Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Modernisasi Pendidikan Karakter Pesantren
28 April 2025 14:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abdurrahman Ad Dakhil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pesantren selalu dianggap berbeda dengan lembaga pendidikan konvensional di Indonesia. Pesantren disebut juga sebagai benteng pertahanan perbaikan akhlak bangsa. Secara historis, pesantren merupakan produk Indonesia yang lebih dari tiga abad berada di Nusantara. Sebut saja salah satu pesantren terkenal di Cirebon, Jawa Barat yakni Pesantren Babakan Ciwaringin yang didirikan sejak awal abad ke-18.
ADVERTISEMENT
Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan keilmuan Islam. Seiring berkembangnya zaman, pesantren memiliki corak khusus yang berbeda yaitu pesantren salaf dan modern. Sementara, pesantren modern baru lahir pada awal abad ke-20, di antaranya ialah Pesantren Parabek di Sumatera Barat dan Pondok Modern Darussalam Gontor di Jawa Timur.
Perbedaan tersebut sejatinya merujuk pada sistem kurikulum pengajaran di dalam pesantren, sedangkan esensi utama penyelenggaraan pendidikan Islam tetap sama di bawah satu kepemimpinan yang disebut sebagai kyai, dan menggunakan rujukan pengajaran dari beberapa kitab klasik karya para ulama terdahulu.
Sebagaimana dinyatakan di awal, bahwasanya tujuan utama penyelenggaraan pendidikan di pesantren adalah pembentukan akhlak anak bangsa, yang selanjutnya saya sebut dalam tulisan ini sebagai karakter.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum munculnya Undang-Undang Dasar 1945 yang merumuskan pentingnya pendidikan sebagai pembentuk karakter anak bangsa, pesantren telah menciptakan embrio pemikiran tersebut, bahkan lebih holistik. Misal, konsep memuliakan ilmu dan guru menjadi tiang pancang eksistensi pesantren.
Dari perilaku membaktikan diri pada ilmu dan guru, maka secara langsung akan mengajarkan kepada tiap individu agar bersikap santun dan lembut serta menjauhkan pikiran dari hal negatif. Sebab, karakter yang baik itu lahir dari penjagaan diri dari segala hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dekadensi Moral
Indonesia patut berbangga karena memiliki pesantren yang banyak jumlahnya. Tercatat, menurut pernyataan Kemenag pada tahun 2024, jumlah pesantren mencapai angka 41.220 (Antara News, 29/8/2024), dan jumlah tersebut akan terus bertambah. Namun, di sisi lain justru karakter anak bangsa mengalami kemerosotan. Sepanjang awal tahun 2025 saja banyak peristiwa kenakalan remaja dan siswa mulai dari perundungan hingga pembunuhan yang tidak sesuai dengan prinsip karakter mulia.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di sana, bahkan aksi perundungan juga terjadi di lingkungan pesantren yang notabene sebagai bengkel karakter anak bangsa. Lantas apakah sistem pendidikan pesantren yang salah atau kualitas warga pesantren yang susah dibina?
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arfah dan Wantini terhadap kasus ini, terdapat beberapa faktor penyebab di antaranya individu itu sendiri, keluarga, sosial ekonomi, dan media sosial (Arfah dan Wantini, 2023). Menurutnya, peserta didik yang menjadi pelaku perundungan merasa memiliki kuasa yang lebih dibanding temannya, sedangkan korban merasa harga dirinya rendah. Selain itu, pengaruh tontonan juga menjadi motivasi anak untuk meniru perbuatan serupa.
Pesantren sejatinya telah menyiapkan sistem kurikulum yang memuat materi untuk pembentukan karakter, bahkan langsung bersumber dari kalam ilahi dan tuntunan nabi. Namun, yang namanya sistem buatan manusia pasti memiliki kekurangan dan celah.
ADVERTISEMENT
Kualitas warga pesantren dalam menjalankan proses pembelajaran juga perlu diperhatikan. Tidak hanya peserta didik yang perlu dibina, dewan guru juga perlu diarahkan agar mampu berperan optimal sebagai pengajar sekaligus pemberi teladan.
Santri umumnya termasuk kalangan remaja yang memasuki fase perkembangan dan pencarian jati diri. Mereka senantiasa akan menyerap energi dari lingkungan sekitar dan meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, fungsi guru tidak hanya mengajar tetapi juga menjadi teladan.
Modernisasi Sistem
Sebagai santri dan pengajar di pesantren, saya sadar betul bahwa sistem pendidikan di pesantren perlu ada pengembangan. Bukan berarti kita meninggalkan sepenuhnya kurikulum yang telah lama ditetapkan, tetapi perlu adanya penambahan kuantitas materi sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Dalam teori fiqh terdapat prinsip yang masyhur berbunyi “Menjaga warisan klasik yang baik serta mengadopsi inovasi baru yang berkemajuan”. Begitu juga dalam pesantren harus siap menerima perkembangan yang ada, meski ada sedikit perubahan yang berarti.
Dari segi referensi, kitab-kitab pendukung pelajaran akhlak di pesantren, baik salaf maupun modern saat ini masih didominasi oleh karya ulama klasik yang relevan pada zamannya. Meski demikian, ada juga topik pembahasannya yang masih cocok dipakai untuk era terkini. Contoh Kitab Ta’lim al-Muta’allim, Nashaih al-‘Ibad, Adab al-Insan, al-Akhlaq lil Banin, al-Akhlaq lil Banat, dan lain-lain.
Namun, perlu disadari bahwa perilaku manusia akan mengikuti zamannya. Dalam hal ini, sebaiknya pesantren yang ada turut menambahkan referensi pendukung dari buku kontemporer yang ditulis oleh para ahli. Misal Buku Materi Pendidikan Karakter: Pegangan Guru dan Orang Tua karya A.M. Mangunhardjana, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi karya Henri Gunawan, dan The 7 Habits of Highly Effective Teens karya Sean Covey.
ADVERTISEMENT
Selain itu, muatan psikologi khusus pesantren juga harus dimasukkan karena mempunyai sudut pandang yang lebih tajam dari pada psikologi pendidikan umum. Tentunya yang dapat menelaah kondisi psikologis pesantren secara holistik harus pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Salah satu yang cukup membantu proses konseling pesantren di media sosial yaitu Shaila Hanifah Zainab. Konten edukasinya di Instagram cukup mencerahkan dan dapat menjadi alat bantu guru dalam mendidik santri di lingkungan pesantren.
Basis konseling dirasa wajib dimiliki bagi masing-masing guru pesantren, sebab mereka akan dihadapkan dengan permasalahan santri yang kompleks dan hidup bersama 7 x 24 selama bertahun-tahun.
Modernisasi sistem kurikulum pesantren demikian diharapkan mampu membantu mengatasi munculnya permasalahan kenakalan anak usia remaja. Tentunya dengan kesadaran ini, maka tidak akan ada yang saling menyalahkan. Sebaliknya, yang ada justru saling mendukung dan percaya bahwa pesantren tetap menjadi benteng pertahanan akhlak bangsa, meski terpaksa menjadi benteng terakhirnya.
ADVERTISEMENT