Kereta Malam

Abi Ardianda
Penulis lepas. Tinggal di Jakarta dan Bandung. Buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Sirkus, diterbitkan oleh Bookslife pada 2018.
Konten dari Pengguna
29 Juli 2019 22:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abi Ardianda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abi Ardianda & Maneet Kumar Pant
Foto dipotret oleh Elan Budikusumah | @elanbudikusumah
I
Jam dinding sudah seusang Sumitra ketika beberapa saat lalu ia berdenting.
ADVERTISEMENT
“Makannya pelan-pelan, Bu,” Agnes, yang usianya belum sampai setengah usia Sumitra mengingatkan. “Supnya masih panas.”
Tidak bisa, bantah Sumitra dalam hati. Tidak bisa pelan-pelan. Suaminya akan tiba malam ini. Mengendarai kereta terakhir. Sumitra khawatir terlambat menjemput. Sumitra rindu melihat tatanan rambut suaminya yang mengilap sempurna beraroma Tancho. Serta sepasang mata cokelat terang yang menyipit ketika tertuju padanya, sesaat setelah pria itu menuruni gerbong. Suaminya selalu memandang Sumitra sambil tersenyum. Setelah itu, lengan kanannya yang kokoh akan menopang punggung Sumitra, sementara ibu jari pada tangan kirinya mengelus pipi dan bibirnya. Lalu, suaminya akan berbisik, “Sayang,” dari jarak sedekat itu, Sumitra mampu menghirup aroma tembakau melalui napasnya. “Kau seharusnya melihat pemandangan indah yang kunikmati saat ini.” Kalimatnya diakhiri oleh mimik jenaka, lengkap dengan lidah yang menjulur.
ADVERTISEMENT
Dalam nostalgia singkatnya, Sumitra terlena lalu tersedak.
“Apa saya bilang?” Omel Agnes lagi. “Makannya pelan-pelan, Bu,” Agnes tidak paham bahwa Sumitra tidak butuh makan pelan-pelan. Sumitra hanya perlu melihat wajah tampan suaminya membentuk ekspresi konyol itu sekali lagi.
Sumitra mencabut sebutir cengkeh dari jepitan giginya. “Kau, anak muda, tidak paham apa itu cinta.” Sumitra berdeham. “Tolong ambilkan garam, Agnes.”
Agnes terbahak dan menyerahkan sebotol kecil garam yang diminta Sumitra. “Perempuan zaman sekarang tidak butuh cinta, Bu. Sebab, bila kau adalah perempuan terhormat, kau hanya akan menjadi prioritas. Tetapi bukan berarti tidak diselingkuhi. Sementara sikap yang liar menjadikanmu selingkuhan dan kau akan disembunyikan.” Keluhnya sambil mencuci beras. “Sebagian besar laki-laki tidak memiliki kemampuan untuk memaknai kata cukup.” Ia menuangkan beras hasil cuciannya ke dalam magic jar.
ADVERTISEMENT
“Itu karena semua laki-laki yang kau temui bukan suamiku.”
“Ya, mungkin begitu. Pada akhirnya, kuharap setiap perempuan memilih untuk bersenang-senang dengan apapun keputusan mereka dalam hidup. Kurasa keyakinan itu lebih berguna ketimbang cinta.” Senyum Agnes merekah. “Lagipula, yang Ibu tahu soal cinta hanya menjemput dan mengantar bapak ke stasiun. Apa istimewanya?” Agnes kembali meraih botol garam dari samping lengan Sumitra.
Sumitra terkekeh. “Aku telah menjemput dan mengantarnya ke stasiun selama puluhan tahun. Sepanjang masa tugasnya sebagai angkatan darat. Aku senantiasa menantinya dan ia selalu kembali. Padahal kami memiliki pilihan untuk berpaling. Di situ istimewanya.” Kini Sumitra menyisihkan daun seledri dari mulut.
Penuturan terakhir Sumitra membuat Agnes KO.
Jam dinding kembali membeo. Satu jam sudah dihabiskan Sumitra hanya untuk berdebat dan mengenang.
ADVERTISEMENT
Bagi Sumitra, setiap dentang yang diteriakkan jam dinding di rumah merupakan penanda ragam momen. Dentang yang sama didengarnya saat ia kembali ke rumah, setelah kedua orang tuanya memaki-maki Markus hanya karena Markus melamarnya masih dengan keyakinan agama yang berbeda. Dentang yang sama mengalun saat bidan setempat mengurus persalinannya yang masih sangat dini. Dentang yang sama bergema pada malam-malam di mana Sumitra memandang Markus dengan mata sembab, sebab lagi-lagi air ketubannya selalu pecah sebelum waktunya. Dentang yang sama menyalak saat ia menahan isak, membekap mulut oleh bantal supaya tangisnya dapat kedap.
Karena pekerjaannya, Markus seringkali bepergian sementara Sumitra tidak tahu bagaimana harus mendekorasi dinding yang setiap incinya dilapisi hening.
Dentang yang sama juga hadir saat Sumitra berdansa dengan Markus sampai pagi, sampai tumit kakinya pegal. “Aku lelah, Markus,” erang Sumitra dengan senyum yang mengembang. “Berikan aku koyo. Tolong ambil dari dalam laci.”
ADVERTISEMENT
“Kalau bukan karena lelah, aku akan mengajakmu menari selama diriku sanggup mencintaimu.” Markus menyerahkan lembaran koyo yang disimpan Sumitra dalam kain batik bersama obat merah, kapas, dan alkohol.
“Berapa lama kau sanggup mencintaiku?”
“Setidaknya, selama dua atau tiga reinkarnasi selanjutnya, aku akan menemukanmu dan kembali mencintaimu.”
Dentang berikutnya bertepatan dengan suara seseorang batuk dari sudut di rumah.
“Agnes, apakah kau mendengarnya?”
“Mendengar apa, Bu?”
Sumitra memutar bola mata. “Kau mendengar seseorang terbatuk. Akui itu.”
“Saya tidak mendengar apa-apa.”
Mau tak mau, Sumitra melanjutkan suapan dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya. Sudah lama Sumitra mencurigai rumahnya dihuni hantu. Pada saat tertentu, ia seolah-olah mendengar suara-suara ganjil. Seperti seseorang terbatuk yang baru saja didengarnya, padahal ia tahu saat ini hanya ada dirinya dan Agnes. Suara langkah berderap yang didengar Sumitra mengendap dari atap hanya ditanggapi oleh Agnes dengan dalih rumah mereka terlampau renta. Atau saat ia menemukan barang-barang berpindah tempat. Pernah, vas bunga miliknya terjatuh lalu pecah, sementara Agnes hanya menganggapnya perbuatan tikus. “Ibu terlalu banyak berkhayal,” Agnes memasang wajah tidak peduli dan membersihkan pecahannya.
ADVERTISEMENT
“Kurasa sedikit garam akan membuat sup ini lebih sedap, Agnes. Tolong ambilkan garam.”
“Kau baru saja menambahkan garam ke dalam mangkukmu.” Nada bicara Agnes meninggi. “Lebih baik segera habiskan makan malammu. Kemudian cobalah tidur sebentar, sebelum menjemput suamimu.”
“Astaga, Agnes,” Sumitra menaikkan nada bicaranya. “Kalau kau mengajariku untuk menjadi seorang istri yang abai, aku tidak akan pernah lulus. Aku akan berangkat setelah makan malam.”
Kesabaran Agnes terus dikikis. “Itu tidak masuk akal. Dengar. Keretanya tiba lewat tengah malam. Jarak dari rumah ke stasiun dengan berjalan kaki hanya menghabiskan dua puluh menit.”
“Aku tidak mau membuat suamiku menunggu.” Decak Sumitra sembari mengacungkan telunjuk. “Dan, sekarang,” kini ia bangkit dari meja makan. “Aku juga tidak sudi lagi mendengarmu membuat aturan. Perlu kau tahu, dengan otot-ototmu yang seolah sudah memuai, perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam dua puluh menit bisa memerlukan satu jam.”
ADVERTISEMENT
Semua orang tahu berdebat dengan Sumitra adalah pekerjaan sia-sia.
Sumitra melesat ke dalam kamar dan kembali dalam balutan mantel wol lengkap dengan syal. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Agnes.”
“Memanaskan kembali sup sebelum Ibu datang dan memasak air untuk kopi bapak.”
“Jangan lupa, air untuk menyeduh minuman jangan kau ambil dari keran. Aku memang tidak menyaksikan langsung dari mana kau menuangkannya. Tetapi, bau belerang itu membuatku mual, asal kau tahu saja.” Tanpa menunggu tanggapan Agnes, Sumitra mendorong pintu ruang tamu. Angin yang berembus di pekarangan nyaris membuatnya tumbang. Seketika dirinya berusaha menyeimbangkan langkah.
Menjadi ringkih adalah hal yang Sumitra benci dalam menjalani nasib sebagai manula. Tetapi itu persoalan fisik yang mustahil ia cegah. Selebihnya, berkaitan dengan ingatan dan kemampuan mengelola emosi, Sumitra masih merasa prima.
ADVERTISEMENT
Sumitra memiliki prasangka bahwa kota tempatnya tinggal punya kemampuan sihir. Seolah-olah kota ini dapat mengubah rupa dalam sekejap. Ladang dan danau menjadi gedung-gedung raksasa yang membuat lehernya pegal saat menengadah. Matahari entah, terhalang oleh unit mana. Cicit burung ditelan klakson yang meraung.
“Selendang yang indah, Sumitra,” puji petugas parkir stasiun yang menyapa Sumitra dari dalam kubikel. Sumitra tersenyum dan mengangguk. Selendangnya tua dan belel. Orang sangat gemar berbasa-basi dan tidak sekali pun hal itu berhasil membuat Sumitra tersanjung.
Sesampainya di peron pertama, pemuda dengan topi berlogo F1 menghampiri Sumitra sambil membawa sebuah cup teh. “Menunggu suamimu?”
Sumitra menerima menerima cup teh pemberiannya. “Atau menunggu ajal. Kita lihat mana yang tiba lebih dulu.” Setelah ditiup, cup teh di tangannya ia sesap perlahan.
ADVERTISEMENT
“Baru kali ini aku melihat seseorang keras kepala sepertimu.”
Sebelum menanggapi, Sumitra mengalihkan pandangannya pada garis rel yang terentang. Berapa juta lintasan telah mempertemukan dan memisahkan? ”Dedikasi pada pasangan bagiku bukan pilihan, melainkan kesadaran.”
Pemuda itu terbahak. “Baiklah, kutinggalkan kau sendiri. Kau tahu di mana kau bisa mencariku bila memerlukan bantuan.”
Riuh stasiun membuat Sumitra bungkam. Ia merasa seperti sebutir gula yang perlahan larut dalam teh yang sedang diaduk. Ada begitu banyak janji dibisikkan antara deru mekanik kereta, pekik pluit, serta pengumuman informasi perjalanan dari pengeras suara. Janji dari yang pergi untuk kembali. Janji yang ditinggalkan untuk menanti. Ironi mengetahui nasib janji-janji tersebut berada pada gurat tangan semesta, bukan manusia.
ADVERTISEMENT
“Kau tahu aku tidak akan pernah memerlukannya.”
II
Ilustrasi kereta malam. Dok: Pixabay.
Pengorbanan terbesar apa yang kau lakukan untuk seseorang yang kau cintai?
“Tidak ada pilihan lain, Pak,” pria dengan uban berjas putih itu setengah berbisik. “Sumitra mengalami amnesia disasosiatif. Kegagalan seseorang mengingat beberapa peristiwa terpenting akibat trauma. Sayangnya, momen kembalinya Anda dari perang merupakan momen yang gagal disimpannya dalam ingatan.”
Operasi Seroja, 1976, dalam penggulingan pemerintahan Fretilin di Timor Timur mengabarkan hampir 180.000 tentara dan warga sipil diperkirakan tewas. Berita tersebut sampai ke telinga Sumitra dan membuatnya terpukul. Terlebih ketika Markus tidak kembali setelah satu bulan berlalu dari jadwal yang dijanjikan. Kereta yang dijadwalkan Markus tidak membawanya serta.
Sejak malam itu, Sumitra menjalani hari dengan butir tasbih dan mata yang terus berair.
ADVERTISEMENT
Tujuh bulan kemudian, Markus kembali, tetapi Sumitra tidak mampu lagi mengenalnya.
Setiap pagi pasca-perang, Markus terbangun dengan teriakkan Sumitra.
Sumitra menuduhnya sebagai orang asing yang telah menempati posisi suaminya. “Angkat kakimu dari rumah ini, atau kuseret jasadmu keluar. Suamiku tak pernah terganti.”
Di masa awal kembalinya dari perang, Markus hanya mampu menyaksikan Sumitra mengusir dirnya setiap pagi, kemudian mengawasinya dari jarak jauh. Sumitra akan menyiram bunga dandelion di halaman depan pukul sembilan, sembari melantunkan tembang "Dia yang Dilupakan" oleh Rafika Duri. Markus mengenali paras penyanyi tersebut menghiasi jilid tabloid sebagai finalis festival lagu popular tingkat Jakarta III 1976. Setelah itu, ia akan mengintai Sumitra menjemur bantal dan selimut setelah makan siang, Memasak kue pada sore hari dan menyesap teh, kemudian berjalan ke stasiun menjelang malam. Hal terakhir yang dilakukannya adalah duduk termangu di peron pertama, sampai pagi buta, menanti Markus yang dianggapnya versi asli tiba.
ADVERTISEMENT
Rutinitas itu mengharuskan Markus memberi upah beberapa petugas stasiun yang gantian mengantar Sumitra pulang dan penjual teh panas karena Sumitra sering lupa membayar. Bahkan penjaga portal parkir. Setiap diadakan pergantian karyawan, Markus tidak pernah luput berkunjung ke dalam kubikel dan memberi penjelasan.
Setelah Sumitra lelap, Markus menyelinap untuk tidur di sampingnya. Markus tidak pernah jera meski dirinya tahu akan dibangunkan oleh teriakkan yang sama.
Setelah beberapa saat, Markus meminta bantuan tetangganya untuk mengajak Sumitra ke psikiater dan mengharapkan solusi untuk penyakitnya. “Anda bisa mencoba saran saya. Ulang momen yang hilang dan selalu dinantikannya. Kenakan seragam Anda, lalu sambut ia melalui kedatangan kereta terakhir. Hal itu bisa kita jadikan terapi.”
“Di mana saya harus berada selama siang hari?”
ADVERTISEMENT
“Berjalan-jalan saja. Seperti yang selama ini Anda lakukan. Keliling kota. Kalau bosan, Anda harus bersembunyi dari Sumitra.”
“Bersembunyi di rumah saya sendiri?”
“Bersembunyi di rumah Anda sendiri.” Pria separuh abad itu menunduk. “Anggaplah ini sebagai pengorbanan terbesar yang Anda lakukan untuk seseorang yang Anda cintai.”
Markus meninju telapak tangan kirinya sambil menahan serapah. Dirinya tahu tidak pernah ada kereta mampu mengantar siapa pun menuju masa lalu untuk memperbaiki sesuatu.
Markus terbiasa membayar beberapa orang untuk merawat Sumitra. Namun, belum lama ini, melalui lingkungan psikiaternya, Markus bertemu sekaligus memperkerjakan Agnes paruh waktu. “Aku sedang menjalani Ujian Akhir Semester. Mungkin aku akan terlambat malam ini, ya, Markus.”
“Kau bisa mengatur jadwal kerjamu sendiri, Agnes. Lagipula, suatu saat nanti, uangku tidak akan cukup lagi membayarmu sebagai psikiater professional.”
ADVERTISEMENT
“Kalau aku sudah lulus kuliah, kau bahkan tak perlu menggajiku. Tolong berhati-hati saja saat berkeliaran di dalam rumah. Kita tidak ingin ada vas bunga lain yang pecah.” Mereka lalu menertawai kecerobohan Markus dalam bersandiwara.
Meski dirasa sudah memberikan penampilan paripurna, malam ini Markus tak kuasa menahan batuk karena debu yang mengendap di atap.
“Agnes, apakah kau mendengarnya?” Ia mendengar suara Sumitra samar merambat ke atap.
“Mendengar apa, Bu?”
“Kau mendengar seseorang terbatuk. Akui itu.”
“Saya tidak mendengar apa-apa.”
Yang berubah menjadi lebih baik dari gagasan psikiater saat itu hanyalah pelukan yang didapat Markus sesaat setelah ia menampakkan diri bersamaan dengan kedatangan kereta terakhir. Setidaknya, Markus dapat menyaksikan bibir Sumitra tersenyum di bawah sepasang mata yang mengantuk. Baginya itu cukup.
ADVERTISEMENT
Dalam cinta, Markus percaya dirinya tidak dapat berharap terlalu banyak.
Sementara itu, dalam pertemuan singkatnya setelah kedatangan kereta malam dengan Sumitra, Markus tetap menyapa istrinya dengan pesan yang sama. “Aku ingin kau tidur nyenyak malam ini.” Ia mengeratkan lilitan syal Sumitra. Pengumuman pengeras suara di stasiun pada lewat tengah malam menandingi bisikan Markus, namun telinga Sumitra berhasil merekamnya dengan baik. “Aku berjanji, mulai besok, aku akan ada di sampingmu saat kau terbangun. Kita akan menjalani hari bersama selama dua atau tiga reinkarnasi selanjutnya.”
Sayangnya, janji-janji yang diucapkan manusia tidak pernah hadir satu paket dengan kepastian. Mereka selalu kembali pada gurat tangan semesta yang bersifat rahasia.
Sekian
Penulis dapat dihubungi melalui akun Instagram @abiardianda
ADVERTISEMENT