Iklanisasi Caleg: dari Banner Turun ke Hati?

Abdurrahman Al Rasyid Hasibuan
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
19 Januari 2024 15:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdurrahman Al Rasyid Hasibuan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera partai di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera partai di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mendekati konstelasi pemilu 2024, beragam cara calon legislatif (Caleg) maupun calon presiden/ wakil presiden (capres/cawapres) melakukan kampanye demi menggaet hati masyarakat. Iklanisasi pun dilakukan dengan berbagai cara, baik cara-cara konvensional seperti pemasangan spanduk, baliho, billboard di tempat strategis, maupun cara-cara digital seperti foto/video kampanye di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kampanye digital sudah sangat canggih di tengah era dispruptif saat ini. Era digital begitu memusingkan kepala, karena perlu analisa yang cukup membedakan mana yang benar, mana yang hoaks. Mana yang substansi, mana yang sensasi, mana gagasan yang keren, mana yang sentimen. Lupakan dulu masalah ini.
Saya mencoba melihat lebih jauh kampanye konvensional. Bagaimana pun juga, model kampanye inilah yang bergerak dan mewarnai lapangan. Salah satunya ialah pemasangan spanduk, baliho, atau banner secara masif dan menyebar.
Sebagai pengguna jalan misalnya, yang sehari-hari melintasi jalan dengan melihat muka caleg di tepi jalan, tentu akan muak. Tetapi pertanyaan ontologisnya adalah apakah kampanye konvensional ini masih relevan dan efektif? Mengingat biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Caleg DPRD kota misalnya, setidaknya harus menyiasati pemasangan banner di tiap titik dapilnya. Begitu juga Caleg DPRD Provinsi yang terdiri dari beberapa dapil, apalagi DPR mewakili titik seluruh provinsi.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya ada sedikit cerita sewaktu pengalaman sebagai surveyor. Ada satu perumahan yang warganya cukup padat, saking padatnya ada 2 RW di sana. Mulai saya masuk gerbang perumahan, dan menyisiri tiap gang-gang perumahan ada fenomena yang tak biasa.
Hampir di beberapa rumah warga dan warung-warung, ada satu spanduk caleg yang dominan, sebut saja Caleg A. Ternyata caleg tersebut tinggal di perumahan itu. Mulailah saya mendatangi responden dan bertanya. Saya menduga dari awal, berdasarkan pemasangan spanduk di sejumlah titik perumahan, setidaknya satu atau dua orang kalau ditanya minimal yang dia kenal Caleg A dan punya keputusan besar memilih calon tersebut.
Sejumlah bendera partai politik (Parpol) terlihat terpasang di Jalan Layang MT Haryono, Cawang, Jakarta, Rabu (17/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ternyata tidak sesuai ekspekasi saya, dari jawabannya terlihat ia masih swing (abu-abu) bahkan untuk memilih partai saja berbeda dengan Caleg A. Sedikit nakal saya menimpali, “kenapa tidak memilih Caleg A saja pak?” dia pun masih ragu dengan pertanyaan saya. Saya pun memberi kode “itu pak yang banyak spanduknya..” ternyata dia beralasan bahwa Caleg A belum memperkenalkan dirinya ke warga khususnya lingkup RT si responden. Ternyata, iklanisasi setingkat perumahan saja tidak menyentuh hati warga secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan lain, ada kasus menarik. Sebut saja Caleg B. kasus ini mirip seperti kasus pertama, Caleg B ini hanya berjarak 5 langkah dari rumahnya. Seperti lagu Ayu Ting-Ting, "Calegku memang dekat, lima langkah dari rumah". Namun, tidak seindah nyanyian Ayu, responden ini malah tidak memilih Caleg B tersebut dan posisinya masih dibilang swing voters. Ternyata ia beralasan bahwa Caleg B tersebut kurang akrab dengan tetangganya sendiri.
Dari kasus di atas, tampaknya iklanisasi konvensional belum memberikan dampak yang signifikan jika tidak dilakukan pertemuan-pertemuan tatap muka dengan warga. Bahkan, Caleg yang tinggal di lingkungan yang sama saja, belum tentu mau memilih jika belum terbangun suasana keakraban/ sosialisasi terhadap visi-misinya. Belum lagi design spanduk yang monoton, belum menyentak di ingatan orang yang melihatnya.
ADVERTISEMENT
Daripada memboroskan anggaran kampanye, para Caleg mestinya melakukan trobosan baru untuk menarik hati masyarakat. Beberapa cara mungkin bisa dilakukan.
Pertama, memperbanyak kampanye pertemuan tatap muka langsung ke warga. Kedua, membangun jaringan akar rumput mulai tiap kecamatan, kelurahan, RW, dan RT. Pada puncaknya yaitu jaringan per TPS. Ketiga, mengedepankan kampanye untuk mengeruk suara pemilih pasti (strong voters) ketimbang pemilih abu-abu (swing voters). Karena pada akhirnya, rakyat akan memilih dari hati mereka. Sesuatu yang berasal dari hati akan lebih mudah diterima ke hati.