Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perubahan adalah Perlawanan
2 Juni 2020 12:10 WIB
Tulisan dari Abdus Salam As ad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan itu selalu berbanding lurus dengan reaksi dan resistensi. Situasi yang mapan dan nyaman tak bakal bisa menerima perubahan. Tengoklah saat muncul gojek online, gelombang protes dari ojek konvensional tidak bisa dihindari. Sudah mafhum dan bisa dimaklumi, hal baru dan melawan kebiasaan dan arus pemikiran mainstream mengakibatkan sikap satire dan sarkasme dari masyarakat. Padahal perubahan itu adalah keniscayaan, menolak perubahan sama dengan menolak sunnatulah.
ADVERTISEMENT
Buku setebal 302 halaman dengan judul Change Or Die yang ditulis oleh Alan Deutschman menjadi alarm bagi kita bahwa yang tidak siap berubah dan menerima perubahan akan menggali lubang dan kuburannya sendiri. Fakta itulah yang menjadi contoh dan pelajaran (ibrah) bagi kita manusia yang berakal. Tentu kita masih ingat Handphone (HP) merk Nokia, HP yang dulunya merajai dunia ponsel, saat ini harus hengkang dari peredaran, selama 14 tahun Nokia menjadi kiblat dan rujukan dan menjadi produsen terbesar sebelum ambruk dan rontok kalah bersaing dengan Androind dan Apple yang meluluh lantahkan pangsa pasarnya. Nokia tidak berkutik dan harus mengalah dan menyerah dari dunia ponsel dan menjualnya ke Microsoft (kaskus.co.id 4/9/13)
ADVERTISEMENT
Tak hanya dunia ponsel, jasa transportasi jurusan Malang-Jombang, Malang Kediri –Tuban harus menyingkir terdepak oleh Bus Agung. Siapa yang tidak tahu Puspa Indah. Bus penuh nostalgia dan teman sejati bagi yang kuliah atau bepergian ke Malang Raya. Puspa Indah tinggal nama dan sejuta kenangan karena diakuisisi oleh PO Bagong (Malangvoice.com18/1/17). Jika tidak siap dengan ragam perubahan dan merespon perubahan itu dengan kreasi dan inovasi, maka dengan sendirinya akan ditelan oleh ganas dan sadisnya rajam zaman
Tak ada yang kuasa dan berdaya membendung perubahan itu, karena perubahan merupakan kesejatian bagi perubahan itu sendiri. Hanya saja masyarakat seringkali tergopoh-gopoh dan reaktif dengan perubahan yang dinilai tidak wajar, melawan arus kebiasaaan yang sudah ajek dan mendarah daging di masyarakat amat sulit menerima sesuatu yang dinilai baru.
ADVERTISEMENT
Tentu memori publik masih ingat bagaimana saat Jokowi mengangkat seorang menteri Susi Pujiastuti (SP). Menteri nyintrik dengan tato dibetisnya. Jagat nitizen gaduh dan bising dengan nada nyinyir aneka ragam rupa. Media sosial disesaki dengan nada satire yang dilamatkan ke Jokowi lantaran SP diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan hanya lulusan SMP. Ruang nitizen menjadi panggung umpatan kekesalan dan amarah, apakah sudah tidak ada orang lain yang memiliki komptensi sehingga harus SP yang diangkat menjadi menteri.
Nada satire itu mewujud dengan ungkapan, sekarang tidak usah sekolah tinggi-tinggi karena lulusan SMP saja bisa menjadi menteri di negeri +62 ini. Ungkapan ini lahir karena publik menilai bahwa stok profesor dan Doktor di negeri +62 berlimpah bahkan seperti kecambah di musim hujan, tetapi pilihan Jokowi jatuh pada perempuan nyintrik lulusan SMP bertato dan merokok ini. Dalam perjalanannya, publik mengakui akan kebijakan SP yang tegas dan progresif. Dalam gerak regulasinya, SP membuktikan keraguan dan nada sarkasme publik yang menilai akan kemampunya karena lulusan SMP. Hasil riset yang diterbitkan oleh jurnal Nature kebijakan agresif SP terhadap penangkapan ikan illegal telah mengurangi upaya tangkap sebesar 25% dan berpotensi menambah jumlah tangkapan sebesar 14% dan keuntungan sebesar 12% (Wikipedia.org)
ADVERTISEMENT
Dan pucaknya, SP yang dikenal dengan kata “tenggelamkan" ini dianugrahi gelar Doktor Honoris Causa (HC) oleh ITS pada 11 Oktober 2017 sebagaimana dilansir oleh news.detik.com
Merubah cara pandang masyarakat keluar dari kelaziman berpikir tak semudah menuangkan kopi ke dalam cangkir. Butuh waktu dan proses panjang, apalagi bagi masyarakat yang selalu berpikir positivistik, misalnya, setiap orang berpendidikan tinggi dinilai serba bisa, hebat dan luar biasa. Padahal pendidikan itu hanya jenjang, mulai dari SD-S3 tak lain sebatas instrumen formal untuk berproses dan belajar. Hal itu penting tetapi mengabaikan dan menilai remeh temeh orang yang tidak memiliki ijazah formal adalah kesalahan.
Terbukti penyair yang dijuluki celurit emas Zawawi Imron mencuat ke publik pada tahun 1982 lantaran karya-karyanya , bukan karena titel yang mengerumuni dirinya. Jika ditelisik dari sekolah formal ia hanya lulusan sekolah dasar atau SR pada waktu itu. Tetapi ia melompat dari kelaziman berpikir dari orang kebanyakan bahwa yang bisa diwariskan itu bukan deretan sekolah formal yang pernah ditempuhnya, tetapi karya yang mampu melintasi ruang gerak usia dan zamannya yang bisa dinikmati oleh generasi berikutnya
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dielakkan, perubahan akan menghadapi perlawanan dan akan dilawan. Perubahan itu melahirkan kegaduhan, keributan. Fakta inilah yang ditegaskan oleh ilmuwan Kurt Lewin yang mengatakan bahwa perubahan itu memerlukan tahap pencairan, karena orang-orang yang berpikiran lama ingin mempertahankan kekuasaan , wewenang dan rasa nyamannya (Kasali.hal.4)
Jadi, jika anda berpikir di luar kelaziman kebanyakan orang, maka nada nyinyir pasti akan dihadapi, tetapi jika suatu saat terbukti bahwa ide atau pikiran anda itu benar dan memberi manfaat, maka orang-orang yang dulunya resisten akan dengan mudah untuk mengamini dan mengikutinya []
Penulis adalah Koorkot Program KOTAKU Kota Surabaya dan Wakil Direktur Kedai Jambu Institute (KJI) Jombang
Live Update