Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Diklat Menulis Bikin Tidak Bisa Menulis
30 Maret 2021 14:39 WIB
Tulisan dari Abdus Salam As ad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, saya ikut pelatihan menulis artikel dan jurnal internasional di UGM. Waktu itu yang menjadi mentor Prof.Mudrajad Kuncoro. Peserta yang terdiri dari berbagai kampus se indonesia itu bertanya kepada Prof.Mudrajad, bagaimana cara bisa menulis dan menembus media massa. Spontan Prof. Mudrajad mengatakan, saya kadang bingung jika ditanya tentang caranya bisa menulis, ia hanya menyampaikan jika mau menulis, ya saya menulis saja tanpa berpikir panjang dan menunggu lama. Bahkan ia menyampaikan ada sepuluh guru besar di Jawa Timur tidak bisa menulis artikel di media massa
ADVERTISEMENT
Tahun 2003 lalu, awal saya mulai belajar menulis artikel. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengkliping berbagai artikel yang dimuat di koran waktu itu. Saya baca satu persatu tulisan yang dimuat di koran, paragraf demi paragraf, sampai menemukan inti dari tulisan dalam artikel tersebut. Lantas apa langsung menulis, tidak juga. Membaca berkali-kali kliping tulisan artikel tersebut justru berdampak buruk dan menurunkan minat untuk menulis. Saya hanya bergumam ternyata menulis susah.
Bagi sebagian orang, menulis bukan perkara sulit, tetapi juga bukan perkara mudah. Bagi penulis yang jam terbangnya sudah tinggi, mungkin tak akan pernah kehilangan ide apalagi mood untuk menulis. Membaca berita sudah muncul ide dan tema untuk menulis,menonton berita juga seketika itu terinspirasi untuk menulis. Tetapi bagi penulis pemula seperti saya, kopi sudah habis dan membuat kopi lagi masih belum menemukan ide dan mampu untuk menulis. Bahkan asap rokok mengepul dan habis puluhan batang paragraf pun tidak bisa bergeser. Dan pada gilirannya berhenti untuk tidak melanjutkan menulis.
Banyak Membaca
ADVERTISEMENT
Menulis dan membaca seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Mustahil penulis itu tidak membaca, baik membaca fenomena dan setumpuk literatur. Karena seringkali yang kita tulis itu bukan hal baru, hanya sudut pandang dan analisis yang berbeda. Hal itu sah-sah saja dan tidak melanggar kode etik dalam penulisan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Stephen King bahwa membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis. Membaca menjadi amunisi untuk mempermudah dalam meracik kata menjadi sebuah tulisan
Tentu belajar dan membaca biografi penulis yang banyak melahirkan karya menjadi salah satu penyemangat agar kita sebagai penulis pemula terus belajar untuk menulis. Kita bisa membandingkan para tokoh dengan karyanya yang lahir di zaman di mana fasilitas yang menunjang dalam dunia tulisan menulis tidak semudah saat ini.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja beberapa tokoh penulis zaman dahulu. Menuangkan idenya menjadi sebuah tulisan tak semudah saat ini. Dulu jika mau menulis harus menggunakan mesin ketik,menggunakan lampu penerang seadanya. Tetapi semangat menulis dan menyebarkan ide mampu mengalahkan fasilitas yang serba terbatas. Fasilitas minim bukanlah aral untuk menghentikan minatnya dan tetap produktif untuk menulis
Pramoedya Ananta Toer misalnya, menulis dengan menggunakan mesin ketik justru melahirkan karya monumental. Kadang fasilitas yang minim justru melahirkan karya brilian. Buya Hamka justru menuntaskan magnum opus-nya tafsir Al-Azhar justru dalam ruang yang pengap dan sempit di dalam penjara.
Diklat Menulis
Menulis itu keterampilan merangkai kata. Semakin sering menulis maka semakin enak dibaca tulisan itu. Sejatinya semua orang bisa menulis, minimal menulis status, menulis diary, atau menulis Skripsi sebagai syarat untuk memperoleh sarjana, Tesis untuk strata2 dan Disertasi untuk strata 3. Menulis karena terpaksa dan dipaksa oleh aturan di kampus. Toh, bisa menulis kan?
ADVERTISEMENT
Penulis terdahulu bisa menulis bukan lantaran ikut diklat menulis, atau kuliah di perguruan tinggi jurusan jurnalistik. Tetapi semangat menulis dilatari untuk menyebarkan ide perlawanan, menulis untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Meskipun berkali-kali bahkan 70 kali didiklat terkait tulis menulis, tetap saja tidak akan mampu dan bisa menulis, ungkap pegiat media Nasrudin Madas. Kenapa demikian, karena sibuk ikut diklat menulis tetapi tidak pernah praktik menulis
Hal yang sama dengan belajar teori berenang. Meskipun puluhan buku dilahap habis terkait teknik dan gaya berenang bahkan menonton Youtube tentang berenang, tetapi tidak pernah menyeburkan diri ke kolam renang atau nyemplung di dalamnya, sampai kapanpun tidak akan bisa berenang
Sekali lagi ingin menegaskan, bahwa diklat menulis itu hanya menjadi alat bantu untuk mengetahui hal teknis dalam penulisan, misalnya jika mau mengirim tulisan ke media massa, harus mengerti karakter media yang kita tuju. Bahkan hal yang bersifat administratif seringkali disampaikan dalam diklat menulis, membuat out line sebelum menulis sehingga tidak terjadi pengulangan kalimat dalam paragraf ke paragraf berikutnya.
ADVERTISEMENT
Syahdan, yang membuat kita bisa menulis itu bukan lantaran ikut diklat menulis. Tetapi yang membuat kita bisa menulis itu karena kita latihan menulis. Inilah yang disampaikan oleh sejarawan (alm) Kuntowijoyo bahwa syarat menjadi penulis itu ada tiga, menulis, menulis dan menulis.
Abdus Salam
Penulis adalah Direktur Kedai Jambu Institute (KJI) dan pengelola media PijarNews.ID
Live Update