Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dana Desa Membuat Rakyat Menderita
1 Maret 2021 15:41 WIB
Tulisan dari Abdus Salam As ad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Benarkah Dana Desa itu membuat rakyat sejahtera? Atau justru membuat rakyat terluka?
ADVERTISEMENT
Pemerintah desa yang kokoh dan berdaulat menjadi media percepatan dalam melahirkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Itulah kira-akira argumentasi akademik yang dipelopori oleh Sutoro Eko melalui bukunya yang berjudul Desa Membangun Indonesia.
Semenjak UU Desa No 6 tahun 2014 dana Desa mengucur deras ke desa. Cita-cita luhur untuk mensejahterakan warga desa dan kemandirian desa tentu tidak bisa ditampik sebagai hasil ijtihad melalui regulasi desa. Meskipun faktanya tak semudah membalik telapak tangan.
Sampai detik ini, kucuran dana desa mencapai 187 triliun sejak 2015. Hal itu disampaikan Presiden Jokowi yang dilansir oleh https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-hasil-dana-desa-sejak-2015. Potensi kebocoran dan korupsi dana desa sangat memungkinkan bagi kepala desa bahkan perangkat desa.
Heri Indriyanto mantan Kepala Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk dijebloskan ke dalam tahanan oleh Kejaksaan akibat melakukan pengelembungan dana pembangunan jalan pada tahun 2017, sehingga negara merugi senilai 651 juta(13/3/20)
ADVERTISEMENT
Itulah salah satu bukti perilaku korup yang dilakukan oleh oknum mantan kades. Tidak bisa dimungkiri bahwa kebocoran dana desa seperti jamur di musim hujan. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait korupsi dana desa berjumlah 46 kasus di tahun 2019 di mana negara rugi 32.3 miliar
Mandat UU yang memposisikan kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran memberi ruang leluasa untuk menata pembangunan desa. Penataan pembangunan desa seringkali ditafsirkan oleh kepala desa dengan ikut terlibat langsung dalam penanganan kegiatan pembangunan yang ada di desa. Permendagri No 20 tahun 2018 yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan desa sangat jelas dan terinci. Sehinga tidak perlu diotak-atik agar kepala desa terlibat langsung dalam pembangunan desa yang akhirnya menabrak regulasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Mimpi Kesejahteraan
Tidak berlebihan bahkan menjadi keniscayaan bahwa UU desa memberi kedaulatan bagi desa untuk mempercepat kesejahteraan, kemakmuran bagi warga di desa. Pembangunan desa tak melulu yang ditampilkan pembangunan infrastruktur yang berkualitas tanpa dibarengi pembangunan SDM dan keterampilan warganya. Minimnya tenaga terampil di desa seringkali menimbulkan lonjakan kemiskinan. Perlu dipahami dan disadari pendekatan charity hanya menyelesaikan masalah tetapi menimbulkan masalah baru
Kesejahteraan masyarakat menjadi proyeksi utama dan pertama. Kebijakan yang partisipatif sebagai urat nadi dalam melahirkan dan menciptakan kesejahteraan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Dura (2016 ) dalam penelitiaanya. Dura berkesimpulan bahwa kesejahteraan itu berbanding lurus dengan akuntabilitas, pengelolaan keuangan alokasi desa, kebijakan desa dan kelembagaan desa.
ADVERTISEMENT
Cita-cita kesejahteraan masyarakat desa seringkali terhambat dan mengalami batu sandungan yang pelik lantaran pengelolaan keuangan desa kurang transparan. Bahkan semakin rumit dan sulit diurai manakala kelembagaan yang ada di desa seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sangat elitis dan tak mampu menerjemahkan dan memperjuangkan aspirasi dan derita warga di desa.
Kelembagaan yang ada di desa seperti menara gading yang tidak tahu persoalan yang menimpa warganya. Lembaga yang konon katanya representasi masyarakat desa justru dalam tataran praksisnya menjadi alat legitimasi pemerintah desa. Dan pada gilirannya, warga desa, keluh kesah dan deritanya tak menjadi perhatian serius oleh pemerintah desa. Lantas apa gunanya ada dana desa yang ratusan juta jika rakyatnya tetap miskin dan menderita
ADVERTISEMENT
Fakta itulah yang mendera Desa Kutorejo Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk sebagaimana dilansir oleh media online zonasatunews.com (16/2/21). Warga Desa Kutorejo harus menyingkir untuk berjualan di depan Ruko desa lantaran tak mampu menyewa ruko dengan harga melambung. Bahkan dengan alasan yang tidak realistis dan miskin nurani ada orang luar desa yang menyewa dengan harga lebih tinggi ketimbang warga kutorejo
Dana Desa (DD) dikucurkan dan mengalir deras ke desa tak berimplikasi terhadap kesejahteraan warga desa. Warga hanya diperbolehkan untuk bermimpi untuk sejahtera tetapi ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Pengelolaan keuangan desa dan kelembagaan desa yang tidak partisipatif dan tertutup menyumbang lahirnya kebijakan yang tidak memihak warganya. Elitis dan tidak aspiratif.
Sudah diingatkan oleh Daron dan Robinson dalam bukunya negara gagal. Bukunya yang analitis dan sangat lugas dalam menampilkan uraian dalam setiap kalimat, lembar demi lembar. Sulit diingkari, sebuah buku yang dihasilkan dari hasil penelitian panjang kurang lebih 10 tahun menceritakan bahwa negara gagal itu bukan lantaran SDM rendah, SDA yang miskin, atau negara karena terlalu banyak pulaunya. Ia menegaskan bahwa negara gagal karena tidak ada ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Tidak menutup kemungkinan hal itu bisa terjadi dalam pemerintahan desa. Desa akan gagal membangun desanya jika pemerintahan desa sudah terjangkit penyakit elitis, menggunakan kaca mata kuda dan gagal dalam menerjemahkan permasalahan yang menimpa warganya. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah desa tak mampu menyelesaikan dan menjawab permasalahan yang menimpa warganya.