Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Vonis
10 Oktober 2019 12:32 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Abi Ardianda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gaun putih. Sendok. Pigura. Bra. Sepatu ha…
Bayangan sepatu hak muncul dalam benak. Tetapi, seketika lenyap saat pastor Martin berteriak, “belum terlambat bagimu mengaku dosa, suster Anna.”
ADVERTISEMENT
Pada kondisi tertentu, -aku tidak yakin ia bersumber di dada atau kepala- tapi sesuatu di dalam diriku merapalkan hal-hal. Kalau ketika merasa panik orang terbiasa melantunkan doa, diriku menyebutkan benda-benda. Apa saja, secara acak.
“Suster Anna, kamu dengar saya?” Pastor Martin kembali membentak.
Bianglala. Alis. Gulali. Ikat rambut. Sarung.
Tidak, ini bukan waktu yang tepat untuk merapal, versi lain dalam diriku mengingatkan.
Di hadapanku, Pastor Martin duduk mengangkang dengan tatapan menghadang. Kukoreksi: sebelah matanya menatapku seolah hendak menerjang. Sebelah lagi digondol pencuri yang menyelinap lewat tengah malam. Itu adalah perampokan teraneh yang kuketahui, sebab tidak ada barang berharga dicuri selain mata kanan pastor Martin. Ya, kudengar organ dan indra nilainya lumayan bila dijual ke rumah sakit dan didonorkan. Tetapi, kan, tidak dengan dicongkel, dijinjing, kemudian ditilik kualitasnya di meja operasi? Bukankah lebih mudah merampok uang atau barang elektronik yang dimiliki gereja?
ADVERTISEMENT
Pastor Martin mengulang pernyataannya. “Belum terlambat bagimu untuk mengaku dosa.”
“Romo ingin saya melakukan apa?” Suaraku meluncur dalam sendat. Lututku gemetar. Raga dan jiwa akan kuserahkan bila itu diperlukan, hatiku menambahkan. “Beritahu saya hukuman atas kesalahan yang Romo pikir telah saya perbuat, meskipun tidak ada bukti.”
Beberapa saat lalu, pastor Martin menggedor pintu kamar lalu hadir dengan paras pucat seperti mayat. “Saya tidak tahu hukuman yang layak bagi biarawati yang menjajakan tubuh melalui daring,” pastor Martin menggantung kalimatnya sambil mengerling. Di pikiranku, bayangan mengenai foto tubuh perempuan yang wajahnya dipercaya merupakan wajahku kembali melintas. Sehelai selimut berwarna putih menyelaputi liang yang tidak semestinya terpampang. Dilengkapi angka tiga lima menunjukkan usia, serta Mawar sebagai nama yang disandang.
ADVERTISEMENT
“Nama perempuan itu Mawar, Romo. Bukan Anna.”
“Kau bisa saja menggunakan nama palsu ketika mengakses aplikasi itu.”
“Kalau begitu, seseorang di suatu tempat juga bisa mengganti wajah perempuan di foto tersebut dengan wajah palsu.”
Selama tinggal di gereja, aku tidak pernah mengira suatu hari akan memiliki masalah dengan pastor Martin. Apalagi sampai meneriaki satu sama lain. Semua orang di gereja tahu, pastor Martin tidak akan merasa jengkel menanggapi hal sepele. Ketika kamu membuatnya marah, apalagi berteriak seperti barusan, kemungkinan kamu sedang membuat kesalahan fatal.
“Saya berani bersumpah atas nama Tuhan, Romo. Saya tidak tahu siapa pemilik tubuh di foto yang Romo tunjukkan tadi.” Suaraku melunak. Setengah dari diriku berharap perampok yang tempo hari mencungkil mata kanan romo memberangus jiwanya sekalian. Bolehlah dikembalikan setelah pastor Martin menemukan pelacur di dalam foto itu, sehingga dia dapat kembali tersenyum.
ADVERTISEMENT
Senyuman sangat cocok mengembang di wajah pastor Martin. Pipinya yang tirus senantiasa menampilkan lesung ketika sesuatu membuatnya riang. Aku merindukan raut itu sekarang. Dia tidak layak berada di hadapanku dan menanggung aib dari pengecut yang melakukan tindak kriminal tanpa identitas.
“Aplikasi itu dikabarkan menyiarkan tayangan langsung, suster Anna. Seseorang dapat memasuki akun milikmu dan menyaksikan kegiatanmu. Saat itu, kamu tampil telanjang. Menari depan kamera.”
Cat kuku. Porselein. Gunting. Pil.
“Itu bisa merupakan rekayasa digital, Romo.”
“Pelapor menyatakan itu siaran langsung!”
Benteng pertahananku roboh. Air mata perdanaku mengalir. “Tetapi Romo tidak di sana saat itu. Bisa saja dia berbohong.” Kalimat barusan dirangkai oleh napas yang pendek-pendek sekaligus penuh deru. Kini mata pastor Martin yang tinggal sebelah menatapku pilu. Menahun kami berbagi atap, tidak sekalipun pria yang sudah kuanggap ayah itu memandangku demikian. “Maaf bila nada bicara saya meninggi. Saya harap Romo mengerti posisi saya. Seharusnya, Romo percaya saya tidak mungkin melakukan sesuatu yang saya tahu akan melukai Romo. Melukai Tuhan.” Dadaku turun naik. Ruangan yang sebelumnya sepi kini riuh oleh isak. “Ke mana ilmu yang tahun demi tahun saya pelajari untuk bisa tiba di sini?”
ADVERTISEMENT
“Saya harap kamu juga memahami bagaimana warga hari ini memandang gereja kita akibat perbuatanmu.”
“Perbuatan yang Romo percaya itu merupakan perbuatan saya. Maaf. Tetapi, saya menganggap itu tuduhan sebelum Romo membuktikan bahwa saya adalah perempuan yang tampil dalam video tersebut. Bukan hanya sebuah foto yang dapat direkayasa.”
Kalimat terakhirku tampak membuat pastor Martin goyah. Aku dapat memastikan itu dari caranya mengambil jeda sebelum melemparkan tanggapan.
Pelan, jemariku mengelap pipi yang basah. Kini giliran pastor Martin yang suaranya melemah. “Aku masih ingat hari pertama kita berjumpa,” ia mengalihkan pandangan ke suatu titik, letak di mana dia mampu menggali kenangan dan melakukan kilas balik. “Banyak biarawati bergabung ke gereja dengan alasan panggilan Tuhan. Bagiku itu kedengaran utopis.” Ia beralih menatapku. “Tetapi, kamu lain. Aku masih ingat alasanmu kemari dan mempelajari ilmu agama adalah karena kamu ingin tahu. Sejak itu aku melihatmu sebagai pribadi yang jujur.”
ADVERTISEMENT
Pisau. Hadiah ulang tahun. Darah. Saus tomat. Obat bius.
Penuturan terakhir pastor Martin menundukkan kepalaku. “Saya tidak memiliki bukti kuat untuk membantah. Tetapi, saya tidak akan mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat.”
Kemudian kami dibalut sepi. “Saya punya satu pertanyaan,” aku melanjutkan percakapan hati-hati.
“Silakan.”
“Menurut Romo, apakah orang religius itu sama artinya dengan kebal dari dosa?”
Pastor Martin berdeham. “Tidak, tentu saja tidak,” kini matanya memandang ubin. “Tetapi, orang-orang religius mampu mengendalikan emosi serta hasrat lebih baik ketimbang orang dengan iman seadanya.”
Siapa yang sesungguhnya mampu menakar iman seseorang selain Tuhan, Romo? Khawatir pertanyaan tersebut akan kembali menyulut bara di dalam diri pastor Martin, kuurungkan untuk mengajukannya. Seperti tahun-tahun ke belakang, alih-alih menyediakan saluran untuk diskusi terbuka, sebagian besar pertanyaanku kembali kukubur dalam-dalam.
ADVERTISEMENT
“Apakah Romo tergolong ke dalam orang-orang itu?”
“Tentu saja. Aku memilih melayani Tuhan dan menjadi panutan.”
Panutan untuk melakukan dosa sembunyi-sembunyi?
“Kamu pikir apa yang aku lakukan di gereja ini?”
Di gereja ini, Romo diam-diam meletakkan ponsel di atas dahan jendela dan merekam para perempuan sedang mandi.
Aku rela melakukan apapun demi dapat menghapus ingatan mengenai peristiwa pagi itu. Ketika para biarawati mengantri untuk mandi dan tiba giliranku, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi tanpa perasaan apapun. Tidak ada yang berbeda dengan udara lembab, deru keran mengisi bak, keramik licin, serta aroma shampo yang menyengat. Tanpa sengaja, aku menoleh ke belakang dan pandanganku melayang ke dahan jendela, tempat sirkulasi udara dan cahaya. Di sana, aku melihat ponsel diletakkan terbalik. Bagian kameranya mengarah ke dalam.
ADVERTISEMENT
Tubuhku seketika menegang. Sesaat aku berhenti bergerak, berhenti berdetak, macam kehilangan jantung. Rasanya semua yang lekat di tubuh melorot, hanya tinggal tulang.
Aku memaksakan diri melanjutkan mandi. Berpura-pura melewatkan keberadaan ponsel tersebut. Tetapi, aku tidak membalikkan badan sehingga tak ada bagian depan tubuhku yang terekam. Kukeringkan tubuh dan mengenakan pakaian dengan tergesa. Yang kuinginkan hanyalah meninggalkan ruangan sekaligus momen terkutuk yang tak mampu kulupakan selama beberapa tahun setelahnya.
Setelah itu, curi-curi, kuamati kamar mandi. Kudapati seseorang yang mengaku religius dan merasa layak menjadi panutan atas pengabdiannya kepada Tuhan mengambil ponsel sialan itu. Ia menyentuh layarnya beberapa kali sebelum memasukan ponsel itu dalam saku celana.
Dia tidak tahu, hari itu, dia juga turut mengambil semua yang telah kupelajari selama hampir seumur hidup. Keyakinan yang kukumpulkan menahun direnggut hanya dalam hitungan menit.
ADVERTISEMENT
“Kukira aku mengenalmu, suster Anna,” Pastor Martin masih gencar menebar wibawa. “Aku tahu, dari semua biarawati, hanya kamu yang bolak-balik ke rumah sakit mengantar suster Ratna kemoterapi. Terjaga sampai dini hari, kemudian kembali bangun pagi-pagi sekali.”
Oh, ya, dari perawatan suster Ratna juga aku berhasil mendapatkan opioid, kucampur dengan propofol untuk anastesi. Aku tidak bisa membiarkanmu berteriak kesakitan ketika malam itu kuiris satu per satu jaringan di matamu, Romo. Kau cukup terbangun menyadari mata kananmu menjuntai keluar saja. Mungkin malam itu kau pikir dirimu mengompol. Ya, bisa jadi, tetapi genangan yang rembes pada pakaian dan ranjang itu darah, Romo. Masih kuingat betul bau amisnya yang membuat kepala berputar ketika terhirup.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelahnya, aku sigap menelepon ambulans. Tentu saja ditambah teriakan histeris sebagai pelengkap sandiwara. Kau tidak boleh mati. Kematian terlalu mudah untuk orang dengan tabiat sepertimu.
Kau harus tahu rasanya mengamati dunia hanya dengan mata yang tinggal sebelah.
Andai kau juga tahu rasanya dikabari pihak rumah sakit bahwa sebutir Rosario bercokol di pangkal jaringan otot matamu yang saat itu berlumuran nanah dan hanya tinggal lubang. Apakah kau berpikir hal itu akan membuat Tuhan senang?
Inisiatifku lahir setelah membaca Matius ayat 5:29; “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.”
ADVERTISEMENT
Kupikir bila kau menafsirkan ayat tersebut secara tersurat, seseorang perlu melakukannya untukmu. Nyalimu tak sampai ke situ. Aku melihatnya sangat jenaka; bagaimana manusia menafsirkan agama dan mengamalkan sesukanya.
“Pesta ulang tahun suster Sari minggu lalu juga kamu yang mengatur, bukan? Aku mengetahuinya dari suster-suster yang lain. Mereka menyukaimu. Siapa yang tidak menyukaimu?”
Kuharap Romo juga menyukai caraku menggunting kelopak matamu tempo hari dan menyayat rentang otot di dalamnya perlahan. Setelah itu kuraup isinya dengan sendok yang biasa digunakan suster Ratna minum obat tiga kali sehari, Romo tahu? Supaya otot-ototnya dapat kubetot keluar.
“Maka dari itu, suster Anna, lebih baik beritahu aku hal yang sebenarnya terjadi. Kamu tentu tidak mau kita berakhir dengan salah satunya meninggalkan tempat ini.”
ADVERTISEMENT
Aku tidak yakin kau betulan ingin tahu peristiwa sesungguhnya, Romo. Sebagian besar orang merasa layak mendapatkan kenyataan, tetapi seringkali tidak siap menghadapinya.
“Bila itu merupakan harga yang harus saya bayar demi sebuah kejujuran, akan saya tempuh, Romo.”
“Baiklah. Saya rasa kini waktunya bagimu untuk berkemas.”
Aku dengannya bangkit bersamaan. Sepersekian menit kami habiskan hanya dengan bertukar tatap. Ada bahasa yang kamu ungkapkan tanpa kata. Sepersekian menit itu mampu membuat kami berdialog dengan isyarat dan membuat pastor Martin menepuk bahuku. “Ya, ya, suster Anna, aku tahu. Tentu saja aku tidak bisa menendangmu dari sini tanpa sesuatu yang membuktikanmu bersalah.”
Dia kini memijat pelipisnya.
“Kembalilah ke kamarmu. Aku akan memikirkan cara menemukan pelakunya.”
ADVERTISEMENT
"Terima kasih, Romo,” sambil menunduk, kulangkahkan kaki menuju kamar.
Sekaligus menguncinya.
Kuambil tas mungil berisi makeup milik Ahmad, waria taman kota yang sebentar lagi biasa menjadi imam di masjid tikungan jalan untuk shalat magrib. Tiada seorang pun di daerah ini tahu mengenai pekerjaan Ahmad pada malam hari.
Kurias wajahku seadanya, kunyalakan ponsel, dan menyentuh tombol live di Bigo.
Sinyal. Kabel. Jarum. Tas. Peniti. Cerutu.
Pastor Martin pikir, dari mana aku mendapatkan uang untuk merayakan ulang tahun suster Sari pekan lalu?