Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Membaca Polarisasi Kubu Pilpres 2024
21 Januari 2024 13:40 WIB
Tulisan dari Abdurrahman Al Rasyid Hasibuan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di dalam pemiihan calon presiden/ calon wakil presiden (Capres/ Cawapres), tentu tidak semua isi kepala orang sama. Jangankan memilih pasangan Capres/Cawapres, memilih pasangan hidup saja tidak semua orang punya kriteria sama dan itu subjektif. Ada banyak faktor dalam mengambil keputusan untuk memilih Capres/ Cawapres, misalnya faktor kesamaan ideologis, faktor matrealistis dengan adanya hubungan timbal-balik, faktor sosiologis, dan faktor intelektualitas seseorang.
ADVERTISEMENT
Faktor ideologis misalnya ideologi politik, idologi ekonomi, ideologi pendidikan, ideologi kesehatan, ideologi pertahanan, dan lain-lain. Gagasan besar seorang Capres/ Cawapres akan terlihat epistemologinya dari ideologi yang dianut. Sehingga seseorang cenderung akan memilih karena adanya kesamaan ideologi. Kemudian, faktor matrealistis, faktor ini sifatnya transaksional, yaitu adanya pertukan materi dengan pengaruh hak suara. Ini sering terjadi baik di kalangan elit politik, maupun kalangan sulit. Lalu, faktor sosiologis, faktor ini berkaitan erat dengan sosio-kultural, domisili, dan identitas di masyarakat. Misalnya orang Jawa akan cenderung memilih peminpin dari Jawa karena kesamaan identitas. Contoh lain, di suatu kawasan/ domisili tertentu mayoritas memilih calon tertentu, maka atas kecenderungan ini, keputusan memilih didasari karena kebanyakan orang.
Terakhir adalah faktor intelektualitas seseorang. Faktor ini bukan bagian dari faktor-faktor yang disebutkan di atas. Kelompok ini cenderung melakukan analisa berdasarkan kapasitas intelektualnya masing-masing. Sifatnya subjektif dan tidak dapat diukur. Setidaknya terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu rasioalis-kritis dan pragmatis. Kelompok rasional biasanya mereka mengedepankan gagasan/ ide sebagai alasan utama. Kelompok ini juga ditandai dengan kemampuan literasi yang baik dan kritis. Lain halnya kelompok pragmatis, mereka tidak menjadikan gagasan/ ide sebagai dasar pertimbangan utama, melainkan, melihat janji-janji atau program yang secara zahir tampak bermanfaat dan menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Dari narasi ke polarisasi
Membaca narasi-narasi yang berkembang di masyarakat penting untuk memetakan polarisasi di masyarakat.
Jika membandingkan Pilpres 2024 dengan pilpres sebelumnya yaitu pilpres 2014 dan 2019, terutama pilpres 2019. Telah terjadi polarisasi yang cukup tajam. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa desain dua calon telah memunculkan polarisasi sejak awal. Hal ini berbeda dengan pilpres yang diusung lebih dari dua calon, kecuali pada putaran kedua.
Pada pilpres 2019, polarisasi terlihat adanya dua kubu tajam sehingga memunculkan istilah –mohon maaf- yaitu “cebong dan kampret”. Dua istilah itu sebagai bentuk ejekan satu sama lain. Ditelusuri ternyata istilah tersebut berawal dari percakapan buzzer di media sosial. Terlihat polarisasi sentimen mewarnai pilpres 2019.
Begitu juga polarisasi atas sosiologis-religius sangat terlihat. Indonesia secara sosiologis, di mana masyarakatnya penganut Muslim terbesar di dunia, tentu rentan akan tindakan politisasi identitas untuk sekadar mencari suara. Jokowi mengambil Ma’ruf Amin sebagai Cawapres dari tokoh NU yang disegani. Sedangkan Prabowo didukung oleh Forum Ijtima’ Ulama (GNPF) yang juga mendukung Anies di DKI 2017. Sandiaga Uno juga tidak ketinggalan, Uno yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, disebut-sebut sebagai “santri milenial”
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada pilpres 2024, ada narasi yang cukup menarik dan berbeda dari 2019. Hal itu tak lepas dari dinamika perpolitikan setelah 2019. Misal ketika Prabowo yang menjadi lawan Jokowi 2 kali, namun masuk ke dalam pemerintahan Jokowi, diikuti pula dengan Cawapresnya yaitu Sandiaga Uno. Begitu juga keluarga Jokowi yang menarik diri dari PDIP. Surya Paloh yang mengusung calon sendiri yaitu Anies. Kemudian, bergabungnya PKB dan PKS dalam satu koalisi.
Narasi yang berkembang pada pilpres 2024 tidak lagi memainkan sentimen yang begitu dominan. Justru narasi yang berkembang baik dari Capres/Cawapres maupun pendukungnya adalah narasi tentang keberlanjutan pemerintahan sebelumnya atau melakukan perubahan pada pemerintahan sebelumnya. Pada aspek ini, pemerintahan sebelumnya memiliki posisi yang menentukan, inilah kemudian disebut “Jokowi Effect”, mengukur seberapa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi. Jika puas, apakah akan memilih kembali Jokowi atau orang yang dipilih Jokowi? Jika tidak puas, kemungkinan besar adalah kebalikannya yaitu tidak akan memilih kembali.
ADVERTISEMENT
Narasi keberlanjutan tampak diwakili oleh Capres Prabowo/ Gibran. Hal ini tampak dari narasi yang selalu digaungkan Prabowo. Terlebih lagi, menjadikan Gibran sebagai cawapres yang tak lain adalah anak kandung presiden yang masih berkuasa yaitu Jokowi. Berbanding terbalik dengan Capres Anies yang menjadikan perubahan sebagai kata kunci di setiap penyampaiannya. Adapun Capres Ganjar, menarasikan diri dengan sat-set atau cepat dan unggul. Namun, melihat fenomena akhir-akhir ini, agaknya lebih mengarah pada perubahan. Apalagi jika ada putaran kedua, maka kemungkinan besar hanya dua narasi saja yaitu melanjutkan pemerintahan atau melakukan perubahan.
Tampaknya, polarisasi yang terbangun saat ini cukup mengurangi tendensi sentimental yang signifikan. Perlu kiranya para elit mengajarkan pada pendukungnya perang gagasan bukan ngegas-ngegasan. Hal ini bukan saja akan berdampak baik pada kualitas demokrasi, tetapi sebagai pendidikan politik yang selama ini terabaikan. Begitu juga para pendukung, faktor apapun yang melatarbelakangi pilihan ke salah satu Capres/Cawapres, tidak perlu menarasikan kebencian kepada sesama. Para calon itu hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan dosa. Dinamika politik juga terus berkembang. Lawan bisa jadi kawan. Jangan karena urusan Capres/Cawapres pertemanan hancur, apalagi asmara sampai bubar.
ADVERTISEMENT