Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pentingnya Hak Kewarganegaraan Bagi Anak Pengungsi yang Terlahir di Indonesia
27 Juni 2024 8:05 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dewa Ngakan Putu Abhi Mahardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tercatat di tahun 2017, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia setidaknya mencapai 14.000 pengungsi. Kebanyakan dari pengungsi ini tidak menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan, namun hanya sebagai tempat persinggahan sementara sebelum ke negara ideal tujuan mereka seperti Australia dan Amerika. Karena para pengungsi hanya berstatus tinggal sementara di Indonesia, para pengungsi ini dijuluki sebagai "transit migran", sebelum mereka dialihkan ke negara ketiga menunggu hasil status pengungsi mereka diterima atau ditolak. Indonesia sendiri tidak ikut serta dalam meratifikasi Refugee Convention 1951, sehingga Indonesia tidak memiliki sistem perlindungan yang memungkinkan pengungsi menetap secara permanen dan berintegrasi dengan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Meskipun para pengungsi yang mencari suaka di Indonesia seharusnya tinggal untuk sementara waktu saja, namun yang terjadi adalah mereka tinggal di Indonesia dalam waktu yang tergolong lama untuk kategori “transit”, dengan kurun waktu sekitar 7 hingga 9 tahun. Kondisi konflik berkepanjangan di negara mereka serta tidak adanya kepastian kapan mereka akan di resettlement ke negara ketiga, mengharuskan mereka untuk tinggal di Indonesia lebih lama dari yang diharapkan. Karena tidak adanya kepastian dan seiring bertambahnya usia para pengungsi tersebut, banyak diantara mereka yang memutuskan untuk menikah dan berkeluarga dengan sesama pengungsi hingga melahirkan anak di Indonesia.
Hal ini memunculkan perdebatan karena pare para pengungsi tersebut merupakan kelompok individu yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) atau individu yang status kewarganegaraannya tidak jelas, alhasil anak yang dilahirkan oleh pengungsi terancam berstatus stateless. Menurut Hannah Arendt, hak atas kewarganegaraan merupakan hak yang menjadi kunci dari semua HAM. Hal ini dikarenakan oleh status negara sebagai entitas politik yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur, mengendalikan, dan memutuskan segala permasalahan yang menjadi kewenangannya, termasuk kehidupan dan urusan masyarakat dalam negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Keadaan tanpa kewarganegaraan di Indonesia secara signifikan menghambat akses anak terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, perlindungan hukum, pekerjaan, dan program pemerintah. Tanpa kewarganegaraan, anak-anak tidak memiliki identitas resmi seperti akta kelahiran, sehingga sulit untuk mendaftar sekolah atau mengakses pendidikan dasar gratis. Akses layanan kesehatan juga dibatasi, terutama selama pandemi COVID-19 dahulu, ketika pengungsi menghadapi masalah akses terhadap vaksin. Secara hukum, anak-anak yang tidak memiliki kewarganegaraan tidak memiliki dokumentasi tempat tinggal, sehingga tidak ada perlindungan hukum atau pengakuan dari negara. Saat sudah dewasa, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena kurangnya pendidikan dan keterampilan yang diperlukan. Selain itu, tanpa kewarganegaraan, mereka tidak dapat memperoleh manfaat dari program pemerintah yang dirancang untuk memperbaiki kondisi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia memandang anak-anak sebagai subjek khusus dan menjadi prioritas utama Indonesia. Hal ini terlihat dari betapa seriusnya pemerintah dalam menangani setiap permasalahan yang berkaitan dengan anak di Indonesia. Sayangnya, anak-anak pengungsi yang terlahir di Indonesia tidak mendapat perhatian yang sama. Pemerintah Indonesia menerapkan asas ius soli terbatas sebagai upaya untuk menangani permasalahan anak-anak tanpa kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini memungkinkan anak-anak yang lahir dari orang tua tanpa kewarganegaraan untuk memperoleh status kewarganegaraan sesuai dengan peraturan undang-undang kewarganegaraan. Dalam pasal 4 huruf k UU No. 12 Tahun 2006, dinyatakan bahwa “warga negara Indonesia adalah anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya”.
ADVERTISEMENT
Meskipun undang-undang kewarganegaraan Indonesia menetapkan bahwa anak yang lahir di Indonesia dari orang tua tanpa kewarganegaraan berhak menjadi warga negara Indonesia, pada kenyataannya anak-anak tersebut mengalami kesulitan dalam memperoleh kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan orang tua dari anak yang bersangkutan tidak dapat memperoleh dokumen-dokumen kependudukan seperti akta kelahiran dan dokumen-dokumen lainnya sebagai syarat untuk mendaftar kewarganegaraan. UU Administrasi dan Kependudukan tidak mengatur pendaftaran anak dari orang tua tanpa kewarganegaraan, sehingga menciptakan kekosongan hukum. Selain itu, peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2007 tidak menyediakan pengaturan lanjutan bagi anak dengan orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan. Kurangnya definisi yang jelas tentang stateless person di Indonesia juga memperburuk penerapannya di lapangan.
Daftar Pustaka
Darmawan, F.G & Heriyanto, D.S.N. (2023). Invoking International Human Rights Law to Prevent Statelessness of International Refugee Children Born in Indonesia. Prophetic Law Review. 5(1), 23-41
ADVERTISEMENT
Nafisah, R.D. (2018). Hak atas Kewarganegaraan bagi Anak dari Transit Migran yang Lahir di Indonesia. Padjadjaran Law Review. 6(1), 1-16
Rato, P.J. (2024). Problematika Kewarganegaraan Pada Anak Pengungsi Stateless Yang Lahir Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Skripsi. Fakultas Hukum, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang