudian gagal. Kita juga masih ingat pengalaman kita sendiri, menjatuhkan Soeharto, mereformasi sistem, dan bersusah payah merawatnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun kita tahu diluar kepala bahwa politik tidak mengenal musuh atau kawan abadi. Selama kepentingan saling bersinggungan, mereka yang tidak terduga atau bermusuhan bisa menjadi satu kapal dan itu bisa kita melihat kemesraan antara jokowi dan prabowo sekarang.
Pemilu yang ditunggangi kepentingan oligarki akan menciptakan anomali politik yang berdampak pada sektor yang menguntungkan oligarki itu sendiri. Oligarki akan menanam saham melalui dana kampanye saat pemilu dan menerima kompensasi berupa dividen politik dan hal itu tidak bisa dipungkiri di indonesia saat ini, yakni kebijakan yang menguntungkan bisnis korporasi.

Kembali menanyakan integritas KPU

Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas. Hasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya ‘trust’ masyarakat terhadap para pemimpin. Hasil pemilu yang tidak ada ‘trust’ dari masyarakat memunculkan oligarki yang membajak kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Integritas penyelenggara pemilu merupakan pemilu yang berdasarkan atas prinsip demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik seperti yang dicerminkan pada standar internasional dan perjanjian, profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dan tantangan utama pemilu berintegritas pengelolaannya melalui siklus pemilu.
Peneliti CSIS indonesia arya fernandes pemilu yang berintegritas dapat didasarkan pada konsensusnya internasional dan norma-norma yang disepakati di tingkat global. Salah satu norma tersebut yaitu standar minimal pelaksanaan proses pemilu yang demokratis serta memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kandidat dan partai yang maju dalam pemilihan. Kalau penyelenggara pemilu memiliki integritas yang baik maka demokrasi akan membaik dan kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu juga akan baik pula.

Demokrasi dalam ancaman oligarki

Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Dalam asal usul demokrasi kita menemukan bahwa tujuan-tujuan tatanan politis adalah perdamaian dan keadilan, dan bahwa demokrasi adalah rezim yang cocok untuk mencapai tujuan. Dan satu-satunya jalan keluar yang logis adalah mengansumsikan dan kemudian memverifikasikan bahwa demokrasi sebagaimana segala sesuatu yang ada, menurut kondisi-kondisi kemungkinan tertentu bagi eksistensi penyebarluasan dan pemekarannya.
ADVERTISEMENT
Plato menyebutkan kondisi-kondisi ini “kausa-kausa pendukung”. Tanaman, misalnya membutuhkan kondisi-kondisi tertentu dalam hal suhu dan kelembaban. Mungkin, begitu pula demokrasi kita yang sangat kolot dan menempatkan sesuai dengan kepentingan elite dan oligarki itu sendiri.
Saya teringat kembali gagasan hatta bahwa demokrasi menurutnya berdasarkan kebiasaan masyarakat desa yang mengedepankan musyawarah, mufakat, rapat dan gotong royong. Namun, gagasan hatta mengenai sistem demokrasi ini ditolak dikarenakan tidak sesuai dengan keadaan di indonesia.
Dalam perkembangan demokrasi di indonesia, mengalami tekanan dan ancaman dari elite dan oligarki sehingga mengalami kebablasan dan superliberal yang akhirnya membuat demokrasi kita ditentukan oleh elite-elite yang berkuasa. Bisa kita lihat di penetapan presidential threshold yang mengharuskan 20% untuk bisa dikatakan sebagai sarat pencalonan presiden. Ini saya bisa katakan salah satu permainan elite yang mencoba mengeklusifkan pencalonan.
ADVERTISEMENT
Walaupun pada dasarnya tidak seorang pun yang mengetahui masa depan demokrasi, namun, setidaknya yang bisa kita lakukan hanyalah memperkirakan peluang-peluang demokrasi untuk ke depannya. Walaupun saat ini kita mengetahui demokrasi telah di goyang sampai ke akar-akarnya. Pendekatan yang paling sederhana dan meyakinkan adalah dengan mengamati tiga kondisi kemungkinan yang pertama bagi demokrasi secara beberurutan dan memperkirakannya. Misalnya, di dunia lama demokrasi model paleolitik, kesukuan, kuno, dan abad pertengahan dan modern menuntut sistem transpolitis, oligopolar, dalam satu permainan.
Pemilu sejatinya merupakan agenda untuk memperbarui kontrak politik antara elite politik yang menjadi wakil dengan konstituen. Dalam Pemilu rakyat ingin memastikan bahwa kuasa yang hendak diberikan kepada sang wakil sungguh-sungguh menjadi representasi dari kehendak rakyat yang diwakili. Pemilu merupakan isu konstitusional, bukan sekadar isu legislasi maupun persoalan teknis semata-mata.Konstitusi mengatur eksistensi Pemilu dalam undang-undang pemilu
ADVERTISEMENT
Pendapat yang mengemukakan bahwa pendanaan kampanye Pemilu terlalu longgar sejatinya terbantahkan dengan melihat relatif lengkapnya pengaturan mengenai dana kampanye dalam UU pemilu maupun yang diatur khusus oleh komisi pemilihan umum. Namun, praktik politik uang masih selalu menjadi bagian dari siklus pemilu di indonesia yang seringkali mencoreng wajah sistem pemilu di indonesia. Perlu dianalisis bagaimana memetakan siklus politik uang tersebut dan langkah-langkah yang dinilai efektif untuk mengatasinya.
Robert Michels, seorang sosiolog politik jerman pada paruh pertama abad 20, menulis tentang Hukum Besi Oligarki (Th e Iron Law of Oligarchy). Para teoritis ada yang menafsirkan bahwa Michels menulis konsep itu karena terinspirasi oleh gagasan Max Weber tentang The Iron Cage of Bureaucracy. Pada intinya Michels hendak menyampaikan bahwa siapa pun dapat menjadi elite kekuasaan tertentu bila iya dapat diterima dan menyesuaikan diri dengan para oligarki yang menguasai struktur kekuasaan organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT

Bagaimana elite dan oligarki menguasai ranah pemilu

Semenjak membuka pintu sistem demokrasi, para elite dan oligarki melancarkan gerakan manipulasi dan mendominasi, sehingga menarik mundur demokrasi dengan perilaku elite menjadikan pemilu sebagai ”pasar” di mana tawar-menawar seperti barang dagangan, dalam pemilu sangat jelas sekali. Kolaborasi antara elite dan oligarki sangat terlihat jelas, di mana oligarki membiayai elite dan elite akan menggerakkan demokrasi sesuai dengan keinginan kelompok mereka.
Berbagai cara mereka akan melakukannya demi mendapatkan kekuasaan dan menambah keuntungan yang sangat besar, hampir semua capres atau pun wakil-wakil rakyat yang ada di parlemen terjerat oleh oligarki yang membiayai mereka untuk mencapai tujuan, dan ketika mereka berhasil, maka sebagai balas “utang” oligarki-oligarki ini akan menaruh kebijakan-kebijakan dalam bentuk undang-undang yang bisa menguntungkan mereka seperti mempermudah mereka dalam pembukaan lahan atau pun pengeploitasi alam.
ADVERTISEMENT
Pengaruh elite dalam pemilu semakin mendominasi dari mulai tata cara pencalonan sampai pemilihan serta kebijakan-kebijakan tentang pemilu, dan masyarakat hanya sebagai alat mereka untuk melegitimasi menuju kekuasaan.
Peluang dominasi dari kelas penguasa terhadap kelas yang dikuasai gaetanon mosca dalam karyanya yang terkenal The Rulling Class menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk. Satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli, kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama.
Kekuasaan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang inilah yang mengakibatkan kemunduran demokrasi dan kekuasaan tidak untuk melayani rakyat. Dalam dunia elite dan oligarki kekuasaan hanya berlaku untuk diri sendiri dan kelompoknya saja.
ADVERTISEMENT