Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Hubungan AS-Ukraina: Antara kepentingan dengan Romantisme Sejarah
12 Maret 2025 10:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Abelka Sudrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Sudah hampir tiga tahun konflik antara Ukraina dan Rusia terjadi, tetapi bendera perdamaian tidak kunjung terlihat, malah semakin memanas.Sejak terjadinya konflik antara Ukraina dengan Rusia, Amerika Serikat selalu menjadi payung utama untuk Ukraina berlindung. Seperti yang diketahui oleh dunia Amerika Serikat (AS) adalah negara super power yang jelas berseberangan dengan Rusia
ADVERTISEMENT
Peristiwa terakhir yang menyita perhatian seluruh masyarakat dunia adalah pertengkaran adu mulut antara Presiden Zelensky dan Presiden Trump. Peristiwa ini terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025, di Washington, D.C. Pertemuan tersebut seharusnya membahas resolusi perdamaian antara Ukraina dan Rusia, mengingat janji Trump pada masa kampanyenya yang berkomitmen untuk mengakhiri perang antara kedua negara. Akan tetapi, pertemuan diplomatik yang seharusnya berjalan dengan baik terhambat oleh penolakan Presiden Zelensky untuk menandatangani perjanjian yang dibuat oleh Amerika. Tidak ada alasan untuk tidak memilih AS sebagai pelindung untuk Ukraina. Hubungan diplomatik antara AS dengan Ukraina menjadi modal kerjasama politik untuk melindungi Ukraina dalam konflik tersebut. Akan tetapi, di bawah kepemimpinan Presiden Trump kebijakan yang dibuat lebih mengarah kepada pragmatis. Melihat hal ini memiliki kemungkinan untuk melahirkan ketidaksepakatan antara Zelinsky dengan Trump. Akhirnya hal tersebut pun terjadi ketika Zelensky diterima di Gedung Putih oleh Trump.
ADVERTISEMENT
Presiden Zelensky seolah lupa akan nasihat bahwa ada tiga jenis orang yang tidak boleh dilawan, yaitu orang kaya, atasan, dan orang gila. Seluruh dunia mengerti bahwa Ukraina dapat terus melawan Rusia berkat bantuan Amerika Serikat. Beradu mulut dengan orang nomor satu di Amerika jelas bukan langkah diplomasi yang baik jika Presiden Zelensky masih ingin Ukraina bertahan di bawah gempuran Rusia yang semakin ganas. Tentunya, Presiden Zelensky memahami cara berpikir Trump, yang berlatar belakang sebagai seorang pebisnis. Dalam pemikiran moral seorang pebisnis, hanya ada dua hal utama yang diutamakan: uang dan kepentingan.
Melihat dari manuver Trump yang mulai mendekat ke Rusia serta pembelaannya bahwa Putin bukanlah penyebab utama konflik berkepanjangan antara Ukraina dan Rusia, hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa cara berpikir Trump lebih berorientasi pada keuntungan bagi AS dibandingkan sekadar mempertimbangkan kepentingan sejarah politik semata.
ADVERTISEMENT
Rasanya, Zelensky terjebak dalam romantisme sejarah antara AS dan Ukraina, yang bisa dibilang cukup mesra. Hubungan yang terjalin baik sejak tahun 1991 membuat Zelensky cukup percaya diri dalam mengantongi dukungan dari AS. Namun, hal ini tentu menjadi pengecualian bagi Trump, yang bahkan sudah mengancam untuk mengeluarkan AS dari North Atlantic Treaty Organization (NATO) saat dirinya masih mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat. Sekali lagi, Zelensky seharusnya menyadari bahwa tanpa dukungan AS, negaranya dipastikan tidak dapat mengungguli Rusia. Oleh karena itu, faktor romantisme sejarah politik harus dikesampingkan, dan bersikap realistis adalah solusi terbaik.
Presiden Zelensky seharusnya bersikap realistis melihag kondisi Ukraina yang jelas kalah dari segi pertahanan dengan Rusia dan manuver AS dalam mendukung Rusia. Ukraina seharusnya membuka pintu untuk perdamaian sama seperi Rusia yang lebih dulu membuka pintu negosiasi perdamaian
ADVERTISEMENT