Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Ini Hampir Menjadi Cerita Cinta/CACHE
7 November 2020 7:49 WIB
Tulisan dari Abi Ardianda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi oleh Benigno Adib
Aku memohon pada Biru untuk berbohong dengan memberitahuku bahwa hidup akan baik-baik saja. Di atas kursi samping ranjang, dia kelihatan sedang mempertimbangkannya. Berbalut kemeja dan jeans yang tidak dia ganti selama dua hari, ditambah sepatu kets berlogo bintang dalam lingkaran, kerjaannya cuma bengong dan tidur sambil menelungkupkan kepala di atas lengan. Dia menolak saat kusuruh pulang. Dari kantin rumah sakit, dipesannya sebungkus nasi goreng berlimpah minyak dilengkapi irisan mentimun yang warnanya sudah berubah kecokelatan. Lalu dia mengunyah dengan lesu, setelah diriku mengomel karena tidak kulihat dirinya melahap apa pun seharian. Tidak lucu bila kemudian dia harus dirawat juga. Ranjang ini tidak cukup menampung tubuh kami yang dua-duanya sebesar tukang pukul.
Kupikir tadi itu bukan keinginan muluk, mengingat selama ini aku hampir tidak pernah meminta apa-apa. Sejujurnya aku ingin tahu apa diriku boleh memintanya mengganti film-film penuh kekerasan dengan komedi romantis ketika kami menyaksikan layanan streaming pada akhir pekan. Aku tidak mengerti mengapa di dunia ini ada orang-orang yang terhibur menonton film berisi adegan usus manusia yang amblas dipreteli. Tetapi aku khawatir dia menganggapku tukang mengatur. Atau memintanya tidak bersuara saat mengunyah, sebab itu membuatku kehilangan selera. Oh, pelumas favoritnya yang beraroma stroberi, bayangkan, orang seperti apa yang menyukainya? Namun semua itu kuurungkan. Aku malas meributkan hal sepele. Yang penting perdebatan itu tidak berkaitan dengan prinsip.
ADVERTISEMENT
Akan menyenangkan untuk mendengar dari mulut Biru bahwa manusia tidak akan kehilangan harapan. Bahwa meski sekali, dunia bisa berpihak pada orang-orang seperti kami, seperti aku dan Biru. Aku tahu, selalu tahu, tidak banyak keadilan disediakan hidup. Tetapi, tadi kusampaikan pada Biru, sekali saja, aku memerlukan sesuatu yang mampu menenangkanku. Meredakan dadaku yang entah kenapa tiba-tiba muncul gemuruh. Ketidakberdayaan ini membuatku lumpuh. Maka, aku meminta sedikit penghiburan. Kebohongan yang cukup disampaikan beberapa detik, mungkin sepuluh sampai dua puluh, untuk membantuku merasa lebih baik. Sebab malam nanti, bisa jadi Izrail datang menjemput sehingga jiwaku tidak lagi menghuni tubuh ringkih yang terbaring di rumah sakit kelas satu, yang akhirnya memberiku alasan bermanfaat untuk menghamburkan penghasilan.
ADVERTISEMENT
Bila benar malam ini tiba waktuku berpulang, setidaknya, diriku tidak lagi dapat mengecap pahit di mulut akibat efek samping Alprazolam. Tidak perlu lagi kudengar bunyi roda berderik di atas ubin, yang kadang ditambah erangan. Sejauh ini, aku tidak mengerti, mengapa kita tetap berupaya menunjukkan rasa sakit meski kita tahu orang-orang tidak pernah mampu ikut menanggungnya. Mengapa kita sulit sekali menerima fakta bahwa luka tidak bisa dibagi?
Aku tidak tahu di mana diriku berada malam nanti. Tidak ada yang bisa meramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi. Maka, kudesak Biru sekali lagi. Waktuku tidak banyak, Biru. Berbohonglah padaku.
Namun, alih-alih mengabulkan permintaanku, Biru malah memijat sepasang matanya dengan telunjuk dan ibu jari. Perlu sekian detik bagiku untuk paham dirinya sedang menangis. Punggungnya berguncang. Dia malah balik memohon padaku supaya tidak usah bicara macam-macam.
ADVERTISEMENT
Jadi, menginginkan kebohongan adalah jenis pembicaraan yang macam-macam?
Kusanggah Biru dengan mengatakan bahwa kelak bila waktu kita habis, kita hanya akan menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan. Ketimbang menyesal, mendamba terasa jauh lebih menyiksa. Itulah kenapa aku pernah mengajak Biru berciuman depan air mancur taman kota seperti Allen Bauer, diperankan oleh Tom Hanks, yang jatuh cinta pada puteri duyung dalam film 'Splash' keluaran tahun delapan puluh empat. Atau menelusuri area perkantoran daerah Kuningan pukul empat pagi, kemudian berbaring di trotoar dan menyaksikan langit Jakarta yang tidak pernah secerah siang hari sebab selalu dibungkus polusi. Lalu kami berakhir di sebuah restoran cepat saji, memesan burger isi keju dan daging sapi. Sepaket dengan soda. Dibangunkan oleh pramusaji pada pukul tujuh, dengan kepala terkulai lemas di atas meja.
ADVERTISEMENT
Kekonyolan-kekonyolan seperti itu, Biru, yang ingin kukenang ketika tua nanti diriku berbaring menyamping di atas ranjang yang dingin sendirian.
Kini Biru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tidak ingin seorang pun memergoki dirinya sedang berduka. Biru ikutan percaya laki-laki tidak pantas menangis. Seperti jutaan orang lain di negara ini yang beranggapan bahwa tidak seharusnya kedua lelaki bergandengan. Oke, kau bebas bergandengan, berumah tangga, bahkan beranak cucu, tetapi tidak di sini. Sebab ada adat yang perlu kau hormati. Aku penasaran, adat seperti apa yang derajatnya lebih luhur dari nilai kemanusiaan?
Tetapi, Biru, biar kuberitahu, dalam keadaan sekarat, kamu tidak akan peduli tentang apa yang orang lain katakan. Saat ini, aku hanya ingin mendengar kekasihku berbohong padaku.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, Biru, tidakkah kamu tahu bahwa begitu banyak kebohongan telah menopang hidup manusia? Di suatu tempat, kebohongan telah membantu seseorang untuk dapat bangun pada pagi yang pucat, berdiri di bawah pancuran air panas, membilas tubuh dari sabun antiseptik dan percaya bahwa hidupnya baik-baik saja. Berpura-pura tidak sadar bahwa menahun pasangannya berhenti menyentuhnya. Kenyataan semacam itu terlampau sukar dicerna. Alih-alih menyeret langkah ke kamar mandi, kenyataan itu akan membuatnya terus bergelung di atas kasur, berusaha mencari tahu bagaimana cinta yang semula meletup dapat berakhir redup. Maka, dia berpaling mempercayai kebohongan. Setidaknya kebohongan mampu membuatnya tertidur lebih lelap pada malam hari. Kau kemudian tahu, Biru, kebohongan, dengan caranya yang ganjil, ternyata mampu melindungi.
ADVERTISEMENT
Hanya demi dapat merasa tenang, kita semua kadang membohongi diri sendiri.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” Amelia, psikiater yang belakangan merawatku melongokkan kepala melalui celah pintu. Saat mengamati perasaanku, aku merasa geram karena tidak seperti kebanyakan orang, bagiku kebahagiaan sulit sekali dibuat tiruannya. Aku tidak bisa menyetel paras gembira sambil mengutuk dalam hati. “Keberatan, nggak, kalau kamu kutemani?”
Kukatakan padanya bahwa dia boleh masuk kalau mau. Setelah minggu lalu dia memintaku mengisi lima ratus soal psikometrik yang membuatku mual, kuharap dia bisa mengerti mengapa agak sulit bagiku bersikap ramah padanya. Karena itu, aku juga tidak tertarik menjelaskan perasaanku hari ini.
Aku ingat pada salah satu sesi terapi, diriku benar-benar merasa frustasi dan meluncurlah diskusi mengenai praktik pemusnahan jaringan otak dalam bagian lobus prefrontal. Lobus prefrontal merupakan bagian yang mengemban fungsi perencanaan, pengambilan keputusan, pembentukan kepribadian, serta seleksi perhatian. Praktik tersebut diharapkan dapat memangkas luapan emosi berlebih dari reaksi yang ditimbulkan oleh bagian tadi. Secara teknik, tengkorak pasien di bagian depan akan dilubangi, kemudian lubang tersebut digunakan untuk menyuntikkan etanol dengan tujuan menghancurkan serat-serat dalam lobus prefrontal. Pernah juga para dokter melakukannya melalui rongga mata. Bagaimanapun, Amelia menyarankanku untuk melupakan apa pun yang kupikirkan mengenai gagasan itu. Praktik lobotomized telah dianggap ilegal sejak tahun delapan puluh.
“Bagaimana, bersedia menceritakan mimpimu belakangan ini?” Aku tidak dapat membedakan mimpi dan ingatan; keduanya sama-sama buram. Sama-sama meninggalkan perasaan mendalam. Ketika suatu malam aku bermimpi tenggelam di sebuah kolam renang tak berdasar, diriku terbangun dengan keringat yang membanjiri tempat tidur dengan dada luar biasa sesak. Kurasa pada suatu waktu di masa lalu, aku pernah sungguhan tenggelam. Tetapi kapan dan di mana tepatnya, aku tidak ingat.
ADVERTISEMENT
Amelia rutin memintaku menulis kembali mimpi-mimpi di buku harian. Dari catatan itu dia kemudian memberi tafsir. Sulit kupercaya selama ini diriku membayarnya mahal hanya untuk menerawang makna tersembunyi pada mimpi, macam membedah primbon Jawa.
“Satu yang paling kuingat. Waktu itu, kami berada di kolong perosotan.”
Amelia membenahi letak kaca matanya. “Kami?”
“Aku dan temanku di Taman Kanak-kanak.”
“Lalu?”
“Saat duduk berhadapan, tangan mungilnya merogoh celanaku dan meraba isinya. Entah apa yang selanjutnya terjadi apabila seorang murid baru tidak meneriakiku dan mengajakku ke area lain.” Kulirik Biru, yang kukenal sejak hari itu sebagai murid baru. Biru tersenyum, meyakiniku bahwa dukungannya tidak butuh bahasa. “Kupikir sebagai anak kecil, sahabatku hanya tidak tahu bagaimana menyikapi sebuah hasrat purba.”
ADVERTISEMENT
“Itu bukan sesuatu yang mudah diceritakan. Kamu sungguh berani.” Amelia lalu mengeluarkan buku catatan dan menuliskan sesuatu di sana.
“Kami, aku dan murid baru itu, Biru, kemudian sering menghabiskan waktu bersama. Kami senang makan es krim.” Kuremas telapak tangan Biru yang kini dilingkarkannya melalui dadaku. “Karena waktu itu gigiku baru tanggal, aku diperbolehkan makan es krim sebanyak-banyaknya. Benar-benar banyak, sampai lidahku kelu.”
Kami terbahak.
“Es krim rasa apa?”
Ketika mencoba mengingat rasa es krim yang kami beli hari itu, ingatan yang muncul malah permukaan perosotan yang catnya berkarat. Warna kuning gading. Masih bisa kurasakan betul bagaimana pantulan mentari tengah hari menyengat bagian bawah pahaku ketika meluncur. Terdapat kata ‘sodomi’ ditulis seseorang pada permukaan papan seluncur. Aku tidak mengetahui arti kata tersebut hingga pada kelas terakhir di sekolah menengah pertama, kutemukan definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia; pencabulan dengan sesama jenis kelamin atau dengan binatang; sanggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antarpria.
ADVERTISEMENT
Tidak ada orang yang menyempurnakan istilah tersebut dan memberikan penjelasan bahwa sodomi tidak selalu didasari oleh sifat cabul. Apalagi ditambahkan objek binatang. Sebab nyatanya, orang-orang juga melakukan itu atas dasar kasih sayang, secara konsensual dan penuh penghormatan. Apabila di tahap pemaknaan saja kita masih bias, bagaimana mungkin orang-orang sepertiku dan Biru dipandang sebagai kewajaran?
“Kamu masih mendengar saya?” Amelia mengembalikanku ke ruang serba putih yang kami diami. Kujawab, ya, disusul salah satu varian es krim yang kucomot acak sebagai jawaban. Lalu kutanya apa diriku diizinkan meninggalkan rumah sakit awal pekan depan untuk menjadi pembicara dalam sebuah konfrensi yang diadakan oleh sebuah organisasi media nirlaba. “Kamu akan membahas apa nanti?”
ADVERTISEMENT
“Sudut pandang queer pada sistem hukum beberapa negara di Eropa terhadap kelompok LGBTIQ.”
“Mengagumkan. Sayangnya, bukan aku yang memutuskan.” Pandanganku tiba-tiba kabur. Aku kesulitan mengamati sekeliling dengan prima.
Dengan sisa kesadaran, kutekan ia. “Lantas siapa?”
Amelia menoleh ke luar ruangan, “Menurut tim kepolisian, kamu diwajibkan mengikuti serangkaian wawancara setelah kupastikan keadaan mentalmu pulih. Wawancara mengenai pelaporan keluarga terkait orientasi seksual. Tentu kamu ingat, setelah disahkannya RUU Ketahanan Keluarga, keluarga yang memiliki kecenderungan perilaku LGBTIQ diwajibkan melapor dan-” seketika tubuhku hilang daya. Seolah-olah seseorang memadamkan sakelar dalam diriku lalu mendadak semuanya gelap.
Selang beberapa saat, telingaku secara lemah sempat merekam suara Amelia. “Obat penenangnya sudah bekerja. Hari ini dia menceritakan pengalaman traumatis masa kecil, yang kemudian membentuk realitas imitasi yang dia patenkan dalam alam sadar.”
ADVERTISEMENT
“Apa maksudmu?” Seseorang bersuara bariton menyahut. Mirip dokter yang rutin mengunjungiku.
“Ia menceritakan tentang Biru, murid baru yang menyelamatkannya ketika kecil. Mereka terus bersama dan menjadi kekasih setelah dewasa.” Kurasakan Amelia bergerak mendaratkan tubuh di atas kursi samping ranjangku yang tiba-tiba kosong.
“Memory is fascinating… It is dynamic. It’s alive. If some details are missing, memory fills the holes with things that never happened.” - Ari Folman