Konten dari Pengguna

LBP dan Matinya Nurani Kemanusiaan

Abdus Salam As ad
Direktur Kedai Jambu Institute dan Dewan Etik PijarNews.ID
29 Mei 2020 14:13 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdus Salam As ad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi positif terkena virus corona.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di tengah kepanikan publik lantaran pandemi covid-19 dan terkaparnya rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Pernyataan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sungguh sadis. Bagaimana tidak, LBP menggunakan logika matematika terhadap jumlah nyawa yang melayang lantaran terkena covid-19. LBP menyatakan bahwa yang meninggal tidak sampai 500 orang dari jumlah penduduk 270 juta sebagaimana dilansir kumparan (14/3/20).
ADVERTISEMENT
Kalkulasi nyawa dan orang meninggal dinilai tidak signifikan bila dibandingkan dengan negara Amerika Serikat. Pernyataan itu nyata-nyata melukai hati rakyat, dan semakin menampakkan bahwa LBP adalah protipe elit politik yang tertutup mata hati dan nurani kemanusiaannya.
Baru –baru ini, LBP meracau kembali, ia mengatakan bahwa jumlah nyawa yang meninggal 20.000 itu dinilai masih wajar dan normal. Lantas berapa yang dinilai abnormal oleh mbah LBP ini.
Apakah menunggu jumlah korban seperti kekejaman Hitler yang menewaskan 60 juta orang Yahudi,5 juta nyawa melayang dari etnis non-Arya serta 50 juta orang meninggal dunia selama perang dunia II berlangsung. Atau LBP ini menilai bahwa korban sudah melampaui jika rakyat Indonesia meninggal melebihi atau minimal sama dengan jumlah korban pembataian pasca G30-SPKI.
ADVERTISEMENT
Meskipun data yang disuguhkan banyak versi, dari pihak Sintong Panjaitan sebagai mantan Kopassus menampik bahwa yang meninggal mencapai ratusan ribu jiwa, sementara komnas HAM mengatakan yang meninggal sekitar 5000-3juta orang. Tetapi versi tim pencari fakta korban mencapai 80 ribu jiwa, new York Times menulis dan menyimpulkan bahwa yang meninggal berkisar setengah juta orang (Tempo.18/4/16).
Tak bisa dibenarkan, bahkan mengiris luka rakyat saat LBP sebagai pejabat negara melontarkan pernyataan yang jauh dari sikap empati. Diam adalah emas ketimbang memberi pernyataan ke media yang membuat publik semakin panik dan sakit hati. Mulutmu harimaumu seolah mendapat ruangnya bagi politisi mantan tentara sekaligus pengusaha ini.
Tidak hanya LBP yang menggunakan logika tersesat mengenai jumlah nyawa yang melayang lantaran covid-19. Prof. Mahfud MD juga menegaskan apa yang disampaikan LBP. Mahfud MD mengatakan bahwa yang meninggal masih diambang batas normal, siapa yang tidak mengenal Mahfud MD, korban PHP dalam kontestasi politik menjelang pilpres dari 2014 sampai tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, publik sangat berempati kepada Mahfud MD yang selalu menjadi korban PHP oleh Muhaimin Iskandar dan Jokowi. Integritas dan kapabilitas Mahfud MD tidak diragukan, tetapi semenjak bergabung dalam Kabinet Jokowi, pelan tapi pasti aura keberpihakan kepada rakyat semakin kabur.
Bagaimana tidak, Mahfud MD membandingkan jumlah korban covid-19 jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan korban kecelakaan. Mahfud MD mengatakan bahwa yang meninggal karena wabah covid-19 hanya 17 orang setiap hari, sementara orang meninggal akibat kecelakaan 9 kali lebih banyak, begitu juga dengan korban lantaran AIDS, dan diare. Pernyataan Mahfud MD setali mata uang dengan LBP yang miskin dan mati nurani kemanusiaanya (26/5/20).
Sontak, pernyataan Mahfud MD ini diprotes keras oleh politisi dari PAN Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay. Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini menilai pernyataan Mahfud MD sangat tidak bijak dan mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mampu melawan covid-19. Ini soal nyawa orang, keselamatan diri dan warga negara merupakan tanggungjawab negara. (Liputan.com.6.26/5/20).
ADVERTISEMENT
Kiranya publik sangat familiar dengan Pernyataan Abraham Lincoln. Lincoln mengatakan bahwa Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan. Apakah Mahfud MD telah terseret dalam kubang kelam kekuasaan sehingga nalar kritis dan kebijaksanaannya tercerabut dengan jabatannya sebagai Menko Polhukam di Kabinet Jokowi. Tentu harapan publik begitu besar kepada Mahfud MD saat memilih bergabung dengan Kabinet jilid II Jokowi. Kapabilitas dan integritas seorang Mahfud MD tak ada yang meragukan, tetapi saat ini publik nampaknya berpikir ulang,posisi,situasi dan empuknya kursi kekuasaan seolah membenarkan pernyataan Abraham Lincoln itu
Mahfud MD dan LBP dalam menyikapi korban covid-19 seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Seperti aktor Jono dan Lono dalam sinetron Si Kembar yang sempat tayang di RCTI tahun 2004 lalu, kembar tapi tak sama. Sama-sama Menko tetapi berbeda latar belakang dan kultur yang membesarkan keduanya. Tetapi soal kekuasaan, sama-sama menikmati.
ADVERTISEMENT
Maka wajar, manakala ekonom senior seperti Faisal Basri mengatakan bahwa LBP itu lebih berbahaya ketimbang covid-19. Pernyataan Faisal Basri melalui cuitannya di akun twitternya @faisalBasri yang dimuat oleh detik.com (3/4/20). Tentu ragam tanggapan terhadap kritik pedas dari Faisal Basri tidak bisa dihindari, hal ini sah-sah saja dalam jagad netizen dan iklim demokrasi.
Justru menjadi hal yang aneh jika negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara demokratis tetapi justru alergi terhadap ragam kritik warganya.
Dalam iklim demokrasi, kritik itu seperti minum kopi di pagi hari. Tidak mungkin membendung dan mengadang laju deras kritik dari rakyat kepada Negara.
Melakukan kritik dengan analisis yang memadai kepada negara menjadi niscaya. Meminjam bahasanya Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Jejak Langkah” Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa itu dengan perlawanan. Melawan penguasa yang kebijakannya merugikan dan menyengsarakan rakyat menjadi keharusan bagi setiap warga negara. Hanya saja, sejauh yang tampak, saat ini gelombang protes untuk melawan penguasa yang sering ugal-ugalan dalam membuat kebijakan seolah redup ditelan waktu.[]
ADVERTISEMENT